blank

Ringkasan Cerita Lalu:

Ketika Senapati Bandang Segara dan pasukannya menyerbu Padepokan Gelagah Abang, Arya Pandan diajak pergi Kembang Manggis ke suatu tempat. Diajarilah Arya Pandan berlatih kuda dengan cara yang tidak biasa, keduanya menaiki satu kuda dan meloncat  dari batu sungai yang satu ke batu sungai yang lain. – red.

“Aku tidak tiduuur, tidak tahukah kalau aku ketakutan?” kata Arya Pandan masih dengan merangkul tubuh Kembang Manggis secara kencang.

“Ha ha ha ha,” Kembang Manggis tertawa.

Serta – merta, dipaculah lari kuda menukik ke atas dengan arah tegak lurus, sehingga semakin ketakutanlah Arya Pandan dan berterikan: “Aaaaaaaaaaaaa…!!” Mendengar suara itu Manggis semakin kegirangan. Hingga pada sebuah ujung, kuda ditepikan dari sungai dan berhenti,

“Itu tadi Jurus Kuda Menetik Angin, Arya Pandan. Maukah kuperlihatkan Jurus Kuda Menggulung Ombak agar kau semakin ketakutan?” lanjut Manggis.

“Oh, jangan, Manggis,” sahut Arya Pandan.

“Kalau begitu lepaskanlah dulu pelukanmu yang kencang di peritku.”

“Berjanjilah kalau kau tak akan melarikan kudamu begitu kencang bersamaku….” Pinta Pandan.

“Baiklah, aku janji.”

“Bawa aku kembali bersama kudaku dulu. Jayeng sudah terlalu lama sendiri dan kesepian.”

“Ha ha ha ha …” Kembang Manggis tertawa lebih kencang.

Keduanya pun mencari ke arah mana Jayeng berdiri. Melihat majikannya menuju ke arahnya bersama Kembang Manggis, ia pun buru-buru menghampiri. Ketika Arya Pandan turun dari kuda Manggis dan memeluknya, Jayeng meringkik seperti terlepas dari rasa khawatir yang luar biasa.

Mendadak suara titir berbunyi dari kejauhan. Iramanya bertalu-talu dan amat panjang.

“Nah itu dia, titir dari padepokan berbunyi. Itu tanda pasukan kerajaan telah pergi. Sebaiknya cepatlah menaiki kudamu, pulanglah ke padepokan bersamaku. Jangan mendahuluiku ya, kau akan tersesat nanti !”

Keduanya  meninggalkan bantaran Sungai Kopen dengan pacuan kudanya yang kencang. Hari terang tenah, tidak lama lagi langit akan kembali terang. Burung-burung malam sesekali terlihat seakan ingin segera pulang ke sarang.

Arya Pandan melarikan kudanya, mengikuti ke arah mana kuda Kembang Manggis menuju. Mereka akan segera ke padepokan. Jalanan tampak terang tanah,  terasa terjal dan masih gelap.

Akan tetapi ini bukan hal yang asing bagi Arya Pandan, pelariannya dari medan perang ketika itu  juga mengalami hal serupa. Mula-mula hanya sendiri dan berjalan kaki, baru kemudian bertemu Jayeng di jalan gelap.

Dan sikap pura-pura bodohnya sewaktu berlatih kuda bersama Kembang Manggis, sebenarnya hanyalah siasat. Itu semua agar tak diketahui seberapa kesaktiannya saat menghadapi perempuan elok tersebut. Meski harus diakui bahwa Mangis memiliki kelebihan yang tidak dimiliki gadis kebanyakan. Bahkan telah ia rasakan kehangatan tubuh Kembang Manggis sewaktu berada dalam boncengan kudanya. Juga ketika Arya Pandan pura-pura takut sampai kemudian memejamkan mata. Teriakan itu bukanlah ketakutan yang sesungguhnya, melainkan kenikmatan yang ia rasakan luar biasa.

“Pandaaaan, Pandaaaann !!!” Tiba-tiba Manggis meneriakinya keras.

“Yaaaa, ada apa Manggiiisss??”

Kembang Manggis memperlambat kudanya, lantas berjajar ke samping Jayeng, kuda Arya Pandan.

“Sedang tertidurkah kau?  Larimu sangat pelan, jauh di belakang kudaku.”

“Oh, Maaf. Benar kau, aku hampir ketiduran.”

“Bukan hampir, tapi memang benar-benar sudah ketiduran. Ayolah dipercepat !!”

“Ya-ya. Hyaaah….!!!”

Hari sudah benar-benar terang ketika keduanya sampai di padepokan. Para murid sudah bersiap dengan tugas dan kegatannya. Ada yang hendak mandi di bilik berama, ada pula yang mempersiapkan minum serta makanan harian. Sedangkan yang lain memberi makanan kuda berupa tumpukan rumput yang telah dipersiapkan di padepokan.

Melihat keduanya masuk ke padepokan, Lindhujati menatap Arya Pandan kurang suka.

“Ada apa, Kakang Lindhu ?” Arya Pandan menyapa terlebih dahulu.

