KETIKA zaman masih serba manual, Facebook, WhatsApps belum dikenal, ada pembaca kolom (rubrik) saya di sebuah harian mengirim surat dan mengutarakan ingin mempelajari suatu keilmuan, dan dia sekaligus ingin tahu aturan mainnya.
Pada surat balasan, aturan main (mahar) dan prosedur itu saya jelaskan. Yaitu, jika datang langsung tidak pakai tarif resmi. Untuk sekedar jagong atau tanya jawab yang bersifat wawasan keilmuan, free. Namun yang untuk pelatihan atau privat, ada tarifnya.
Untuk konsultasi via surat, cukup menyertakan perangko balasan. Beda lagi jika mengundang untuk datang ke luar kota, sebelumnya harus ada kesepakatan karena itu menyangkut waktu, tenaga dan biaya untuk mendatangi undangan itu.
Teknologi Mendekatkan
Ketika telepon masuk desa, mereka yang sebelumnya berkomunikasi melalui surat kemudian beralih ke telepon. Dan beberapa tahun kemudian melalui handphone, email, Facebook dan whatsApps.
Kemajuan teknologi memudahkan berkomunikasi dan intensitas konsultasi pun semakin padat. Namun saya merasakan “tuah” dari materi keilmuan yang dipelajari melalui proses “yang mudah” itu ada penurunan dari sisi kualitas. Indikasinya, mereka yang menikmati fasilitas teknologi itu sering mengajukan pertanyaan yang sama pada waktu yang berbeda.
Tempo Dulu
Pada saat bersamaan, selain mereka yang belajar melalui sarana teknologi modern, ada satu anak muda dari luar provinsi yang menempuh proses belajar ala tempo dulu. Bayangkan, hanya untuk memelajari satu ilmu, dia ikhlas tinggal pada rumah kosong dan sehari-hari merawat kebun saya dan itu dilakukan selama tiga bulan.
Aktivitas rutinnya, siang menyangkul, membersihkan rumput sambil puasa dan malam untuk mengamalkan wirid. Dan itu atas kehendak sendiri. Dan apa yang kemudian terjadi?
Saat pulang ke desanya, anak muda itu menunjukkan perkembangan. Banyak hal yang dia lakukan yang sebelumnya belum pernah dialami. Kesimpulannya, belajar ilmu yang bersifat metafisik itu modal utamanya adalah tekat yang kuat. Seberapa besar niat seseorang terhadap sesuatu, sebesar itu pula yang akan didapatkannya.
Dan sebagian dari mereka yang kemudian dikenal sebagai pelaku spiritual handal itu (kebanyakan) sebelumnya memiliki latar belakang kehidupan dramatis, dan kondisi itu dimanfaatkan untuk memicu menempa dirinya.
Hasil dari riyadhah atau olah batin yang mendekati “garis finish” itu ditandai aktifnya hati (qalbu) menjadi hidup. Dan itu ditandai melemahnya logika dan menguatnya kata hati. Dan tanda dari sebuah proses itu akan sampai, pelaku ilmu itu tidak banyak bertanya.
Baginya, sedikit informasi yang dia terima dapat dikembangkan sendiri. Dengan kata lain, dia tidak perlu dituntun melalui teks tulisan atau arahan-arahan dari gurunya.
Ilmu Mancing
Saat anak muda itu belajar, saya beri ijazah doa yang aslinya untuk mancing. Namun, mengamati arti doanya, dia meyakini doa itu bisa untuk mengundang atau menarik manusia, termasuk hewan bahkan alam. Termasuk pelanggan bagi yang berdagang, tentunya.
Ini menunjukkan, manusia diciptakan Tuhan sebagai sebaik-baik ciptaan, sehingga dia dapat berkreasi dan menciptakan apapun sesuai persangkaan hamba-Nya. Ana ‘indha dhanni abdibi. Tuhan mengikuti apa yang menjadi persangkaan hamba-Nya.
Energi murid itu bukan dari guru, melainkan bagaimana pelaku ilmu itu mendapatkan dan memperlakukan ilmunya. Maka, proses mendapatkan ilmu hasil mengunduh dari “Mbah Google”, berkahnya tentu beda dibanding ilmu yang didapat melalui proses seperti zaman Mbah-Mbah kita dulu, yang berjalan jauh, mengabdikan diri di kediaman Guru, saat baiat atau wejangan tidak boleh ditulis, harus langsung hafal.
Belajar metafisika pakai hati. Bertemunya ketulusan antara yang belajar dan yang mengajar, menghasilkan keberkahan. Allah tidak melihat nominal yang diberikan namun bagaimana hati (niat) yang belajar itu.
Era Modern
Fenomena belajar melalui proses yang “mudah dan sulit” membuahkan hasil berbeda. Karena gerak hati itu diwujudkan dalam bentuk tindakan. Kebetulan perjuangan paling sederhana untuk mendapatkan ilmu di era ini erat kaitannya dengan nominal atau biaya.
Jika perjuangan mendapatkan keilmuan itu sulit atau “berat” maka yang belajar itu akan berjuang menjalankan dan menjaga keilmuan yang dipelajari.
Ini bisa dilihat dari fenomena belajar tempo dulu sebagaimana saya tulis di atas. Untuk mendapatkan ilmu harus berjalan jauh, berhari-hari, menemui guru perlu sabar menanti, berikutnya ngenger atau menghambakan diri, mengisi bak mandi, mencari rumput untuk sapi atau kuda, menyangkul di sawah, dsb.
Setelah hitungan bulan atau bahkan tahun baru dipanggil diwejang ilmu dan setelah itu baru pamit pulang, jalan kaki, maka wajar jika ilmunya nancep di hati.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwaka, Pati