blank
Mbah Sadiman. Foto: dok/dlh.semarangkota.go.id

oleh Catur Pramudito Damarjati

blankMBAH Sadiman, bukan potret seorang paruh baya yang tampak serius berbalut jas serba cekam. Apalagi menenteng koper, yang dilengkapi kombinasi angka super sukar ditebak. Dia bukan pula penemu atau cendekia yang dalam-dalam merenungkan arti kehidupan, sampai menelurkan gagasan dan menciptakan gerakan sosial radikal, seperti orang-orang nun jauh di Barat sana, yang menggaungkan semangat ‘kaum buruh sedunia, bersatulah!’.

Mbah Sadiman tak mengenal itu semua. Tak tahu menahu soal pemusatan ekonomi global yang berbasis pada neokapitalisme. Segala gerak gerik sayap kiri yang runtuh, menjadi kepingan-kepingan kecil di berbagai wilayah atau iming-iming kesetaraan dalam khayalan mega industri dunia.

Lazimnya petani, persoalan Mbah Sadiman berkutat pada lingkup musim dan panen, memperhitungkan curah hujan hingga paceklik berat pada kemarau panjang. Dan yang kerap beliau risaukan adalah, dampak kebakaran hutan di Bukit Gendol dan Ampyangan, yang terjadi pada tahun 1964, di sisi Tenggara Lereng Lawu, dan hanya 3 km dari tempat tinggal Mbah Sadiman.

BACA JUGA: Dilema Kebudayaan

Saban hari, dalam kurun waktu kurang lebih 25 tahun lamanya, Mbah Sadiman menapaki jalan-jalan desa menuju pematang sawah, kemudian merambah ke segenap penjuru bukit gundul, dengan memikul cangkul, ladhing beserta dua keranjang berisi bibit. Mbah sadiman mantep pada satu tujuan pasti: Nandur beringin.

Kiranya semua orang paham, bahwa pada masa itu beringin bukan komoditi yang menguntungkan dalam banyak segi, terutama ekonomi. Namun juga orang tak banyak mengerti, bahwa beringin sebagai varietas tanaman pengikat air, dapat mengalirkan sumber air, meminimalisasi dampak kemarau dan banjir di musim penghujan.

Langkah inilah yang tertanam dalam benak Mbah Sadiman untuk melakukan langkah penghijauan di Bukit Gendol, seperti penuturan beliau dalam kanal YouTube CNN Indonesia.

BACA JUGA: Belajar dari Angin

”Nek rendeng, banjir gedhe, banjir lemah, banjir watu, gunung akeh guguran lan banjir kayu, nek ketiga banyune mung serana. Kawulane pada nanjang paceklik gedhe. Murah sandang larang pangan, kawula akeh kematian, sarana lara beri-beri lan udeg-udeg”.

Artinya, kalau hujan, banjir besar, banjir tanah, banjir batu, gunung banyak longsoran dan banjir kayu. Kalau kemarau air tidak ada. Banyak orang kena paceklik besar. Murah sandang mahal pangan. Banyak orang meninggal karena penyakit beri-beri dan cacar.

Akhirnya, kini daya juang sejak 1996 yang tak bergeming dalam badai macam apa pun itu, berbuah manis. keriuhan burung pagi senantiasa bertengger di atas rerantingan yang kokoh, di antara rimbun dedaunan yang sebentar-sebentar meliuk dihempas angin pagi.

BACA JUGA: Euforia Mobil Kaget di Tuban

Hampir 20 ribu pohon beringin yang ada di areal seluas 100 hektar itu, mengembalikan ekosistim pada titik mula. Mengalirkan air pegunungan, meredam longsor, menghentikan laju banjir. Dan yang terpenting ialah, manfaat luar biasa diperoleh oleh ratusan keluarga dan juga adanya sistim irigasi sawah yang lebih baik.

Sampai pada suatu ketika, Mbah Sadiman mendapati dirinya begitu gagap mendapatkan penghargaan demi penghargaan, bukan apa-apa. Tapi muncul di televisi disaksikan ratusan orang, ditambah para jajaran pejabat pemerintahan, bukan suatu hal yang mudah bagi sosok seperti Mbah Sadiman memberikan ucapan dalam bahasa Indonesia yang jauh dari kamus keseharian seorang petani.

Maka keluguan beliau adalah pengundang tawa yang renyah di hadapan manusia kota. Jadi tontonan asyik sekaligus menghibur, sekalipun dibalik itu perjuangan 20 tahun bukan hanya tak main-main, tapi tak pantas ditertawakan. Ditambah bayang-bayang stigma “edan” oleh masyarakat, terancamnya ekonomi keluarga dan gangguan pembalak-pembalak liar.

BACA JUGA: Penyintas yang Tertindas, Sebuah Perenungan Seorang Penyintas Covid-19

Dari fenomena di atas, dapatlah kita intip lebih dekat lagi, sebetulnya siapa Mbah Sadiman? Siapa petani? Siapa orang desa? siapa orang kota? Siapa negara? Siapa yang lebih dekat dengan pendidikan dan peradaban modern? Mengapa wajah kekotaan terpukau pada sikap dan nilai hidup Mbah Sadiman?