“Adimas sedang melakukan hal yang tidak semestinya di Pasepokan ini,”

“Bukankah telah sepengetahuan Ki Guru, saya berlatih kuda bersama Manggis di malam hari?”

“Itulah, kenapa latihan berkuda malam hari bersama seorang perempuan, baru pertama kali dilakukan di Padepokan. Semoga tidak akan terulang untuk yang ke dua kalinya.”

“Kalau Kakang Lindhu tidak berkenan, Kakang bisa langsung menghadap Ki Guru. Jangan saya yang disalalakan, saya hanya menuruti semua ketentuan yang diberlakukan. Kenapa Kakang kurang berkenan?”

“Adimas Pandan ..!!” Lindhujati membentak. Tak lama kmudian sebuah hantaman kecil mendarat ke muka Arya Pandan. “Kurangajar kamu ya, berani-beraninya memerintahku. Memangnya siapa kamu?” lanjut Lindhujati masih dengan terus merangsak ke tubuh Arya Pandan..

“Ampuun, maafkan saya Kakang Lindhu,” Arya Pandan mencoba menangkis hantaman Lindhujati yang muakanya semakin memerah.

Kemarham Lindhujati tidak main-main. Itu karena kepergian Arya Pandan dan Kembang Manggis tanpa mengajak serta dirinya.  Rupanya selama ini Lindhu menaruh  hati pada Manggis dan tidak ditanggapi, Tapi apa boleh buat, semua bukan salah Pandan. Ia sendiri termasuk orang baru yang keergiannya ke Sungai Kopen bersama Manggis atas perintah Ki Dhamarjati Wasesa.

_”Saya harus bagaimana Kakang? Saya orang yang tak tahu diri dan ingin diterima secara baik di sini.”

“Ya sudahlah, segera bersih-bersih diri. Siang nanti kita ada rencana menghadap Ki Guru Dhamarjati,” kata Lindhujati sambil menuju ke kudanya. Sementara dengan sikap kurang enak Arya Pandan Langsung ngeloyor ke bilik panjang tempat murid yang lain  berih-bersih dengan pancuran yang dikucurkan langsung dari mata air pegunungan.

Sepanjang guyuran air suci pegunungan itu, pikiran Arya Pandan benar-benar dibuat goreh. Ingin rasanya nanti setelah ini, ia  bertanya kepada Kembang Mnnggis,  apa penyebab kemarahan Lindhujati tadi.

Namun ia harus menuju ke  paseban terlebih dahulu menghadap Ki Guru setelah mandi. Maka segera ia selesaikan mandi, agar tidak terlambat meghadap Ki Guru Dhamarjati.

“Mari Kisanak,”tegur seorang murid lain yang telah selesai mandi.

“Silakan,” jawabnya.

***

Paseban sudah kelihatan ramai. Terlihat Lindhujati berada paling depan di antara para murid yang lain. Tidak lama kemudian Ki Dhamarjati masuk paseban dari pintu belakang. Wajahnya teduh dan berwibawa. Satu demi satu Para murid yang duduk di deret depan diamatonya. Namun ketika tidak diketemukan sosok Arya Pandan di sana, Ki Guru lantas berdiri dan mengamati orang-orang yang di belakang. Tiba-tiba ia menuding seseorang sambil berkata, “Hei, kenapa Kisanak di belakang? Majulah !”

Arya Pandan dengen tergopoh berdiri sambil kedua tangannya bersidekap. “Mohon maaf, Ki Guru.”

:Majulah di depan. Aku ingin bicara !”

Mendengar kata-kata itu ia berjingkat menuju ke deret depan, Arya Pandan duduk di sebelah Lindhujati yang masih bersikap tidak suka terhadapnya.

Ki Dhamarjati lantas menceritakan kedatangan Arya Pandan di padepokan ini. Ketika Ki Guru memperkenalkan Pandan, raut muka Lindhujati tampak kurang suka.

“Kisanak, mulai hari ini kau kuterima sebagai murid di Gelagah Abang. Dengan demikian kalian semua, para murid, juga harus menganggap ia sebagai saudara. Tidak seorangpun ada yang bersikap membedakan, apa lagi memusuhi. Coba bacakan sekali lagi sumpah prasetya di padepokan kita. Kamu Lurah, ya kamu !”

Seorang murid yang dijuluki Ki Lurah di Padepokan segera berdiri dan membuka lembar sumpah prasetya yang dijinjingnya.

“Bacakan Sumpah Prasetya padepokan !” perintah Ki Guru.

Ki Lurah pun membacakan butir-butir kesetiaan yang intinya megingatkan kembali kepada semua murid untuk tetap setia pada Padepokan Gelagah Abang. Pada  butir: “Seluruh murid harus mentaati butir-butir yang ditetapkan Ki Guru. Bagi yang melanggar Sumpah ini dipersilakan mengundurkan diri sebagai murid. Tertanda – Ki Damarjati Wasesa,”

Lindhujati menundukkan muka, namun gerahamnya gemeretakan memendam geram. Ia tidak menyangka kalau Ki Guru Dhamarjati memperlakukan murid yang selama ini sangat setia terhadapnya sepadan dengan murid yang baru saja tiba. Dirinya seperti diadu dengan Arya Pandan, murid baru yang berasal dari antah berantah itu. Apa boleh buat, ia tidak akan berani melanggar aturan yang keluar dari titah gurunya.

