Oleh Teguh Hindarto
KEBUMEN (SUARABARU.ID) – Pilkada Kebumen 9 Desember 2020 sudah berakhir dengan kemenangan calon tunggal pasangan Arif Sugianto-Ristawati Purwaningsih . Fenomena suara Kotak Kosong (Koko) yang mencapai kira-kira 40% menjadi tema pembahasan tersendiri yang menarik untuk dikaji.
Namun penulis tidak hendak melakukan ulasan mengenai fenomena Kotak Kosong, melainkan mengingatkan kepada pemimpin terpilih agar mempersiapkan diri dan segenap sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan oleh sekitar 60% pemilih.
Program-program dan janji-janji serta jawaban-jawaban yang disampaikan semasa penajaman visi bupati menantikan untuk digenapi dalam sepanjang masa kepemimpinan yang telah ditetapkan.
Penulis ingin memperkenalkan tokoh Bupati Kebumen di era kolonial sebagai sebuah cermin figur pemimpin yang memiliki kapabilitas sekaligus berorientasi pada kepentingan rakyat serta dicintai rakyatnya.
Opini dan analisis ini didasarkan pada sejumlah riset terhadap koran dan majalah di era kolonial yang telah saya tuangkan dalam sebuah buku berjudul, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (2000). Tokoh tersebut bernama Arung Binang VII yang bernama Maliki Siswomihardjo.
Arung Binang VII bertugas sejak 4 Maret 1909- Desember 1935. Semasa kepemimpinannya terjadi dinamika ekonomi dan modernisasi di Kebumen. Terlepas yang diuntungkan lebih kepada masyarakat kolonial namun bukan berarti tidak ada keuntungan sama sekali bagi masyarakat pribumi.
- C. de Vos, dalam artikelnya Een Glorieus Regenten Geslacht mengutip pujian Gubernur Jawa Tengah terhadap kepiawaian Arung Binang VII mengatasi masa-masa krisis pada tahun 1936 saat pembacaan pidato pelantikan Arung Binang VIII, yang bernama Sosrohadiwidjoyo, adik Arung Binang VII. Sebelum Maliki Siswomihardjo menjabat menjadi bupati, 50% desa tidak mudah ditempuh dengan kereta kuda namun saat dirinya menjabat bupati, dari 208 desa, sebanyak 192 desa telah dapat ditempuh dengan mudah. Inilah salah satu kontribusi Arung Binang VII dalam pembangunan kota Kebumen di era kolonial.
R.A.A. Aroeng Binang VII – De Locomotief, 17-02-1936
Demikian pula dalam sebuah artikel yang ditulis oleh H.C. Zentgraaff dengan judul, Er is een Tijd van Komen en Gan diberikan sebuah penegasan perihal kinerjanya yang membuat perbedaan signifikan saat mana memulai tugasnya sebagai bupati hingga menjelang paripurnanya tugas dengan menuliskan, “Dia membuat perbedaan antara Kedu Selatan hari ini dan periode pertama jasanya” (de Locomotief, 3 Februari 1936).
Gedung tua bekas pabrik Insulinde dan Mexolie (sekarang hotel berbintang) rumah sakit Zending (sekarang eks RSUD Kebumen) pasar Tumenggungan, kantor pegadaian, dimulainya jaringan lampu listrik, penambahan jalan-jalan desa, berdirinya hotel Juliana di sudut alun-alun dll. adalah salah satu jejak artefak yang menjadi saksi bisu dinamika ekonomi dan modernisasi kota Kebumen di era Arung Binang VII dan di tengah kekuasaan kolonial.
Yang menarik dari artikel yang dibuat H.C. Zentgraaff dengan judul, Er is een Tijd van Komen en Gan (de Locomotief, 3 Februari 1936) adalah saat mana dia memberikan deskripsi bagaimana sosok bupati di mata masyarakatnya. Dari penggambaran tersebut kita melihat betapa sosok Arungbinang VII memperlihatkan sifat dan sikap yang tidak hanya menempatkan diri sebagai pejabat tinggi namun juga dekat dengan rakyatnya.
