blank
Ruang redaksi Kantor Berita Reuters. Foto: reuters

Oleh: Amir Machmud NS

blankDI tengah suasana peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021 ini, saya menyerap pernyataan dua tokoh ulama Jawa Tengah. Dr KH Ahmad Darodji, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng, dan Prof Dr Abu Rokhmad, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, yang juga pengurus MUI.

Sambutan reflektif Kiai Darodji dalam syukuran HPN bersama PWI Provinsi Jawa Tengah di Gedung Pers, 8 Februari, menyinggung mengenai keniscayaan narasi media, yang bisa saja bernada optimisme dan berirama pesimisme. Nada-nada itu akan memberi pengaruh yang juga berbeda. Realitas semacam itu menjadi contoh, betapa wartawan punya kekuatan untuk “menentukan arah” sebuah pemberitaan, misalnya dalam mengemas informasi-informasi tentang pandemi covid-19.

Sedangkan Abu Rokhmad, mengomentari artikel saya di portal berita suarabaru.id, ‘Nyala Berita seperti Api’, pada 8 Februari, mengirim chat WA yang ringan tetapi serius, ‘Api itu dalam Bahasa Arab bisa mendua arti, yakni nar dan nur’.

Dalam makna bebas, “nar” adalah “neraka”, dan “nur” adalah “cahaya”. Saya memberanikan diri untuk menafsirkan, berita berkualifikasi “nar” membawa pengaruh negatif, sedangkan yang bersifat “nur” membawa pencahayaan atau pencerahan kepada publik.

Pernyataan-pernyataan tersebut secara tidak langsung membumikan pemahaman tentang teori agenda setting dan framing, dengan bahasa yang lebih praktis. Penyeleksian dan pembingkaian berita berlaku pada setiap pilihan arah pemberitaan. Mana informasi yang akan disampaikan? Ke mana wartawan dan media membawa pemberitaannya untuk isu-isu publik tertentu?

Membawa dan mengarahkan pemberitaan merupakan keputusan orientasi dalam praktik newsroom: ke mana wartawan memuarakan sikap penginformasiannya? Untuk apa narasi itu, untuk siapa, untuk tujuan bagaimana, dan mengapa?

Kemasan narasi berita merupakan penggambaran “warna” sikap, bernada positifkah atau berirama negatif.

Kiai Darodji secara tersirat mengingatkan, aksentuasi narasi membawa pengaruh yang berbeda. Sementara Gus Abu Rokhmad memberi “warning” tentang efek dikotomis media, menjadi bernilai “nar” atau berwatak “nur”.

Transformasi Empati
Masa-masa pandemi covid-19 selama sekitar setahun ini, bagaimanapun telah mentransformasikan sikap dalam wujud jurnalisme empati, melalui ragam pemberitaan yang bersifat edukatif dan inspiratif. Praktik berjurnalistik dan bermedia dalam kondisi keprihatinan ini, bisa kita rasakan mendekat ke pilihan-pilihan sikap yang memberi ruang pendidikan dan pengetahuan.

Tema HPN yang diusung oleh PWI Provinsi Jawa Tengah, ‘Pers Inspiratif Mengawal Rakyat Sehat’, merupakan penjabaran tema Peringatan HPN Tingkat Nasional, ‘Bangkit dari Pandemi, Pers sebagai Akselerator Kebangkitan’. Paralel dengan pemikiran Kiai Ahmad Darodji dan Prof Abu Rokhmad, logika berpikir mengenai kemaslahatan publik itu adalah pilihan keberpihakan pada pemberitaan yang bernuansa optimisme dan mencahayai.

Secara khusus saya mencatat, aksen pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat menerima audiensi pengurus PWI 2020-2025 pada November tahun lalu. Kata Ganjar, media idealnya mengembangkan narasi-narasi positif pemberitaan di tengah kondisi bangsa yang sedang “meriang”. Narasi itulah pilihan orientasinya, berupa nada optimistis dan pemberitaan yang memberi “nur”.

Narasi positif tak berarti kemampatan sikap yang mematikan fungsi kontrol sosial. Justru pemaknaannya adalah memilih yang terbaik untuk kemaslahatan bersama. Termuat tanggung jawab besar pers, untuk memperkuat sebaran pengetahuan menyangkut berbagai sisi tentang covid-19.

Sebaran pengetahuan itu bisa dikemas lewat pemberitaan yang berintensi membangun optimisme, menyalakan harapan, menyebar edukasi mengenai vaksinasi, serta meluruskan informasi-informasi tidak jelas di media sosial. Juga menyampaikan informasi alternatif kepada otoritas-otoritas, terkait tentang fakta-fakta yang terjadi di tingkat rakyat, dan membutuhkan kesigapan penanganan.

Masukan, sentilan, temuan, dan kritik kepada pemerintah juga menjadi bagian dari penarasian sikap berpihak kepada kemaslahatan bersama tadi.

Di tengah orientasi sikap tersebut, barang tentu kita merespons positif pernyataan Presiden Joko Widodo dalam pidato HPN pada 9 Februari. Dia meminta, pers tidak segan-segan mengkritisi pemerintah. Skeptik atau bakal bereforiakah kita dengan statemen Jokowi tersebut?

Kita masih harus membuktikan komitmen “siap dikritik” itu, termasuk dengan mengamati perkembangan respons lingkaran Presiden dalam menghadapi kritik. Jangan-jangan Jokowi memang siap dikritik, akan tetapi “All the President’s Men” dan para buzzer yang malah tidak siap?

Namun mari tepikan dulu skeptisitas kita, bahwa statemen tersebut hanya bumbu pemanis dalam seremoni HPN. Kita tunggu pembuktian pemaujudan komitmen tersebut.

Cahaya Pemberitaan
Dua empu jurnalistik legendaris, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pernah menyampaikan kalimat yang mengungkapkan posisi penting jurnalisme, “Berikanlah sinar, dan orang-orang akan mencari jalannya sendiri”.

Sinar berkonotasi positif, dan cahaya itulah yang akan membimbing, menerangi masyarakat untuk menentukan pilihan jalan mereka.

Sama seperti ketika kita memaknai kebijakan Gubernur Ganjar ‘Dua Hari di Rumah Saja’, pada 6-7 Februari lalu, pemberitaan media di tengah respons riuh media sosial adalah, narasi-narasi dengan bobot “nur” masing-masing.

Apa yang disajikan media tentang kebijakan tersebut merupakan pemandu jalan agar orang-orang (audiens), memilih mengikuti atau tidak mengikuti. Media mengetengahkan plus-minusnya. Gubernur mengurai fakta latar belakang untuk memberi argumentasi kebijakan tersebut.

Memang dikotomi positif-negatif pastilah ada. Dan, bukankah tujuan narasi positif media adalah kemaslahatan berupa kesehatan masyarakat?

Lebih jauh lagi, artikanlah tujuan pers inspiratif dalam lika-liku pemberitaan pandemi covid-19, yakni kesehatan masyarakat adalah bugar secara fisik, segar secara psikis, dan bangkit sehat secara ekonomi.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah