Oleh Amir Machmud NS
//… dia mengusung jalan tengah// kanan dia lawan// kiri dia bongkar// menawarkan jalan sunyi//: untuk apa berindah-indah kalau hanya untuk kalah?// dia petualang dengan keyakinan// meniupkan mantera kejam// sepak bola adalah gol-gol dan kemenangan…// (Sajak “Jose Mourinho’’, 2020)
ENTAH mantera apa yang ditiupkan Jose Mourinho di ubun-ubun pemain Tottenham Hotspur. Dari status sebagai tim yang tidak terlampau diperhitungkan di panggung Liga Primer musim ini, menjadi salah satu pasukan yang mendadak difavoritkan. Dari kondisi transisi konsolidasi, menjadi skuad yang tekun mengumpulkan angka demi angka kemenangan. Tetapi adalah juga fakta yang mereka bawa: dari tim atraktif menjadi tim yang sederhana dan pragmatis.
Pada sesi akhir musim 2019-2020 lalu, sentuhan Mourinho dipandang tidak memberi penyegaran yang positif. The Lilywhites bahkan cenderung mengalami pemudaran performa. Pelatih asal Portugal yang berkibar bersama FC Porto, lalu sukses di Chelsea dan Internazionale Milan itu justru (sempat) mnurunkan standar Spurs ke level modioker. Relasi personalnya dengan pemain beberapa kali mendidihkan ruang ganti.
Maka langkah penuh tanda tanya pun mengiringi Harry Kane dkk ketika memasuki musim 2020-2021. Bandingkan dengan, misalnya, Chelsea yang terlihat mantap dengan transfer-transfer dahsyat. Everton efektif di bursa transfer. Aston Villa, dengan Jack Grealish-nya tampil memikat. Manchester United terus mematangkan diri dengan skuad menjanjikan. Juara bertahan Liverpool menjadi kekuatan status quo, sedangkan Manchester City tetap ditakuti dengan peracik strategi sekelas Pep Guardiola.
Realitas di awal musim memaparkan situasi yang berbeda, bahkan terbilang mengejutkan. Guardiola tiba-tiba mengingatkan, peta persaingan layak memasukkan Tottenham Hotspur sebagai salah satu kandidat. Hingga pekan kesepuluh, Mou dan pasukannya berada di jalur positif, bahkan sempat menguasai puncak klasemen selama dua pekan. Mereka mencatat kemenangan keempat secara beruntun setelah sebelumnya ditahan imbang West Ham United 3-3. Terakhir, Spurs berbagi angka dengan “mantan” Mourinho, Chelsea.
Tottenham Hotspur tidak masuk bursa kandidat juara, karena kekurangmantapan perjalanan ke musim 2020-2021. Performa Kane cs dan pembelian pemain tidak menjanjikan. Mereka harus berjuang keras masuk ke urutan keenam untuk mendapat tiket kualifikasi Liga Europa.
Di pelataran transfer Mou hanya mendapat sejumlah pemain yang ‘’bukan siapa-siapa”. Nama-nama Sergio Regulion, Pierre-Emile Hojbjerg, Matt Doherty, dan Joe Rodon tidak berkapasitas bintang. Gareth Bale yang berstatus pinjaman dari Real Madrid tidak lagi trengginas. Spurs hanya mempermanenkan Giovani Lo Celso setelah masa peminjamannya berakhir.
Yang tak ternyana, rekrutan Spurs justru menjadi starter dalam setiap laga. Doherty diandalkan di bek kanan, Regulion mengapit di sisi kiri. Sedangkan gelandang asal Denmark, Hojbjerg menjadi “tukang pikul air” efektif di barisan gelandang.
Nyatanya, mereka unjuk efektivitas. Doherty menyumbang satu assist dari enam pertandingan, sedangkan Regulion dua assist dari lima laga. Hojbjerg yang selalu menjadi starter dalam sembilan laga terlihat vital dalam konsolidasi lini tengah. Kerja kerasnya menutup setiap kebocoran tim. Lo Celso memperkuat peran sebagai pelapis yang sangat efektif. Dia mencetak gol ke gawang City setelah dimainkan pada menit ke-65.
Jose Mourinho bisa “tenteram” dari petualangan transfer yang boleh dibilang spekulatif itu. Apalagi di tengah sorotan taktik yang mengubah wajah Spurs dari tim atraktif dan ofensif menjadi berskema pragmatis.
Menurut legenda Spurs, Tim Sherwood, Mou sukses mencuci otak pemain untuk percaya bisa mengejar sesuatu, merasa layak meraih trofi. Para pemain tidak meragukan karena Mou sudah mengumpulkan 20 trofi utama. Dan, ketika mereka meraih kemenangan demi kemenangan, kenapa tidak sekalian menjuarai liga?
Eric Drier, salah satu pilar pertahanan bertestimoni tentang “mantera” Mourinho. Betapa dia dan rekan-rekannya berkembang dengan cara yang kejam, tetapi itulah yang justru mampu meningkatkan level mereka. “Mou membawa mentalitas kemenangan. Dia bilang, jangan menjadi pemain baik. Supaya menang, segala cara harus ditempuh”.
Rata-rata racikan Mou adalah tim dengan konsepsi filosofis “parkir bus”, bahkan “parkir pesawat”. Skema serangan balik cepat menjadi andalan. Dengan dua penyerang top, Harry Kane dan Son Heung-min, Mou tinggal meracik lini taktik di sektor gelandang dan pertahanan.
Kematangan Kane tampak dari bagaimana dia memadukan peran sebagai striker bernaluri predator dengan visi membaca permainan dan memberi assist. Pada seluruh laga sejauh ini, Son betul-betul menikmati layanan Kane. Pemain asal Korea Selatan itu berkembang pesat. Level permainannya makin mendunia. Apabila mampu mengantar Spurs meraih trofi demi trofi, rasanya dia sangat pantas menjadi kandidat pemegang Ballon d’Or.
Gol-gol Son sungguh eksepsional. Dia punya kemampuan solo goal ala Ronaldo Luis Nazario, memintas dari lapangan tengah, meliuk-liuk lalu merobek gawang lawan. Dalam artikel kolom BOLA-BOLA AMIR MACHMUD NS, 26 September 2020, saya menandai “Sonaldo” sebagai pemain terbaik Asia yang berkiprah di liga-liga dunia.
The Spurs memang bermetamorfosis tak seindah saat diarsiteki Mauricio Pochettino. Faktor pembedanya, Mourinho jauh lebih berpengalaman dalam operasi meraih trofi juara, walaupun tidak dengan cara bermain yang sedap dilihat.
Pragmatisme Mou sejak dari Porto hingga Madrid boleh dirumuskan dalam kalimat, “Untuk apa bermain indah kalau hanya untuk kalah?”
Sepak bola, bagi The Special One, adalah bermain sesederhana mungkin, seefisien mungkin: untuk mencetak gol dan tidak kebobolan…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Kerua PWI Provinsi Jateng