Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc
Idul Fitri tahun ini merupakan tahun kedua kita merayakan hari kemenangan di tengah pandemi Covid-19. Meski relatif lebih longgar, tetapi tetap saja, perayaan tahun ini tidak sama seperti sebelum pandemi terjadi.
Tidak sedikit masyarakat yang mulai bosan dengan protokol yang dirasa membatasi kebebasan mereka mengekspresikan keceriaan Idul Fitri.
Di saat yang sama, euforia vaksinasi menjadikan banyak di antara kita mulai lengah dan memandang enteng kondisi pandemi hari ini. Meski disuguhi pelajaran dari negara-negara sekeliling yang mengalami peningkatan kasus, bahkan hingga sistem kesehatan yang hampir kolaps. Tetapi kita santuy saja dan kekeuh dengan ego diri.
Nabi Muhammad SAW, jauh hari mengapresiasi seorang mukmin melalui pesannya: “Perkara orang mukmin itu mengagumkan, sesungguhnya semua urusannya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim).
Pesan itu mestinya menjadi landasan kita dalam merayakan Idul Fitri di tengah pandemi. Pesan yang idealnya menjadikan kita selalu bisa menemukan kebaikan dalam setiap kondisi yang telah ditetapkan oleh Allah.
Banyak sekali tradisi identik lebaran yang tidak boleh dilakukan saat berlebaran tahun ini, sesuai anjuran para ahli. Tujuannya jelas, adalah untuk meminimalisir penularan virus. Seperti memakai masker, tidak bersalaman, menjaga jarak saf salat hingga ditiadakannya open house.
Pertanyaan sederhananya “Apakah kita akan patuh dengan protokol ini?”. Jawabannya hanya kita sendiri yang tahu.
Tetapi bila merujuk pesan Nabi di atas, sejatinya kita tak perlu baper apalagi murka sembari mengeluarkan sumpah serapah hingga teori konspirasi yang tak basi untuk selalu dibahas hingga hari ini.
Bersabar, menahan diri dan berusaha mencari hikmah dari apa yang terjadi, itulah tindakan bijaksana yang bisa kita lakukan di perayaan Idul Fitri tahun ini.
Bisa jadi, ini adalah cara Allah untuk mengajari kita bahwa dalam kehidupan hal yang paling penting adalah esensi, bukan simbol atau hal-hal yang berbau pencitraan belaka.
Dari beragam kegiatan Idul Fitri yang biasa kita lakukan, bila boleh dirangkum tujuannya adalah untuk memupuk persaudaraan dan persatuan umat. Kondisi yang diharapkan melahirkan kepedulian dan kepekaan sosial kita kepada sesama. Itulah esensi dari perayaan Idul Fitri
Karenanya apa arti perayaan tahunan bila tak mampu memberikan impak terhadap kondisi sosial di sekitar kita?. Bila untuk sekedar peduli saja kita harus menunggu setahun lamanya. Ini hanya seremonial belaka.
Esensi, itulah juga nilai moral yang diusung oleh ibadah puasa. Satu-satunya ibadah yang tak bisa kita pamerkan dihadapan manusia. Ibadah yang oleh Allah disebut “Puasa adalah milik-Ku dan Aku (sendiri) yang akan membalasnya”.
Ya, selama 1 bulan Allah mengajarkan kepada kita untuk mencintainya dalam kesunyian. Tetapi sayang, seringkali kita abai dan bahkan mengharuskan yang terkait Allah diwujudkan dalam seremoni. Hingga ketika seremoni itu mengalami penyesuaian bahkan pelarangan, serta merta kita merasakan ketidaknyamanan dan seolah kehabisan cara untuk mengekspresikan.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali : “Idul fitri bukanlah baju baru, tetapi ketaatan yang bertumbuh. Idul fitri bukanlah ajang pamer pakaian dan kendaraan, tetapi momen saat dosa diampuni”.
Jadi, sebenarnya apa yang kita harapkan dari puasa,dan qiamulail hingga perayaan Idul Fitri kita?. Rida ilahi atau sekedar ajang untuk memuaskan nafsu diri?.
Mari sejenak bermuhasabah seraya mengangungkan Allah. Mari berdoa semoga puasa Ramadan mengantarkan kita ke level tertinggi yaitu menjadi hamba yang mutakin.
Penulis adalah Komite Syari’ah RSI Sultan Hadlirin Jepara dan tinggal di Jepara