Oleh: Amir Machmud NS
//…ke langit tenang dia terbang// sukmanya menembus awan duka// membawa seutas senyum// sunyi pun abadi.
// sang mahadewa menuang jejak bahagia// untuk para pemuja// menaklukkan dunia// dengan bola termahkota di puncak rasa.
// langit menaburkan air mata// untuk kepergian yang tiba-tiba// tak sia-sia// sepak bola telah kau abadikan// di panggung waktu.
// namamu terprasasti// di ruang tak bersekat// pada setiap hati yang mengenang// ada duka tak hanya melintas// di jejakmu abadi…
(Sajak “Sang Maradona”, Amir Machmud NS, 2020)
SORE terik di Stadion Giuseppe Meazza, San Siro, Kota Milan, 9 Juni. Dingin malam yang kering di Stadion San Paolo, Napoli, 3 Juli 1990.
Di dua stadion simbol kemakmuran Italia Utara dan ikon mafioso Italia Selatan itu, pada musim panas Juni 1990, saya menyaksikan langsung kehebatan sesosok “dewa”. Diego Armando Maradona namanya.
Magnet magi sang Dewa Sepak Bola masih luar biasa, bahkan itulah puncak performa, setelah dia mengharu-biru Meksiko empat tahun sebelumnya untuk mempersembahkan trofi kedua Piala Dunia bagi rakyat Argentina.
“Siamo con te, Diego…,” (Kami bersamamu, Diego). Dukungan berupa spanduk bertebaran di sekeliling tribune Stadion San Paolo, justru ketika Argentina menghadapi tuan rumah Italia di semifinal. Skor 1-1 tak berubah hingga perpanjangan waktu, dan Tim Tango akhirnya memenangi drama adu penalti yang mencekam.
Dia, yang dalam beberapa musim Liga Serie A sejak 1984 memberi kegembiraan bagi warga Napoli, kali ini menguras tangis kesedihan seluruh Italia. Namun, bukankah dia terbukti tak kehilangan dukungan dari warga Naples? Sebuah kondisi yang paradoks, karena Maradona mengubur impian Gli Azzurri. Dia mampu membelah dukungan Italia, seolah-olah Naples adalah teritori yang berbeda. Psikologi mindgame dalam konferensi pers sebelum laga semifinal itu meyakinkan warga Napoli bahwa El Diego adalah milik mereka.
Adalah juga Maradona yang menyihir spettatore di Stadion Giuseppe Meazza pada 9 Juni1990. Argentina memang disengat impresivitas Kamerun, yang memenangi laga pembuka itu dengan 1-0. Fans Albiceleste kecewa, namun aksi-aksi magis Maradona yang didemonstrasikan saat melakukan pemanasan, mengundang riuh decak kagum.
Gerakan apa pun yang Maradona lakukan dengan bola adalah keajaiban. Sentuhan, juggling, dan aneka ball screening menjadi show mewah yang hanya bisa dilakukan oleh seorang maestro. Pada sore terik itu, El Pibe de Oro memesona San Siro dan dunia.
* * *
DIA pergi. Terasa bergegas, tiba-tiba. Serangan jantung mengalahkan si jenius, yang beberapa pekan sebelumnya sukses menjalani operasi penggumpalan darah di bagian otak.
Sosok kontroversial yang menciptakan “Gol Tangan Tuhan” ke gawang Inggris di Meksiko 1986 itu menutup perjalanan hidupnya yang luar biasa berkat tangan Tuhan pula. Pecinta sepak bola di seluruh dunia pun menggeremangkan kesedihan mengiringi kepergian mahabintang yang pada masa jayanya sering disebut-sebut sebagai manusia setengah dewa itu. Para legenda dan bintang dunia mengungkapkan rasa kehilangan dengan narasi-narasi luar biasa.
Satu pertanyaan tak kunjung tuntas terjawab setelah dia menepi dari lapangan hijau: Siapakah pemain yang setara dengan Diego Si Anak Ajaib?
Sebagian orang menyebut Pele, Sang Raja. Atau, Ronaldo Luis Nazario lebih fenomenal. Lionel Messi, “titisannya” sering dianggap lebih lengkap dan nyaris menjadi fotokopi. Cristiano Ronaldo lebih terukur. Tetapi untuk semua yang berlabel “Next Maradona”, klaim apa pun tentu takkan menyamai yang paling asli, yakni Maradona itu sendiri.
Pada masa kecilnya, Maradona malah mengidolai Rivelino, playmaker ganteng Brazil yang memesona dunia pada 1970-1978. Dia juga menggilai aksi-aksi bintang Irlandia Utara yang moncer bersama Manchester United, George Best. Idolatrika itu menginspirasi Maradona, bahkan mendorongnya mencapai level yang lebih tinggi.
Johan Cruyff telah meninggalkan hiruk pikuk dunia. Para legenda seperti Pele, Franz Beckenbauer, Michael Platini, Ronaldinho, Zinedine Zidane, sudah beralih peran. Tinggal angkatan Cristiano dan Messi yang masih melanglang kompetisi dengan sisa-sisa kejayaan sambil menunggu pematangan sang pengganti.
Status legenda tiada duanya makin diabadikan setelah dia pergi dan tak lagi bisa diperbandingkan. Dia mendokumentasikan kejeniusan, keunikan, kemampuan yang tak sembarang manusia memiliki.
Beristirahatlah dengan tenang, Diego Maradona. Sehiruk pikuk hidupmu, yang lazim membingkai ekspresi kenakalan anak hebat, atau bakat yang tak sembarang manusia mendapatkan, serta kemampuan eksepsional; menobatkanmu dalam singgasana yang hanya kamu memilikinya. Tidak untuk Pele, tidak Ronaldo, bukan pula reinkarnasimu: Leo Messi.
Maradona hanya satu…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng