blank
Foto: dok/ist

Oleh: Catur Pramudito Damarjati

blankANAK muda awal milenium baru, merasakan pergumulan luar biasa dari pertemuan dua arus besar kebudayaan: Barat dan timur. Arus ini bertolak dari perspektif yang mendasar terhadap realitas. Barat memegang erat nilai kebebasan mutlak bagi individu, memberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi diri. sementara timur membangun peradaban dengan semangat kolektivitas rekat dalam asas kekeluargaan.

Dua arus besar ini saling bertemu dalam persimpangan yang cukup pelik, dua-duanya menguji satu sama lain. Menciptakan pusaran air yang di tiap sisinya membuncah hebat. Alhasil, terjadi pergolakan dalam tubuh generasi baru. Mereka dipaksa bertahan terhadap dominasi barat yang justru dilestarikan oleh pendidikan, politik-ekonomi, globalisasi, industri media, dan budaya.

Dalam sektor pendidikan, murid dididik dengan semangat persaingan untuk meraih posisi teratas. Iklim yang kompetitif ini, mengharuskan mereka belajar untuk mendapat predikat terbaik. Bukan karena mereka perlu untuk merefleksikan realitas, memandang sejarah dan masa depan dalam rumah kaca sadar-kritis.

BACA JUGA: Pintu yang Selalu Terbuka, karena di Desa Memang Begitu

Memang, predikat baik tersebut membutuhkan berbagai syarat, tapi aspek terbesarnya ialah nilai dan kepatuhan. Yang justru, proses kreatif berpikir terbatasi oleh dua hal tersebut. Maka tak heran, gelombang apresiasi membanjiri publik terhadap para kapitalis muda, kalah tenar dengan pekerja kemanusiaan.

Ricky Elson yang membangun kincir angin menerangi desa di berbagai daerah pelosok, Butet Manurung perintis pendidikan bagi masyarakat terpencil dan Dandhy Laksono, jurnalis yang menguak berbagai praktik kotor politik-industri. Meski menciptakan segelintir orang-orang hebat, sistim pendidikan dengan metode demikian, tak lain mencetak sebagian besar anak menjadi tenaga kerja industri.

Sebab nilai keberhasilan dalam sistim ini distandarkan pada kesuksesan materialistik. Ujungnya menciptakan krisis nilai, disorientasi budaya, mengikis daya kristis dan ketimpangan sosial.

BACA JUGA: Belajar dari Angin

Di ranah politik-ekonomi, barangkali cukup jelas bahwa, isu kemiskinan tidak akan pernah teratasi jika pengambil kebijakan masih loyal terhadap pemodal daripada kesejahteraan rakyat.

Alih-alih untuk kemajuan negeri, justru membawa rakyat kepada jurang kesengsaraan yang makin dalam. Keberpihakan terhadap industri ini, membuat bangsa Indonesia diklaim masuk dalam jajaran negara industri, tidak lagi agraris. Dibuktikan dengan permudahan izin usaha dalam UU Cipta kerja, tenaga kerja asing, serta berbagai pendidikan dan pelatihan kerja, tak lupa perampasan hutan dan ruang hidup masyarakat untuk keperluan infrastruktur industri.

Tentu hal ini menunjukkan bahwa, sistim ekonomi-kapitalis yang mengarus jauh dari barat, diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah. Bukan hanya menumbuhkan perekonomian Nasional, tapi juga membawa nilai-nilai liberalisme dan individualisme yang bertentangan dengan falsafah kebudayaan Nusantara.

BACA JUGA: Euforia Mobil Kaget di Tuban

Jika menilik kembali, sesungguhnya kita telah menganut sistim ekonomi Pancasila, dimana sistim ini berlandaskan pada koperasi, sistim yang bersifat kooperatif dengan tujuan kesejahteraan bersama, dengan menganut nilai-nilai ekonomi kerakyatan dan asas kekeluargaan.

Cak nun, cendekiawan dan pegiat kebudayaan mengatakan, selama ribuan tahun bangsa Indonesia senantiasa merawat nilai luhur kebudayaan sebagai aspek yang fundamental dalam mengatasi tantangan bersama. Bahwa puncak peradaban manusia Nusantara ialah sikap kekeluargaan, perasaan saling terikat dan menjunjung kebersamaan. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

Sehingga sistim ekonomi Pancasila ini memiliki keterkaitan yang kuat terhadap nilai dan historis Bangsa. Tapi mengingat berbagai kebijakan ekonomi yang memicu kontroversi dan demonstrasi besar-besaran, dianggap tak berpihak kepada rakyat. Apakah memang benar sistim ini yang dianut di Indonesia?

BACA JUGA: Penyintas yang Tertindas, Sebuah Perenungan Seorang Penyintas Covid-19

Di lain sisi, globalisasi tak kalah pentingnya. Ia merupakan jalan masuk utama arus barat menghegemoni berbagai lini kehidupan di negara-negara Timur, terutama melalui industri budaya. Pandangan Barat ini mengarus sedemikian derasnya. Di mulai dari kecanggihan teknologi, perfilman, industri media sampai kepada ideologi dan tradisi.

Akibatnya, budaya beserta kearifan lokal termarjinalkan dari ruang sosial anak muda. Lebih parah lagi, terlahirnya sebuah stigma, bahwa budaya adalah barang atau laku kuno yang ketinggalan zaman. Kemajuan disempitkan menjadi perangkat elektronik yang sekali tekan, mampu melampaui dimensi ruang dan waktu.

Layaknya buraq, mengartikan kecepatan cahaya sebagai kemajuan, justru menyekap konsep berpikir dengan mengabaikan esensi, membenarkan cara-cara berpikir praktis dan instan yang rupanya kedua aspek tersebut merupakan wujud nyata hegemoni barat.

BACA JUGA: Indonesia Tempat Perlintasan Narkotika

Maka dari pergesekan demi pergesekan diatas, munculah kenyataan sosial, anak muda yang kehilangan jati dirinya. Banyak orang salah memastikan, tindak tanduk kepongahan itu, berasal dari sikap yang menempatkan mereka sebagai pelaku. Bukan sebagai korban dari pertentangan dua arus besar yang sedang berlangsung.

Ketika orang bicara soal moralitas, ia juga harus bicara soal budaya, sedang kebudayaan bergeser sangat cepat karena kebijakan politik-ekonomi. Sementara sistim ekonomi saat ini merupakan produk dari globalisasi.

Mengapa demikian? Sebab dalam era global, tumbuhnya berbagai segi kehidupan saling mengait satu sama lain, saling memengaruhi dan mengisi. Tatanan sosial tak dapat lepas dari ekonomi, roda ekonomi berjalan pada poros politik, proses politik besar dipengaruhi oleh aspek sosial-budaya.

BACA JUGA: Pendidikan Jalan Ketiga

Sesungguhnya, anak muda sebagai agen perubahan berdiri diambang perbatasan, di antara dua arus yang menempatkan mereka pada posisi dilema kebudayaan. Di antara sikap individualis dan kolektif, dihadapkan pada mentalitas konsumerisme dahsyat yang menghantam prinsip “Urip, Urup lan cukup”.

Industri budaya yang mengkonvergensi sedemikian rupa, sehingga muncul dengan pesat proses globalisasi budaya, seperti tren atau mode. Dimana unggah-ungguh tak pernah masuk dalam kamus populer.

Sementara pemerintah yang gencar menyosialisasikan gerakan kebudayaan, justru memperlihatkan sebuah komedi yang tak lucu. Seperti mengajak bicara kepada orang yang berada dalam penjara, tentang burung-burung yang terbang ke langit.

Bahwasanya era globalisasi, memenjarakan sedemikian besar generasi dari kebudayaanya sendiri, disekap dalam ruang sempit dan dicekoki tentang keindahan yang disebut Yuval Noah Harari dalam Sapiens, sebagai romantisisme-konsumerisme.

Pola pikir dan sikap anak muda adalah produk globalisasi yang nyata terjadi, mengarus deras dari hulu barat, melalui tangan-tangan kekuasaan yang merestui keterbukaan.

Keterbukaan ini, selain membawa dampak positif di berbagai aspek, juga mengorbankan kebudayaan Nasional yang lambat laun terdegradasi. Jadi barangkali, anak muda berada pada posisi sekian setelah pemerintah, cendekiawan, budayawan, sejarawan, dan wan-wan lainnya, untuk menengok dan mencerap kembali Nusantara masa silam.

Bukan melulu mengkambinghitamkan anak muda sebagai poros utama pergeseran budaya, mengindahkan akar permasalahan dan mengesampingkan korelasi antarperan.

Pada hakekatnya, arus Timur mengalir perlahan selama ribuan tahun, dari perbukitan turun ke lembah-lembah, menyusuri cabang-cabang sungai dengan membawa serta nilai, falsafah, kebudayaan, sistim, ideologi yang pada akhirnya bermuara ke lautan lepas, yang kita sebut sebagai peradaban Nusantara.

Kemudian bulir-bulir air di lautan terangkat ke langit, menyiratkan proses introspeksi dan perenungan atas siklus hidup yang telah dilalui, berubah menjadi sekumpulan gagasan baru yang kita sebut sebagai awan, digerakan bayu menuju pegunungan, turunlah hujan sebagai sebuah awal kelahiran baru.

Siklus hujan ini merupakan esensi kehidupan arus timur, berlangsung tak terhenti, menuju pada proses penyadaran yang abadi. Menyatu dalam keharmonisan terhadap alam dan semesta.

”Budaya bangsa yang setelah sekian abad lamanya bergerak, menuju pada sebuah proses cermin diri yang selalu bermuara ke dalam perenungan sejati, menumbuhkan nilai-nilai universal: kemanusiaan”

Catur Pramudito Damarjati, Mahasiswa Fiskom UKSW (Salatiga)