“Aku berjanji, kapan-kapan Arya Pandan harus menghadapi pelajaran besar dariku. Tak akan dengan mudah ia merebut Kembang Manggis dari hatiki,” bisiknya.

Arya Pandan tak merasa dirinya serupa murid baru yang dianakemaskan. Sebagaimana murid kebanyakan, ia akan berlatih seperti yang lain,  belajar kawruh jiwa sebagai pendamping kanuragan kelas tinggi dari Ki Guru Dhamarjati.

“Di sini, kalian tidak saja akan mempelajari perkelahian kelas tinggi, belajar sifat-sifat tenaga dalam yang belum pernah kalian temui, atau ilmu terbang sebagaimana kebanyakan para pendekar sakti.”

Arya Pandan mendongakkan wajah, ia seperti mendapatkan pengetahuan baru yang belum pernh diperoleh. Bahkan berlatih di kerajaan pun ilmu kawruh atau pengetahuan di luar perkelahian tidak pernah diajarkan. Sepertinya tidak keliru kalau dirinya menuju ke Padepokan ini.

Ki Guru Dhamarjati kembali berdiri dengan sulit, sebelum akhirnya mengatakan, “Bahwa ruh di jiwa kita juga harus dirawat, karena ruh adalah jiwa. Peperangan tanpa ruh, yang didapat cuma bertumbangnya mayat-mayat. Benar apa tidak ?”

“Benar, Ki Guru !!” jawab para murid serentak.

“Tenaga yang kalian keluarkan selalu menguras tenaga besar. Ingatlah, tanpa dibantu oleh kekuatan jiwa yang tidak terlihat itu, tenagamu hanyalah berkekuatan kecil. Maka camkan kata-kata ini, pelajarilah msing-masing jiwamu dengan seksama.”

Para siswa serentak terdiam. Mereka seperti mengolah batinnya sendiri. Kesombongan, gede rasa dan merasa menjadi sakti tiba-tiba hilang sirna. Yang tersisa hanyalah pengharapan, bahwa kekuatan manusia harus berdaya guna bagi sesama. Berfaedah bagi yang lemah, bukan malah sebaliknya.

“Siapakah di antara kalian yang merasa paling kuat dari yang lain? Berdirilah !”

Suasaba hening sesaat. Tiba-tiba Arya Pandan menunjukkan tangannya, berdiri  dan berkata.

“Maaf, Ki Guru. Saya berdiri bukan merasa paling sakti di antara yang lain,” kata Arya Pandan. Ki Dhamarjati mengangguk-angguk paham.

“Apa maksudmu?” Tanya Ki Guru.

“Saya hanya ingin merontokkan kesombongan dan kecongkakan saya. Maka, bagi siapa saja yang merasa mampu menumbangkan saya yang congkak ini, berdirilah. Maju, terimalah tantangan saya. Tumbangkan kepongahan saya !”

“Ha ha ha..” Ki Guru Dhamarjati terkekeh melihat ulah Arya Pandan. “Memang benar katamu, kau ini pemuda yang sangat sombong. Majulah Manggis, hadapi dia !”

Kembang Manggis yang sedang duduk terantuk terperengah seketika itu juga. Ia lantas berdiri, membungkuk dan memberi hormat. Sebelum akhirnya berhadap-hadapan dengan Arya Pandan.

Arya Pandan sendiri terkejut, tidak membayangkan kalau dirinya akan diadu dengan pendekar perempuan yang baru saja melatihnya. Yang dipikirnya, Ki Guru akan menghadapkan Lidhujati, murid digdaya di padepokan. Arya Pandan sebenarnya berharap melawan orang yang meremehkannya. Melawan Kembang Manggis, selain perempuan sebenarnya ia belum pernah mengalahkan kemampuannya.

Lain pula yang dirasa Lindhujati. Semula ia juga sangat berharap jika lawan Arya Pandan adalah dirinya. Ingin rasanya menghajar Arya Pandan itu di depan orang banyak. Lindhu sudah mempersiapkan bogem mentah yang paling dahsyat bagi Pandan. Namun karena Ki Guru bertitah demikian, maka tak seorangpun di tempat ini yang  menentangnya. Lindhu hanya akan melihat, tumbangnya seorang anak muda sombomh seperti Pandan di hadapan pendekar perempuan bernama Manggis di depan banyak orang.

Kini keduanya terlah berhadap-hadpan, Arya Pandan dan Kembang Manggis. Para murid sepadepokan telah saling merangsak maju. Mereka saling menyemangati rekan sedepadepokan dengan menyebut nama Kembang Manggis berkali-kali.

“Manggis ! Manggis ! Manggis!!”

 (Siapakah pemenang antara keduanya. Arya Pandan atau Kembang Manggis? Kali ini jurus apa saja yang akan diperlihatkan pendekar perempuan dari padepokan Gelagah Abang ini? Tapi benarkah Arya Pandan akan takluk di hadapan Manggis ? – BERSAMBUNG )