JEPARA(SUARABARU.ID) – Kalangan DPRD Jepara mengaku prihatin terhadap kembalinya Jepara ke zona merah. Mereka menilai lemahnya kepekaan terhadap pandemi dari pengambil kebijakan di Satgas dan Pemerintah Kabupaten Jepara menjadi pemicu kembalinya Jepara ke zona risiko tinggi. Kinerja satgas amburadul dan sepertinya tidak ada kepekaan terhadap suasana, situasi dan kondisi yang dihadapi dalam penanggulangan wabah Covid-19.
Kekecewaan tersebut disampaikan dua Wakil Ketua DPRD Jepara, Pratikno dan Junarso menanggapi masuknya kembali Jepara pada zona merah pada minggu ke 51 yang diumumkan Senin (21/12-2020). Lemahnya aspek perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluai dinilai membuat kinerja Satgas Penanganan Covid-19 Jepara kedodoran.
“Bagaimana mungkin, dalam situasi kritis yang terjadi sejak awal Desember tidak ada rapat untuk melakukan analisa dan evaluasi yang komprehensif yang menghasilkan langkah dan tindakan nyata. Semuanya dibiarkan berjalan sendiri-sendiri,” ujar Junarso, yang juga menjabat sebagai Sekretaris DPC PDI Perjuangan.
Bahkan menurut Junarso, fihaknya belum belum melihat ada tindakan nyata untuk mengimplentasikan rekomendasi hasil rapat koordinasi sebulan yang lalu. Semua berjalan seadanya. Padahal yang dihadapi adalah wabah,” ujar Junarso. Jika kondisi ini terus dibiarkan, sama saja dengan memperpanjang penderitaan masyarakat.
Lemahnya 3 M, terjadinya klaster keluarga, dan daya tampung rumah sakit rujukan, sudah diketahui sejak awal. Namun hal tersebut tidak digunakan untuk memperbaiki kinerja. “Bahkan tempat karantina yang bisa menjadi opsi kerterbatasan ruang isolasi di fasiltas kesehatan tidak pernah dimanfaatkan maksimal,” ujar Junarso.
Bantuan Logistik Tidak Manusiawi
Sementara Pratikno menilai karena tidak adanya evaluasi mengakibatkan satgas tidak bisa melakukan perbaikan kinerja. Ia lantas mencontohkan, temuan bahwa isolasi mandiri justru menimbulkan klaster baru tetap saja tidak pernah diperbaiki. “Harusnya bupati dan satgas dengan anggaran yang demikian besar mampu menjamin kebutuhan obat dan makan setiap hari 3 x sehari selama 14 hari masa isolasi,” ujar Pratikno.
Ini harus di lakukan agar warga masyarakat yang menjalani isolasi mandiri merasa nyaman dan tetap bersedia tinggal dirumah sebab kebutuhan pokoknya telah terpenuhi. “Kalau tidak pasti mereka akan keluar rumah untuk bekerja. Sebab keluarganya juga perlu hidup,” ujar Pratikno. Bantuan logistik senilai Rp. 109 ribu yang datangnya terlambat dan bahkan banyak yang tidak mendapatkan dinilai tidak manusiawi, tegasnya.
Pratikno juga mempertanyakan mutasi yang dilakukan terhadap OPD yang memiliki fungsi strategis dalam penanggulangan Covid-19 dengan mengangkat Plt yang dimulai dengan mutasi kepala BPBD. Siapa saja mereka, pasti para birokrat dilingkungan permkab Jepara paham. Inilah yang mengakibatkan kinerja OPD menurun karena tidak dikelola berdasarkan ketentuan yang ada
“Saya mendapatkan informasi, Komisi Aparatur Sipil Negara dan juga KPK memperhatikan serius persoalan pengelolaan kepegawaian di Jepara. Jika benar, ini baik untuk perbaikan kedepan,” ujar Ketua DPD Partai Nasdem Jepara ini.
Senada dengan Junarso, Pratikno juga melihat tidak adanya rapat koordinasi dalam arti yang sesungguhnya, menyebabkan satgas tidak bisa bekerja. “Disamping tidak punya program kerja yang jelas, juga tidak ada arahan yang dapat menjadi pegangan staf. Saya memahami kesulitan dan ketakutan staf untuk melakukan teronbosan dalam penanggulangan Covid-19,” papar Pratikno.
Tidak dirangkulnya tokoh-tokoh agama yang memiliki jaringan umat ke desa-desa juga menjadi salah satu kelemahan satgas. Padahal mereka memiliki pengaruh besar untuk mensosialisasikan protokol kesehatan. “Saya malah melihat yang dirangkul adalah orang – orang yang tidak memiliki pengaruh dan umat dipelosok-pelosok desa,” ujarnya.
Hadepe-ua