JEPARA (SUARABARU.ID)- Pemerintah Kabupaten Jepara akhirnya membangun monumen dua tokoh Jepara. Raden Mas Panji (RMP). Sosrokartono dan adiknya RA. Kartini. Mungkin untuk RA Kartini sudah banyak tulisan yang mengulas tentang dirinya. Terutama kumpulan suratnya yang berjudul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang pada tahun 1911 dibukukan oleh J.H Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Namun, kita sering melupakan sosok yang paling berpengaruh dalam kehidupan Kartini, sosok guru sekaligus mentor dalam dunia intelektualnya yakni kakak kandungnya sendiri RMP. Sosrokartono.
RMP. Sosrokartono lahir di Mayong, Jepara pada Rabu Pahing 10 April 1877 Masehi dari pasangan Raden Mas Semangun Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Sosrokartono merupakan anak yang sangat luar biasa cerdas. Kakek dari ayahnya adalah seorang Bupati Demak bernama R.M.A.A. Ario Tjondronegoro IV. Sedangkan kakek dari ibu adalah seorang pemimpin sebuah pondok pesantren di Teluk Awur bernama Kyai Haji Modirono. Eyang buyut Sosrokartono adalah R.M.A.A. Tjondronegoro III seorang Bupati Kudus yang sangat dihormati.
Pada saat kelahiran Sosrokartono, Raden Mas Semangun Sosroningrat ayahnya masih menjabat sebagai Wedana Mayong. Hingga pada tanggal 29 Desember 1880 Raden Mas Semangun Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara dengan nama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.
Karena dari keluarga bangsawan, Sosrokartono mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Saat berusia 8 tahun Sosrokartono disekolahkan di Europes Lagere School atau Sekolah Rendah Belanda di Jepara. Setelah lulus tahun 1892, Sosrokartono melanjutkan pendidikan di Hogere Burger School saat itu usianya 15 tahun. Setamat dari Hogere Burger School Sosrokartono melanjutkan study ke Belanda, salah satu saran dan nasehat dari Ir. Heyning, Kepala Jawatan Pengairan Wilayah Muria. Ir. Heyning termasuk orang yang mengenal baik keluarga Sosrokartono.
Karena dorongan beberapa pihak, akhirnya Sosrokartono mendaftarkan diri di sekolah tehnik sipil bernama Technische Hogeschool di kota Delft, Belanda. Saat study di kota Delft Sosrokartono satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Jawa. Tujuan utama dipilihnya sekolah tehnik sipil, diharapkan dikemudian hari Sosrokartono dapat mengatasi kekeringan yang sering melanda daerah Jepara, Kudus dan Demak. Karena ketiga wilayah tersebut merupakan daerah penghasil beras.
Perjalanan Sosrokartono dalam menuntut ilmu di Eropa dimulai di usia yang sangat muda yakni ketika dia berusia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1898. Ternyata jurusan Tekhnik bukan menjadi minat Sosrokartono. Akhirnya dia pindah jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Dengan minat yang sangat besar dalam bidang bahasa dan sastra, Sosrokartono dalam waktu singkat telah menguasai lebih dari 35 bahasa asing dan bahasa Nusantara hingga dia dijuluki sebagai polyglot.
Menjadi seorang wartawan Perang Dunia I di harian koran The New York Herald Tribune, Sosrokartono melalui seleksi ketat saat mendaftar. Ia berhasil menyingkirkan beberapa pendaftar yang kebanyakan dari Eropa. Saat terjadi peundingan damai anatara Jerman dengan Perancis yang dilakukan secara rahasia di sebuah gerbong kereta dan di pedalaman hutan Champaigne, Perancis Selatan, serta dijaga ketat oleh tentara, Sosrokartono berhasil meliput perundingan tersebut dan memuatnya di harian The New York Herald Tribune, duniapun dibuat gempar. Dalam Memoir Mohammad Hatta (1979) meyakini, gaji Sosrokartono sebagai jurnalis The New York Herald Tribune sangat besar untuk ukuran zaman itu, yakni 1.250 dolar AS per bulan.
