blank

JAKARTA, (SUARABARU.ID) Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia, Fuad Rizal menjelaskan, masalah itu disebabkan anjloknya pendapatan dari penerbangan berjadwal. Padahal, itu menjadi sumber utama pendapatan perseroan. Selain itu, imbas pandemi yang belum reda, juga membuat operasional perseroan dari sisi produksi available seat kilometer atau ASK mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya.

“Karena adanya kebijakan pembatasan pergerakan di sejumlah wilayah domestik serta pemberlakuan kebijakan karantina di beberapa negara yang menyebabkan perseroan harus melakukan penyesuaian produksi,” ujarnya dikutip dari keterbukaan informasi di BEI, Sabtu (7/11/2020).

Secara total pendapatan emiten bersandi GIAA iu mencapai US$1,13 miliar per September 2020 atau Rp16.98 triliun, turun dari US$3.54 miliar pada kuartal sama tahun sebelumnya. Kontribusi pendapatan dari penerbangan berjadwal pada kuartal III/2020 sendiri tercatat sebesar US$917.28 juta atau Rp13.69 triliun.

Angka tersebut jauh di bawah perolehan kuartal sama 2019 yang sebesar US$2.79 miliar. Sementara penerimaan perusahaan dari sektor penerbangan tidak berjadwal hanya mampu menyentuh US$46.92 juta, anjlok dibandingkan Raihan kuartal III/2019 senilai US$249.91 juta.

Namun, menurut Fuad, seiring dengan pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru tingkat produksi perseroan berangsur-angsur mengalami peningkatan meskipun belum kembali pada titik kondisi normal.

Sebagaimana tahun sebelumnya pada masa pandemi ini perseroan mengupayakan peningkatan pendapatan dari segmen kargo juga didukung dengan peluncuran layanan Kirim Aja pada awal Juni 2020.

“Guna mengkompensasi penurunan pendapatan dari penumpang, perseroan mengoptimalkan penerbangan charter untuk mengangkut kargo selama masa pandemi sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga terdapat peningkatan pendapatan dari charter,” imbuhnya.

Meski pendapatan menurun, beban usaha Garuda Indonesia berhasil diturunkan dari US$3.28 miliar menjadi US$2.24 miliar, atau sekitar 31.7 persen. Hal serupa juga terjadi pada bebani operasional penerbangan yang tercatat turun 32.64 persen dari US$1.93 miliar menjadi US$1.3 miliar.

Dengan demikian rugi periode berjalan Garuda Indonesia adalah US$1.09 miliar. Selanjutnya utang per akhir September maskapai pelat merah tersebut tercatat memiliki sebesar US$10.36 miliar, meroket 177.74 persen dibandingkan catatan kuartal III 2019 yang masih di posisi US$3.73 miliar. Ini terdiri dari liabilitas jangka panjang senilai US$5.65 miliar dan jangka pendek senilai US$4.69 miliar.