Oleh Amir Machmud NS
//…dia berhak memuram// di lipatan besar persembahan// dia berhak melawan// di timbunan muak tuntutan// ada hari dia menari// ada hari dia menangis// segala sudah dia tuang// di lukisan kejeniusan// lalu siapa yang mampu// memulihkan kegembiraannya?// (Sajak “Kemuraman Lionel Messi”, 2020)
ANDAI Leo Messi bukan sosok yang cenderung introvert, kehirukpikukan seperti apa yang dalam banyak momen bakal dia warnai?
Andai Messi seperti rata-rata megabintang lainnya yang penuh kontroversi, dapatkah Anda membayangkan perilaku nyentrik seperti apa yang akan dia ekspresikan?
Andai La Pulga adalah genius yang lazimnya menuang keberlimpahan intelektualitas dengan perilaku “membeda”, kira-kira kegilaan apa yang akan dia tunjukkan kepada khalayak, atau menjadi impulsi untuk keasyikan diri sendiri?
Di ruang budaya pop, “membeda” terkadang justru diserap sebagai magnet. Ada makna mediatika, dan profesionalisme sepak bola boleh jadi merasa diuntungkan oleh kegilaan-kegilaan para anak kandungnya.
“Kegilaan” atau “kenyelenehan” itu, bagi seorang Messi, cukup ditunjukkan dengan cara sederhana. Bergerak malas, seperti enggan menutup pergerakan lawan, sudah membuat banyak orang bertanya-tanya. Ada apa dengan Leo Messi? Seperti itukah bentuk perlawanan kepada keadaan yang disampaikannya sebagai “pesan” dalam laga grup Liga Champions melawan Dynamo Kiev, tempo hari?
* * *
LIONEL Andres Messi memang beda, setidak-tidaknya dibandingkan dengan aneka “blablabla” pemain besar lainnya. Siapa pun paham betapa flamboyan Cristiano Ronaldo. Zlatan Ibrahimovic mengukuhkan konfidensi dengan tampilan arogan, Neymar Junior dicibir sebagai “aktor” diving yang mudah jatuh terguling-guling. Diego Maradona hidup dan kariernya penuh kegaduhan, lalu Johan Cruyff dengan kepemimpinan yang mendikte, sedangkan Franz Beckenbauer dan George Best lekat dengan predikat sebagai lelananging jagat.
La Pulga lebih mewarisi kesantunan Pele, atau pada segi-segi tertentu Zinedine Zidane — walaupun Sang Ballerina mengakhiri karier dengan kontroversi tandukan di final Piala Dunia 2006; dan kalaupun dinilai “menyimpang”, Messi menunjukkan perilaku agresif “melawan” justru di pengujung kariernya di Barcelona. Itu pun dengan impulsi lebih tampak sebagai katarsis terhadap perlakuan lingkungan manajemen klub yang terlalu menuntut kepada perannya.
Bahwa Messi “memberontak”, Messi beringas, dan Messi berekspresi tentu bukan tanpa justifikasi. Dia ada dalam beban tekanan yang memosisikannya di tubir kesabaran, karena sejatinya bukan seperti itulah karakter seorang Leo Messi.
Pemain kelahiran Rosario, Argentina itu telah mengalami hampir semua detak hidup di Barcelona, sejak ia berusia 14 dan dibawa ke Akademi La Massia. Klub membantunya membiayai terapi mengurai keterhambatan hormon pertumbuhan. Dia berutang budi, namun kontribusinya kepada Barca juga tak bisa dibilang kecil. Dia telah membesarkan Barca yang membesarkannya. Buankah artinya Barca pun berutang kepadanya?
Pada usia 33 sekarang, ketika satu demi satu teman menjauh, manajemen memusuhi, dan taktik pelatih Ronald Koeman tidak berkompromi terhadap kenyamanannya bermain, Messi justru makin disorot. Kemerotosan drastis performa Blaugrana seolah-olah adalah tanggung jawabnya.
Media juga kurang adil memperlakukan. Messi yang macet gol dari open play, dan hanya mampu mendapatkannya dari eksekusi penalti, dipersoalkan. Kepemimpinan sebagai kapten dan biasanya menjadi konduktor tak lagi dirasakan menginspirasi. Dengan peran yang tiba-tiba minimalis itu kontribusinya makin direndahkan. Katakanlah, kini Messi kehilangan ke-Messi-annya.
* * *
PEMAIN bintang, dengan eksepsionalitas kompetensi sekaliber Leo Messi sejatinya adalah seniman. Dia tidak mungkin dicencang dengan normativitas taktik yang membelenggu naluri dan kreativitas. Dia butuh pembebasan ruang gerak untuk menuang hasrat dan ekspresi kesenangannya. Lapangan adalah kanvas tempat dia melabuhkan kuas imajinasi, yang kalau itu dibatasi dengan keharusan mencoret dan menggores A, B, A, B, dan A, B lagi, sang seniman akan kehilangan gagasan-gagasan liar yang memberi kejutan dan pembeda.
Bagi saya, Messi ibarat sumur yang tak pernah kering walau terus menerus ditimba airnya. Akan terus mengalir sumber mata air yang memberi sejuk kehidupan. Keringnya sumber air untuk sementara waktu atau seterusnya bukanlah salah Messi, melainkan tanggung jawab mereka yang berkepentingan dengan keberadaan sang mata air. Bagaimana merawat dan memperlakukannya, tidak dengan pendekatan eksploratif dan apalagi eksploitatif.
Setelah Barcelona merenovasi manajemen, akan serta mertakah Messi bangkit dengan sepenuh gairah dan kontribusi seperti dalam sepuluh tahun terakhir?
Jalan pikiran seperti itu tidak sepenuhnya benar. Akan banyak elemen yang mempengaruhi kebangkitan Barca sekaligus recovery mental Messi. Keterbatasan bakal pula mengadang. Bukankah dia bukan “raga” yang sebugar lima bahkan 10 tahun silam?
Sederet pesan moral menghentak agar kita tak selalu larut dalam kebiasaan menuntut. Hargai dan beri tempat menuang rasa bagi mereka yang telah membuat jasa. Apalagi yang sebesar Messi. Beri kanal pengertian untuk tidak selalu meminta dalam performa seperti yang Anda bayangkan, karena dia adalah manusia dengan kenaturalan bioritmenya. Tanamkan budaya pemahaman bahwa sebesar itu keunggulan dan kelebihan yang telah pernah dikontribusikan, maka lupakan kekurangan dan kelemahan yang mungkin Anda rasakan. Bukankah terdapat masa-masa ketika seseorang sudah banyak berkorban: menuang dan memberi?
Sisa musim 2020-2021 di La Liga dan di semua ajang, boleh jadi sangat menyiksa bagi genius yang sedang kesepian ini. Dia butuh jendela yang menerbitkan angin untuk mengembalikan kesegaran. Leo Messi butuh teman yang mampu memulihkan kegairahan. Aura kegembiraan, suasana itu yang diyakini bisa mendorong kembalinya ekspresi kreatif kesenimanan.
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng