Oleh: Idham Cholid
SEMUA itu tentang pekerjaan atau sesuatu yang dikerjakan. Yang terpenting sebenarnya, bagaimana kita meresponnya. Ini tak hanya soal pandangan. Lebih dari itu, berkaitan dengan pertanggungjawaban.
Ada yang menganggap luar biasa. Ada yang memandangnya biasa-biasa saja. Ada pula yang justru meremehkannya. Semua itu membawa konsekuensi yang tak sama.
Mereka yang meremehkan, dapat dipastikan akan bertindak serampangan. Jangankan soal kinerja, aturan dan norma kerja sekalipun boleh jadi akan diterjangnya.
Bukan karena “terjepit” kondisi, tapi niatnya memang “memaksa” situasi. Selalu saja, keuntungan diri yang menjadi ukurannya.
Yang berpandangan biasa-biasa saja akan melakukan itu semua dengan ala kadarnya. Mungkin sekadar menggugurkan kewajiban, yang penting sudah melakukan. Titik.
Ada pun yang menganggap luar biasa, sudah pasti akan menempatkan suatu “profesi,” apa pun itu, dengan penuh tanggung jawab yang pasti.
Tidak saja menyukai tapi lebih dari itu, menikmati profesi dengan selalu memperbaiki diri, meningkatkan kinerja dan mengukur hasilnya secara tepat guna.
Istilah Jawa
Bisa dilihat, pertama-tama, dari cara kerjanya. Kerja cepat, setiap hal dikerjakan dengan tepat, sudah menjadi ritmenya. Yang demikian ini, dalam istilah Jawa disebut thas thes.
Istilah itu tak akan pernah ditemukan di kamus mana pun. Coba saja dengan keyword thas thes, Anda buka google, yang akan muncul artinya adalah selera, cita rasa. Ini tiada lain makna dari bahasa Inggris.
Kenapa penulisannya bisa sama? Jelas akan beda jika ditulisnya dengan huruf Jawa. Tapi untuk saat ini, siapa yang bisa memahami? Paling hanya segelintir orang tua, lebih banyak juga yang tinggalnya di Yogyakarta.
Jangankan soal tulisan Jawa, istilah tastes itu sendiri tak banyak yang benar-benar bisa memahami. Apalagi ungkapan dan atau pitutur Jawa yang lain.
“Alon-alon waton kelakon” misalnya, yang masih selalu diartikan sebagai sikap lambatnya orang Jawa dalam bekerja dan atau melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan. Bahkan katanya, itulah mentalitas Jawa.
Memaknai seperti itu bukan saja tidak tepat, tapi jelas tak benar sama sekali. Alon-alon asal kelakon sejatinya lebih bermakna merupakan sikap kehati-hatian, mengukur suatu tindakan dengan tepat dan penuh perhitungan. Tidak serampangan.
Demikian pula thas thes. Tak jarang sekadar dipahami sebagai langkah cepat. Lebih dari itu, sering pula untuk menyebut orang yang menyukai kerja keras, yang bisa melakukan beberapa langkah sekaligus.
Spirit Agama
Bahwa tastes termanivestasikan pada sikap dan tindakan tegas, dimiliki para pekerja keras, juga tak keliru jika menilainya seperti itu.
Tegas dalam bersikap dan bertindak -(assertiveness)- tidak lain adalah ekspresi terbuka dan jujur untuk memperoleh hak pribadinya, sekaligus menghormati hak orang lain di saat yang bersamaan. Dengan kata lain, jauh dari sikap plin-plan yang tak jarang justru bisa merugikan diri sendiri, juga orang lain tentunya.
Tegas itu bisa pula dikatakan sebagai hilangnya keraguan. Melangkah dengan penuh keyakinan. Acapkali juga, karena cemoohan atau ada yang nyinyir misalnya, sikap kita bisa berubah haluan.
Apalagi jika mendapat ancaman, maka dengan seketika tindakan baik pun bisa digagalkan. Atau bahkan bukan itu semua, tapi “bisikan” halus dari dalam diri kita sendiri yang selalu tak pasti. Kenapa? Sebenarnya lebih disebabkan karena ketidakjelasan “keyakinan” kita sendiri.
Inilah yang oleh sufi besar Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari (w.1350 M) dikatakan sebagai kebodohan. Semua masih serba penuh ketergantungan; menggantungkan pada penilaian, pujian, celaan, dlsb.
Tentu, yang disebut bodoh itu tak semata soal intelektualitas. Dikatakan cerdas juga bukan hanya pintar otaknya saja. Kecerdasan utama justru karena integritas, menyatunya sikap dan tindakan.
Antara yang dikatakan dan dinyatakan dalam tindakan itu sama. Setidaknya, tak jauh beda. Bukankah kemunafikan itu dilarang Tuhan?
Bahwa thas thes itu melekat pada pekerja keras juga tak salah menyematkannya. Namun bukan kerja keras dalam arti workaholic. Ini tentu beda. Yang disebut terakhir lebih berkonotasi negatif, karena seseorang itu mementingkan pekerjaan secara berlebihan, bahkan melalaikan aspek kehidupan yang lain.
Workaholic memiliki kecanduan yang tak sehat, yaitu kecanduan kerja, atau gila kerja, mengejar karier dan menganggapnya sebagai satu-satunya yang bisa mengerjakan dengan benar. Yang demikian dalam pandangan agama justru tak dibenarkan.
Agama melarang kita untuk bersikap, melakukan langkah dan tindakan secara berlebihan. Dalam hal apa pun itu, hendaklah dengan sewajarnya saja.
Kewajaran itulah yang bisa membuat kita bisa mengatur frekuensi dengan baik dan benar. Yakni, jelas yang dikerjakan; tegas, tanpa keraguan; serta semua itu bisa benar-benar dituntaskan. Inilah sebenarnya yang menjiwai makna tastes itu sendiri.
Bukankah “jika kamu telah selesai mengerjakan sesuatu, kerjakanlah yang lain; dan hanya kepada Tuhan kamu tambatkan harapan” sudah jelas diperintahkan? (Qs.94:7-8).
Ini bermakna, tidak hanya jelas dan tuntas sesuatu yang dikerjakan, tapi kepada siapa sebenarnya harapan, pamrih, dan pujian itu dialamatkan!
Kalisuren, 5 Januari 2021
Idham Cholid (Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara dan Pembina Komunitas Pedagang Kecil Wonosobo)