Arungbinang VII dan putrinya 1930 (digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Disebutkan adanya sejumlah penduduk yang sedang memiliki sejumlah persoalan dia akan mendatangi ke kabupaten dengan berjongkok kemudian mencurahkan isi hatinya kepada sang bupati.. Karena bupati memiliki kontak yang sangat dekat dengan rakyatnya, maka banyak orang besar maupun kecil menyambanginya untuk meminta sejumlah nasihat, bahkan ketika sejumlah orang menjadi gelisah dalam pergolakan semua jenis hal-hal aneh dan baru, baik mengenai pesta atau dalam membahas masalah pertanian, memilih hari-hari yang baik, kapan hari baik memulai bekerja serta untuk semua hal-hal yang begitu disukai oleh orang Jawa di luar tempat-tempat besar, mereka pergi ke kabupaten, pusat kehidupan masyarakat (het centrum van het volksleven).
Bupati akan memberikan saran yang baik, sesuai dengan kemampuannya. Dan dia mengajar mereka, mengenai “mongso” penanaman, untuk melihat posisi bintang-bintang, terutama dalam kaitannya dengan “goeboek mentjèng” atau tempat orang Jawa di Jawa Tengah mengorientasikan diri untuk pekerjaan di sawahnya.
Kadang-kadang beberapa petani tua hanya datang untuk menunjukkan wajah mereka, dan ketika bupati bertanya apa yang keperluan mereka, maka mereka hanya menjawab “mengadep mawon” (hanya menghadap saja), bahkan saat berita pengunduran dirinya sebagai bupati seiring penghapusan Kabupaten Karanganyar dan penggabungan menjadi wilayah kecamatan di kabupaten Kebumen, banyak dari antara rakyatnya yang menangisinya.
Ketika mereka mendengar bahwa dia akan mengundurkan diri, mereka kembali muncul dalam jumlah besar, seperti yang sering mereka lakukan selama bertahun-tahun, dan mereka berkata: “Gousti sampoen ngantos djengkar, djalaran koelo sedojo pitados”, sebagai ketidaksetujuan dari kepergiannya, sementara semua menaruh kepercayaan penuh padanya.
Sikap-sikap rakyat yang demikian tentu tidak bisa dilepaskan dengan suasana zaman yang masih feodalistik. Namun setidaknya sikap rakyat yang begitu akrab dengan sang bupati dan bagaimana sang bupati merespon rakyatnya bisa menjadi sebuah suri tauladan kepemimpinan di masa kini.
Bahkan dalam sebuah surat berbahasa Jawa dari seorang abdi dalem bernama Tjakradipradja kepada Bupati Arung Binang tersirat sebuah relasi bapak anak tinimbang atasan bawahan saat mana abdi dalem tersebut meminta kesediaan dan ijin untuk menempati salah satu pesanggrahan Arung Binang yang ada di selatan alun-alun Karanganyar untuk ditempati anaknya yang dalam waktu dekat akan bertugas sebagai mantri polisi di Karangananyar. Bukan hanya menempati namun bersedia memperbaiki jika ada kerusakan selama dipergunakan (DR. M. Prijohoetomo, Javaansch Brievenboek, 1937:34)
Dari penjelasan singkat perihal kinerja dan karya Arung Binang VII alias Maliki Siswomihardjo nampaklah sebuah kesatuan dari dua kepingan mata uang yaitu kapabilitas alias kemampuan melakukan tugas kepemimpinan sesuai kompetensinya dan mendapatkan penghormatan dari rakyatnya karena membangun hubungan yang baik dengan rakyat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin pemerintahan bukan sekedar memiliki kapabilitas untuk mengelola tata pemerintahan melainkan dicintai dan dekat dengan masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin, bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengendali keputusan di tingkat paling atas dari struktur kekuasaan namun menjadi seseorang yang mengayomi rakyat yang dipimpinnya dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Peran kepemimpinan Arung Binang VII yang piawai menata pemerintahan dan menjalankan modernisasi serta mengatasi krisis ekonomi pada masanya namun tetap dekat dengan rakyatnya bisa menjadi role model kepemimpinan pemerintahan daerah masa kini yang terpilih. Siapapun yang akan memerintah dan mengatur roda pemerintahan di kota Kebumen, kapabilitas dan kedekatan dengan rakyat selayaknya menjadi sebuah daya dorong untuk membangun kota menuju kemajuan.
Teguh Hindarto
Peneliti Sosial di Braindilog Sosiologi Indonesia dan pendiri Historical Study Trips di Kebumen.