Api revolusi mulai menjalar ke Hindia Belanda. Pada tanggal 15 November 1908 Bersama dengan para mahasiswa yang berasal dari Hindia Belanda, Sosrokartono ikut bergabung menyuarakan kemerdekaan Republik Indonesia. Pergerakan mahasiswa Indonesia ini bernama Indische Vereeniging, salah satu embrio pergerakan nasional. Ketika Indische Vereeniging mengirimkan sebuah naskah buku berisi pemikiran-pemikiran tentang kemerdekaan Indonesia ke Boedi Oetomo di Batavia, Sosrokartono menjadi salah satu tim redaksi penyusun naskah.
Kembali ke Ibu Pertiwi
Sosrokartono memutuskan kembali ke tanah kelahirannya untuk ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Kehidupan Sosrokartono sangat bertolak belakang dengan ketika dirinya hidup di Eropa. Beberapa tawaran pekerjaan dari Pemerintah Hindia Belanda selalu ditolaknya. Sosrokartono tidak ingin bekerja dengan pemerintah Hindia Belanda ketika melihat penjajahan di tanah airnya. Hungga pada akhirnya gerak-gerik Sosrokartono diawasi pihak Belanda karena dianggap membahayakan kaum kolonial. Bahkan Sosrokartono dicap sebagai Komunis.
Ki Hajar Dewantara akhirnya menawari pekerjaan di Taman Siswa sebagai pengajar. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena Sosrokartono tidak ingin orang-orang yang berhubungan dengan dirinya dipersulit oleh Belanda. Apalagi Sosrokartono bermasalah dengan Snouck Hurgronje seorang pejabat tinggi Belanda yang masih menyimpan rasa tidak sukanya kepada Sosrokartono karena pidatonya dalam Konggres Bahasa dan Sastra Belanda pada tahun 1899 mengkritik pemerintah Kolonial karena tidak memperhatikan hak-hak kaum pribumi, termasuk hak mempelajari bahasa Belanda.
Kondisi Sosrokartono di akhir hidupnya sangat memprihatinkan. Dalam kesendirian Sosrokartono mengalami kelumpuhan pada tahun 1942 karena tekanan batin memikirkan penjajahan di Indonesia, serta pembantaian rakyat Aceh. Namun Sosrokartono tetap tokoh yang sangat dihormati, terutama oleh Presiden Sukarno. Pada tahun Pada 8 Februari 1952, Raden Mas Panji Sosrokartono Pangeran dari Jawa wafat pada usia 74 setelah berjuang sekuat tenaga dalam kelumpuhan dan kepayahan. Sosrokartono dimakamkan di Jl. Sosrokartono, Kudus, Kaliputu, Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Dalam hidupnya, Sosrokartono mempunyai laku spiritual yang penuh dengan kebijaksanaan. Hal ini dijalankan oleh para muridnya hingga saat ini. Kebijaksanaan hidup Sosrokartono tertulis dalam sebuah catatan yang tetap dilestarikan, salah satunya adalah: Sugih tanpa banda, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake, Trimah miwah pasrah, suwung pamrih, Tebih ajrih langgeng tan ono susah, Tan ono bungah. Anteng manteng, sugeng Jeneng, Durung menang yen durung wani kalah, Durung tunggul yen durung wani asor, Durung gede yen durung wani cilik. (Artinya: Kaya tanpa harta, Sakti tanpa ajimat, Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, Menerima dengan pasrah, Sepi dari rasa pamrih, Jauh dari rasa takut, Selamanya tiada perasaan susah, Tiada perasaan gembira. Tenang dalam menghadapi sesuatu, Belum menang bila belum berani menghadapi kalah, Belum unggul bila belum berani rendah, Belum menjadi besar bila belum berani menjadi kecil).
Hadepe / ua