blank
Foto: ilustrasi/dok/menpan.go.id

Oleh: Catur Pramudito Damarjati

SELAIN menghilangkan polarisasi politik yang mencolok dalam era moderen, arus globalisasi membuka gerbang komunikasi dan kerja sama antarnegara. Hal ini direalisasikan dalam semangat kemajuan dengan membentuk badan organisasi bersama, terutama dalam bidang ekonomi, politik, militer dan juga pendidikan.

Tren globalisasi membawa pengaruh luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi yang membawa serta iklim kompetisi yang bertujuan profit, perlahan menggeser tujuan pendidikan, yang semula berorientasi pada proses dekonstruksi sosial, beralih menjadi komoditas bisnis.

Mengapa demikian? Arus globalisasi berlandaskan kerja sama dalam menciptakan perdagangan bebas, sementara pasar internasional dikuasai oleh negara-negara maju yang menganut sistim ekonomi kapitalis. Dari sistem tersebut, liberalisasi merebak dan merasuk dengan sangat baik ke dalam aspek pendidikan.

Adam Smith (dalam Galih R.N. Putra, 2016 : 15) menekankan, dalam sistim ekonomi kapitalis, pasar bebas dapat menciptakan optimalisasi modal, kreativitas manusia, meningkatkan profit yang berimbas pada penentuan keputusan individual, sehingga lembaga pendidikan swasta dinilai mampu menghadirkan kualitas dibandingkan dengan pendidikan negeri.

Baik secara pendanaan maupun sistim pendidikan, dia melahirkan efektivitas dan efisiensi pasar. Siswa dibekali ilmu pengetahuan sedemikian rupa untuk langsung masuk dalam roda industri, kemudian profit perusahaan dapat dialokasikan secara optimal ke dalam infrastruktur pendidikan. Hubungan ini merupakan proses timbal balik yang berkesinambungan.

Di lain sisi, dalam kerangka berpikir Freire, merupakan suatu proses membangun kesadaran kritis, bahwa pendidikan merupakan praktik kebebasan bukan berlandaskan pada praktik dominasi. Manusia merefleksikan dunia bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran, tidak terpisah dan berdiri sendiri.

Freire menganggap, pendidikan adalah upaya manusia untuk memahami eksistensinya dalam realitas yang utuh, baik konteks sosial, politik, ekonomi, dsb. Proses tersebut bertujuan
menumbuhkan sikap kritis melahirkan refleksi mengenai hakikat kemanusiaan.

Memanusiakan Kembali Manusia Pandangan Freire merupakan buah perenungan mendalam. Pada masa hidupnya, masyarakat tinggal dalam kemiskinan dan penderitaan, karena ketimpangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Maka ia berusaha membangun ideologi pendidikan yang didasarkan pada kesadaran akan proses “memanusiakan kembali manusia”.

Ia tak hanya berupaya melawan ketidakadilan penguasa, juga untuk tidak menjadi penguasa baru, melainkan menjadi individu yang senantiasa berproses menuju atau “becoming”. Dengan cara itulah, pendidikan menemukan tempat yang tepat dalam realitas dinamis, membangunkan daya kritis yang berlangsung tanpa henti.

Gaya Bank

Pendidikan di Indonesia masa kini, merupakan pendidikan yang disebut Freire sebagai “Gaya Bank”, menempatkan murid seperti wadah kosong yang diisi oleh materi satu arah yang disampaikan guru. Murid tidak diberi ruang aktif untuk melakukan timbal balik sebagai akibat dari penyerapan beragam informasi. Semakin penuh seorang guru mengisi wadah tersebut, semakin baik peran guru dalam pendidikan. Sebaliknya, semakin patuh murid dijejali berbagai informasi, semakin baik pula ia sebagai murid.