Sesungguhnya, ilmu pengetahuan modern dapat memandang begitu luas dengan akses yang sangat mudah, untuk melahirkan manusia-manusia seperti Mbah Sadiman. Mampu menghijaukan bumi lebih dari 20 ribu pohon atau 100 hektar tanah. Namun apakah hal semacam itu benar adanya?

Secara normatif, barangkali benar. Tapi nyatanya terbentur oleh realitas sosial-politik-ekonomi, yang mengarah pada optimalisasi pemanfaatan hutan daripada pelestarian. Satu hal yang perlu disadari, bahwa kehidupan masyarakat kota yang demikian maju dan kompleks, mempunyai agenda-agenda yang sama sekali berbeda dengan kehidupan sederhana masyarakat desa.

BACA JUGA: Pendidikan Jalan Ketiga

Mereka adalah dua anak sungai yang telah terpisah, atau sebetulnya dipisahkan. Maka meskipun hidup sebagai warga negara Indonesia, sejarah terbukti menganaktirikan suatu komunitas dengan sangat baik. Satu sisi melesat jauh ke depan, sedang yang lain tertinggal jauh di belakang.

Dari sini pandangan Rosseau yang jauh di abad-18 menyeruak kembali, dengan geliat yang meresahkan. Apakah kemajuan adalah kejahatan kebudayaan?

Tentu naif, membandingkan Prancis abad pertengahan dengan Indonesia pasca reformasi. Tapi asumsi Rosseau bertolak pada satu keadaan yang sama, yakni keterasingan manusia terhadap alam. Karena kemajuan teknologi, membawa kesengsaraan dan penderitaan yang sedikit banyak tak diinsyafi.

BACA JUGA: Indonesia Tempat Perlintasan Narkotika

Berangkat dari pandangan Rosseau itu, kita mampu melihat dengan terang, bahwa hari-hari ini isu kerusakan lingkungan membuat manusia dihadapkan pada persoalan yang kian rumit. Perubahan iklim, deforestasi, kepunahan keanekaragaman hayati, pembuangan limbah, banjir, polusi, menunjukkan bahwa kemajuan tak hanya cepat dan mudah, namun juga gegabah dan ceroboh.

Mbah Sadiman tak tahu menahu soal kecongkakan manusia abad-21. Ia juga tak tahu, sebenarnya perjuangan beliau untuk mengalirkan air tanpa bantuan teknologi modern, sejurus dengan Rosseau. Mengembalikan manusia kepada fitrah alamiahnya.

Pemikiran filsuf abad pencerahan itu, andai diformulasikan sesuai dengan perkembangan zaman, dapat menjadi langkah pembaharuan sekaligus memecah persoalan isu lingkungan hari ini. Meski terkesan menyederhanakan masalah, ikhtiar tersebut merupakan satu dari beragam upaya yang patut didiskusikan.

BACA JUGA: Marak Aplikasi Berkedok Investasi, Bagaimana Sikap Kita?

Refleksi kehidupan Mbah Sadiman adalah bentuk keadilan nyata pada tataran personal, bukan hanya adil terhadap manusia, namun juga alam. Dan kemajuan barangkali, bukan kenyataan buram yang kita lihat hari ini, bahwa manusia adalah budak zaman.

Tidak! Manusia tak melulu hidup dalam kerangka vertikal yang melahirkan si kaya dan si miskin, ada saatnya manusia mesti menegok kesamping, orang lain, hewan dan tumbuhan adalah saudara yang senantiasa hidup bukan pada rantai makanan, namun ikatan persaudaraan.

Yuval Noah Harari menyebut, bahwa manusia tak lain ialah hewan yang berkerabat dengan simpanse, monyet dan primata lainnya. Maka sepatutnya, kemajuan dilandaskan pada jalinan kekeluargaan atau dalam Islam ‘Rahmatan lil’alamin’. Dengan itu, kita dapat melahirkan adab, dan adab melahirkan kebudayaan, kebudayaan melahirkan peradaban.

BACA JUGA: Warna-warni Kebebasan Pers di Indonesia

Bila kita memahami bagaimana ironi di atas terjadi, amat sulit untuk melihat dimana posisi Mbah Sadiman berada? Apakah ia manusia dari masa lalu yang menyelamatkan masa depan? Atau beliau adalah orientasi masa depan yang belum tergambar jelas? Entah.

Satu hal yang pasti ialah, sebesar apa pun jasanya, orang desa seperti Mbah Sadiman akan tetap terkucilkan dalam kamus peradaban modern. Sebab peradaban dibangun oleh orang-orang menang dalam pertandingan. Menjadikannya pahlawan dalam buku-buku sejarah.

Terlepas dari itu semua, Mbah Sadiman adalah produk manusia tradisional yang berusaha untuk melestarikan dan menjaga alam pada kesejatiannya. Dan kita punya alasan yang kuat untuk yakin, bahwa beliau akan terus hidup dalam masa yang panjang.

-Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW (Salatiga)-