blank

Oleh: Muamar Riza Pahlevi
Ketua KPU Kabupaten Brebes

Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 telah ditetapkan digelar pada 9 Desember. Para pemilih pun sudah mendapatkan surat pemberitahuan dari petugas KPPS di daerahnya masing-masing. Mereka bakal menentukan pilihannya dalam beberapa hari ke depan. Siapa yang bakal terpilih menjadi kepala daerah, sangat tergantung dari suara para pemilih tersebut.

Suara pemilih ini akan dipastikan melalui perhitungan di TPS dan rekapitulasi di tingkat PPK dan KPU. Siapa yang mendapat suara terbanyak, akan menjadi menjadi kepala daerah. Dalam menentukan pilihan para pemilih ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Mulai dari ideologi politik, hubungan kekeluargaan, visi dan misi calon, hingga politik uang.

blank
Muamar Riza Pahlevi Ketua KPU Kabupaten Brebes

Politik uang ini bukan rahasia lagi, namun ini harus dicegah sedemikian rupa. Sehingga tagline KPU, yakni Pemilih Berdaulat Negara Kuat, dapat terwujud. Di mana pemilih memiliki kedaulatan yang penuh dalam menentukan pilihannya dalam pilkada. Tidak ada unsur paksaan, intimidasi, hingga bujuk rayu berupa politik uang tersebut.

Karenanya, dibutuhkan upaya untuk mewujudkan pemilih berdaulat tersebut. Upaya mewujudkan cita-cita itu tentu tidak mudah, di tengah praktik-praktik politik pragmatis. Tantangan dan kendala tidak mudah disingkirkan, apalagi di tengah kondisi pandemi yang menyebabkan ekonomi masyarakat melemah.

Langkah pertama mewujudkan pemilih berdaulat adalah meyakinkan kepada para pemilih, bahwa mereka lah yang menentukan siapa yang layak menjadi kepala daerah. Mereka lah yang berdaulat dalam sistem demokrasi di negeri ini. Keyakinan ini harus terus-menerus dikampanyekan oleh mereka yang peduli terhadap demokrasi. Tidak hanya penyelenggara pemilu saja, seperti KPU dan Bawaslu, tetapi seluruh elemen masyarakat dan juga pemerintah.

Kedua, para calon kepala daerah yang bersaing, juga harus yakin bahwa mereka layak dipilih karena kemampuannya dalam memimpin daerah nanti. Yakni dengan program-programnya yang ditampilkan dalam visi dan misinya selama masa kampanye. Visi dan misi ini harus disebarkan secara massif kepada pemilih, agar pemilih juga yakin akan kemampun calonnya tersebut.

Ketiga, dengan visi dan misi yang disampaikan para calon, maka pemilih wajib untuk membandingkan dan kemudian menimbang. Apakah visi dan misi para calon tersebut bisa dilaksanakan jika terpilih nanti. Jika calon mampu meyakinkan pemilihnya, maka pemilih akan mencoblosnya pada hari pencoblosan. Masing-masing calon semuanya pasti memiliki visi dan misi yang baik, namun yang paling baik yang mana, masyarakat yang menentukannya pada saat pemilihan.

Bagi calon petahana, pelaksanaan kepemimpinannya selama lima tahun menjadi pertaruhannya. Masyarakat pemilih yang akan memberikan penilaian, apakah visi dan misinya sudah dijalankan atau belum. Apakah kepemimpinannya itu menunjukkan keparcayaan yang diberikan para pemilihnya lima tahuan lalu atau tidak. Di situlah pemilih akan memberikan penilaian, apakah layak diteruskan atau tidak.

Keempat, tim kampanye yang bertugas meyakinkan kepada para pemilih ini, harus benar-benar ahli dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Jangan sampai tim kampanye justru malah menjadikan calon yang diusungnya itu malah dijauhi para pemilih.

Kelima, mengkampanyekan bahwa politik uang adalah perilaku yang menyimpang dan haram. Selain dilarang dalam UU Pilkada, agama pun mengharapkan praktik-praktik tersebut. Di sini peran tokoh agama dan masyarakat sangat penting dalam kampanye tersebut. Mereka sebagai panutan masyarakat, suaranya akan banyak didengar oleh umatnya.

Sosialisasi bukan hanya dari regulasi hukum formal saja, namun juga melalui dalil-dalil agama, khususnya agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah hadist Nabi terkait dengan suap menyuap. Di antaranya hadist dari Abu Hurairah RA berkata:  Rasul SAW bersabda: Allah SWT melaknat penyuap dan yang disuap (HR. Imam Ahmad). Ketika Rasul melaknat perbuatan tersebut, maka perbuatan yang tidak baik dan dosa itu menjadi haram.

KPU dan Bawaslu juga tidak segan-segan terus menyosialisasikan pelanggaran pidana tersebut bagi calon yang melakukan. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu pun tak bosan-bosan untuk mensosialisasikan larangan politik uang tersebut. Dalam setiap sosialisasi, mulai dari sosialisasi tahapan, pencalonan, daftar pemilih hingga cara mencoblos dan lainnya, KPU selalu menyelipkan sosialisasi antipolitik uang. Bawaslu juga meluncurkan desa-desa antipolitik uang sebagai percontohan. Namun ada saja yang pesimis dengan sosialisasi dan langkah-langkah yang dilakukan KPU maupun Bawaslu.

Meskipun dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017, ancaman pidana lebih banyak ditujukan kepada penyelenggara pemilu, namun penyelenggara tidak sedikit pun mundur untuk mengkampanyekan penolakan politik uang. Ancaman pidana kepada penyelenggara pemilu ini lebih banyak terkait dengan teknis pemilu. Di mana ada kewajiban yang harus dilakukan, jika tidak maka ada ancaman pidananya.

Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 pada pasal 280 huruf j disebutkan bahwa menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu merupakan larangan. Pelanggaran terhadap larangan tersebut merupakan tindak pidana Pemilu. Begitu pula dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada pasal 73 ayat 4 disebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

Denga terus mengkampanyekan hal-hal tersebut, maka diharapkan para pemilih itu benar-benar menjadi pemilih yang berdaulat. Yakni dengan menentukan pilihannya sesuai dengan hati nuraninya masing-masing. Siapa yang layak dipilih sebagai kepala daerah, ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain.

Pemilih yang berdaulat, akan menentukan daerahnya itu berdaulat atau tidak. Di mana kepala daerahnya itu akan mementingkan rakyatnya atau tidak. Jika semuanya dilakukan, maka kesejahteraan rakyat akan terwujud. Itu akan ditunjukkan pada saat pemerintahan itu berjalan dengan hasil pilihan pemilih yang berdaulat. (*)