Ironisnya, sistim seperti ini kadangkala dikaitkan dengan moralitas siswa. Kepatuhan dan ketundukan merupakan nilai moral. Sementara itu, siswa yang tidak patuh karena
keterkekangan sedemikian rupa, dianggap menyimpang.

Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas menulis, “Gaya Bank” menekankan pada anggapan bahwa, pengetahuan adalah anugerah yang harus disampaikan kepada siswa. Guru menganggap diri sebagai orang berpengetahuan, lalu menyalurkannya kepada murid yang tidak berpengetahuan, menganggap bodoh orang lain secara mutlak.

Konsep ini tidak lebih bercirikan ideologi penindasan, mengingkari hakikat pendidikan sebagai proses pencarian dan pembebasan.

Di Indonesia, “Gaya Bank” ini masih melekat erat, meskipun secara perlahan mulai mengarah pada pendidikan kritis. Dari segi historis, kita masih mengadopsi pendidikan era kolonial yang sesungguhnya bentuk dari politik etis. Kolonialisme membentuk lembaga pendidikan guna mencetak tenaga ahli dan profesional, terutama dalam bidang teknik yang tak lain untuk melanggengkan penjajahan.

Praktik Kekuasaan Terlihat, keberlangsungan pendidikan di Indonesia saat ini terkait kuat dengan praktik kekuasaan, merupakan alat yang efektif untuk menguatkan struktur sosial ekonomi. Terdapat asumsi kuat, pendidikan dalam konteks globalisasi yang berbasis pada ekonomi kapitalis, turut serta menguatkan dominasi pemodal, bukan sebagai agen kritis dan konstruktif terhadap arus deras globalisasi.

Bejana Kosong

Visi dalam semangat Freirean, berusaha menempatkan pendidikan sebagai alternatif kritis terhadap globalisasi. Pengajarannya didasarkan pada metode dan teknik “Hadap-Masalah”, sebuah situasi ketika guru tidak lagi memiliki kewenangan mutlak sebagai pengajar, atau murid adalah bejana kosong yang harus tunduk tanpa tahu mengapa. Dibangun suasana baru: guru sekaligus murid dan murid sekaligus guru.

Guru tidak lagi memberikan pengajaran pasif satu arah, tetapi ia mengajar dirinya sendiri melalui dialog bersama murid, yang pada gilirannya murid diajarkan kemudian mereka juga mengajarkan. Freire berpendapat, pendidikan yang membebaskan berisi laku-
laku pemahaman (acts of cognition), berlandaskan pada pemecahan masalah kontradiksi antara murid dan guru. Terjadi hubungan aktif timbal balik. Murid yang sebelumnya dianggap pendengar yang patuh, beralih menjadi rekan pengkaji yang kritis.

Seorang guru menyajikan pemikiran terhadap murid, kemudian murid melakukan serangkaian dialog aktif dan proses kreatif kritis. Pada tahap selanjutnya, guru menguji hasil pemikiran murid. Dialog tersebut dilakukan intensif dan berkelanjutan, menunjukkan bahwa proses pendidikan adalah serangkaian tanda-tanya yang harus terus digali, dikaji, dan diuji.

Peran seorang guru tidak lagi memberikan mantera-mantera yang mutlak diterima oleh murid, tetapi beranjak pada proses pengetahuan sejati pada tahap ilmu.

Pendidikan hadap-masalah dinilai mampu menjadi jalan ketiga dalam mengaitkan konteks dan analisis untuk memahami globalisasi secara kritis. Memberikan ruang yang lebar dalam mengkaji realitas moderen, bahwa seluruh proses pendidikan merupakan perwujudan dari sikap kemanusiaan dan keadilan.

Ideologi pendidikan yang diawali di dalam kelas, jika dilakukan dengan intensif dalam semangat pembebasan, mampu menciptakan dekonstruksi sosial maupun politik ekonomi. Seluruh proses itu hanya dapat terwujud dari kerja sama yang baik antara pemerintah dan insan pendidikan.

Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW Salatiga