KOTA MAGELANG (SUARABARU.ID)- Beberapa hari lalu Taman Tanggul Kali Kota ramai menjadi pemberitaan di medsos maupun berbagai media. Karena di lokasi itu dipasang baliho besar yang menutup keindahan taman tanpa izin.
Di atas taman itu tepatnya di bagian lereng atau tanggul, pemerintah Belanda di kota ini puluhan tahun lalu membuat saluran air kota (Boog Kotta Leiding), yang sekarang dikenal Tanggul Kali Kota.
Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) Bagus Priyana mengemukakan, sejak zaman kolonial Kota Magelang memang diproyeksikan menjadi sebuah pemukiman yang nyaman. Untuk mendukungnya maka dibangun saluran air kota atau Boog Kotta Leiding.
Saluran tersebut mengambil air dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara. Selain dibangun untuk mencukupi kebutuhan air rumah, saluran tersebut juga digunakan untuk membersihkan limbah rumah tangga pemukiman warga di bawahnya.
Untuk itu diperlukan saluran air yang memiliki tekanan. Maka dipilih pemanfaatan energi grafitasi. Saluran air tersebut dibuat mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Terkait itu, pemerinah kolonial membangun saluran air dengan panjang sekitar 6,5 km dari Kali Manggis dan berakhir di Kampung Jagoan, Kelurahan Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan. Saluran itu dibangun digundukan tanah yang sengaja dibuat. Gundukan tersebut memanjang sehingga menyerupai sebuah tanggul di tengah kota.
‘’Namun tidak ada sumber yang menyebutkan asal tanah, pekerja dan biaya yang diperlukan untuk membuat gundukan tersebut,’’ tuturnya.
Saluran tersebut memanjang dan membelah kota atau sering disebut dengan Fly River atau Aqua Duct. Untuk saluran yang memotong jalan raya, pemerintah Belanda membangun terowongan yang dikenal dengan mana plengkung.
Terdapat tiga plengkung yang rata rata tinggi dan lebarnya 7 meter. Yaitu plengkung di Jalan Piere Tendean dibangun tahun 1883, plengkung di Jalan Daha/Tengkon (1893) dan di Jalan Ade Irma Suryani (1920). Plengkung tersebut masuk sebagai bangunan cagar budaya yang keberadaannya perlu dilestarikan.
‘’Plengkung pertama dibangun di Jalan Piere Tendean dan terahir di Jalan Ade Irma, dan orang yang mengenal dengan plengkung baru,” kata Bagus yang juga pemerhati bangunan kuna.
Plengkung di Jalan Piere Tendean dibangun guna membuka akses jalan seiring dibangunnya komplek militer di Taman Badaan (Nievws Officer Kampement) dan tangsi militer (Militair Kompement), sekarang Rindam IV Diponegoro.
Jadi fungsi plengkung selain tempat saluran air dari Tanggul Kali Kota di bagian atasnya, sedang bawahnya untuk akses jalan. Berbeda dengan bangunan serupa di Jogyakarta yang berfungsi sebagai benteng. Plengkung di Kota Magelang berguna untuk tempat saluran air dan membuka akses jalan.
Pada zaman perang kemerdekaan, plengkung digunakan para pejuang sebagai benteng perjuangan. Mereka kerap naik ke atas plengkung dan sepanjang saluran air untuk berperang melawan tentara Belanda.
Bagus yang juga penggemar sepeda kuna menyayangkan, dua dari tiga plengkung sudah mengalami perombakan total dan arsisektur aslinya hilang. Itu terjadi pada plengkung di Jalan Piere Tendean. Plengkung ini dulunya dibuat dengan satu gerbang melengkung dengan komposisi batu kali yang ditata. Pada renovasi pada tahun 2008, dinding yang terbuat dari tatanan batu kali ini ditutup dengan semen dan dilapisi dengan batu taman.
Sedang plengkung di Jalan Daha bangunan aslinya terdiri satu terowongan utama dan dua terowongan kecil di samping kanan dan kirinya. Pada masa Jepang masuk ke Indonesia, dua terowongan pendukung ditutup dengan tanah. Baru pada sekitar tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan sehingga kembali seperti aslinya.
Namun, seiring dibangunnya perumahan di sekitar plengkung itu sekitar tahun 2008, plengkung tersebut juga mengalami renovasi. ‘’Sayang renovasinya menghilangkan komposisi bangunan lama,’’ ungkapnya.
Pemerhati Kota Toea Magelang lainnya, Fredi Uwek juga menyayangkan perombakan plengkung Jalan Daha. ‘’Itu sangat disayangkan, perombakan mengesampingkan nilai sejarah. Harusnya itu tidak boleh, wong itu masuk benda cagar budaya,’’ tegasnya.
Satu lagi adalah plengkung di Jalan Ade Irma Suryani. Bangunan sudah ditumbuhi lumut dan tanaman. Perlu direnovasi tanpa menghilangkan nilai sejarah, seperti dua plengkung lainnya.
Doddy Ardjono