Reportase Widiyartono R
COLO adalah sebuah desa di Kecamatan Dawe, kaki Gunung Muria Kudus. Jarak dari kota Kudus menuju lokasi ini kurang dari 20 km, yang bisa ditempuh dengan kendaraan dalam waktu sekitar setengah jam. Ya, Colo memang dikenal sebagai tujuan wisata religi, khususnya ziarah ke makam Sunan Muria, atau Raden Mas Said.
Maka pada saat normal di luar pandemi seperti saat ini, banyak dijumpai bus-bus membawa peziarah dari berbagai tempat yang parkir di kawasan wisata Colo. Meski saat pandemic seperti sekarang, tetap masih ada yang berkunjung ke sana, meskipun tidak meluap seperti biasa.
Colo memang tepat peziarahan, khususnya bagi umat Islam. Tetapi selain itu, tempat ini memang unik. Lokasinya di ketinggian, udara relatif sejuk pada siang hari, tetapi sangat dingin pada waktu malam. Untuk sekadar “ngadhem”, Colo merupakan lokasi yang cocok.
Terlebih di sana juga ada hotel milik pemda yang bi dijadikan tempat beristirahat. Di hotel ini juga sering diadakan kegiatan seperti rapat, pelatihan, workshop, dan lain-lain.
Jeruk Pamelo
Ada yang unik bila kita berkunjung ke Colo. Setelah masuk dan membayar tiket, kemudian kita akan melewati kawasan yang biasa digunakan untuk parkir bus-bus pembawa wisatawan. Di situ ada masjid, dan di sekitarnya banyak sekali pedagang.
Yang dijual sangatlah khas Colo, misalnya ganyong sejenis umbi-umbian keluarga yang termasuk kana seperti bunga puspanyidra. Umbi yang berasa manis dengan serat-serat kasar ini dijajakan sudah dalam keadaan matang.
Selain ganyong ada juga kimpul atau talas yang juga dijual sudah dalam keadaan matang. Jadi kalau kita beli, bisa langsung kita nikmati. Bagi orang kota, jenis makanan ini jelas sangat jarang dijumpai. Maka, ini adalah sebuah sensasi bila kita menikmatinya di Colo.
Dagangan lainnya ada petai. Nah, petai menjadi buah tangan bagi yang berkunjung ke Colo. Bentuknya yang panjang, bijinya besar, apalagi yang tua. Ah, sangat mantap untuk disantap di rumah sebagai teman makan ayam goreng, campuran nasi goreng, atau masakan lainnya.
Ada juga kulit pohon pakis, dalam ukuran tertentu, yang konon dipercaya bisa menjadi pengusir tikus. Bentuknya yang eksotis bagaikan ukiran, potongan kayu pakis ini juga bisa digunakan sebagai hiasan. Kemudian yang juga selalu ada di Colo adalah pisang tanduk atau orang Jawa meyebutnya gedhang gebyar.
Yang juga sangat popular adalah jeruk pamelo. Ini semacam jeruk bali, dalam ukuran yang besar, rasanya manis, buahnya berwarna merah.
Nama “pamelo” sekarang disarankan oleh Kementerian Pertanian, karena ini bukan “jeruk bali” dan tidak ada kaitannya dengan Bali. Konon pula, kata pamelo ini disematkan pada jeruk itu, karena mengacu pada bintang film Baywatch Pamela Andersen yang dadanya besar seperti jeruk endemik Muria ini. Ah ada-ada saja….
Jeruk pamelo memang besar dan rasanya manis. Maka harganya pun, wow, tentu tidak murah. “Ini yang kecil-kecil dua puluh ribu. Yang agak besar tiga puluh lima ribu. Yang super tujuh puluh lima ribu,” ujar penjual di pasar buah yang ada di Colo.
Yang harganya 35 ribu rupiah, itu memang besar, tetapi ada “cacat” di kulitnya karena adanya serangan hama atau tumbuhnya tidak sehat. Tetapi yang super memang dijamin. Selain besar juga manis.
“Kalau milih jeruk seperti ini jangan cuma karena besarnya. Tetapi diangkat dan dirasakab beratnya. Kalau yang lebih berat, itu isi buahnya besar. Kalau ringan kebanyakan lapisan kulitnya,” ujar seorang pengunjung.
Ayam Bakar dan Pecel Pakis
Yang paling sensasional, kalau berkunjung ke Colo ya makan pecel paku. Lho, mosok paku dimakan. Ya, pakis adalah tanaman jenis paku-pakuan. Jenis pakis tertentu, daunnya bisa dimasak. Kalau di Baturaden dimasak oseng-oseng dicamput kamijara atau sereh. Nah, di Colo dimacak pecel.
Ada sebuah warung namanya Mbok Yanah, yang menyediakan pecel pakis ini. Tetapi yang lebih menggetarkan lagi adalah ayam bakarnya. Tetapi maf-maaf kata, kalau Anda cuma berduaan saja disarankan jangan pesan ayam bakar di sini. Dijamin nggak bakalan habis.
“Kalau pesan ayam di sini harus satu ekor, ya kalau nggak habis kan bisa dibungkus dibawa pulang,” kata pemilik warung.
Maklum, pemilik warung memang tidak menyediakan potongan ayam. Jadi kalau kita ke sana, harus pesan ayam satu ekor utuh. Jadi kalau cuma berdua, ya sisanya dibungkus buat oleh-oleh. Rasa ayam bakarnya memang mak nyussssss. Manis gurih, disantap dengan nasi hangat dan pecel pakis. Pokoknya uenaaak tenan.
Bila tidak pesan ayam, ada sih lauk lainnya seperti bakwan, tempe, atau kerupuk. Juga bisa pesan ayam goring tentu saja. Tetapi pecel pakis itu pasti turut disajikan.
Rumah-rumah di Lereng
Di Kabupaten Magelang ada tempat viral di Dusun Butuh, Kecamatan Kaliangkrik. Dusun Buuh namanya tenggelam berganti dengan Nepal van Java. Ya, rumah-rumah di lereng punggung Gunung Sumbing itu diimajinasikan oleh netizen seperti rumah-rumah di Nepal, di lereng Pegunungan Himalaya.
Di Colo, ada juga rumah-rumah eksotik yang berderet di lereng yang cukup tajam. Bila dipandang di pinggir jalan raya depan hotel milik pemda, memang jadi eksotik sekali. Hanya saja, tidak diwarna-warni seperti di Butuh, Kaliangkrik.
Pengunjung bisa berfoto dengan latar belakang kawasan rumah di tebing tajam itu. Bila cuaca bagus, akan sangat indah. Kalau pun toh ada kabut, itu akan menambah sensasi di foto-foto kita.
Tetapi, bila berkunjung ke Colo memang harus hati-hati. Tukang ojek banyak sekali di sana, mengantar pengunjung yang berziarah ke makam Sunan Muria di puncak. Mereka adalah pengendara yang amat mahir, sehingga mengemudikannya pun cenderung ngebut. Cukup ngeri juga bagi pengunjung.
Ya, ayo kita ke Colo. Tetapi harap diingat, karena masih suasana pandemi maka tetap harus dijaga protocol kesehatan. Pakai masker, cuci tangan, dan yang penting jangan bergerombol, jangan berkerumun.
Selamat berwisata.
Widiyartono R, wartawan suarabaru.id, pemerhati masalah pariwisata.