BLORA (SUARABARU.ID) – Kasus stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak usia balita di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, masih cukup tinggi. Pencegahan juga sama susahnya seperti mengatasi bencana kekeringan, Pilkada, dan covid-19.
“Masalah stunting, ini merupakan kompleksitas yang sungguh luar biasa,” beber Bupati Blora, Djoko Nugroho, saat menghadiri Advokasi Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku Dalam Pencegahan Stunting, Rabu (23/9/2020).
Untuk itu Bupati Blora minta para pihak jangan menganggap enteng kondisi ini (stunting, Red). Masyarakat juga aneh, mereka begitu cuek, tapi kalau ada tetangga atau kerabat yang kena baru panik, mendiamkan dan dikucilkan.
Mantan Dandim Rembang itu melanjutkan, dalam keadaan normal saja, balita di Blora yang stunting banyak, apalagi pandemic covid-19 seperti ini. Maka semua organisasi perangkat daerah (OPD) harus fokus dalam penanganan covid-19.
Dibeber Djoko Nugroho, warga yang nikah dibawah umur juga banyak, alasannya beraneka ragam, inilah yang bisa memicu terjadinya stunting, menjadi keprihatinan bersama dan harus dicari pencegahannya.
Bupati Blora inign bisa merumuskan cara jitu untuk berkomunikasi dengan masyarakat, pecegahan stunting, nikah dini dan pandemic virus corona, adalah tugas bersama.
Locus Stunting
Advokasi Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku Dalam Pencegahan Stuntin yang digelar di pendapa rumah dinas bupati, dihadiri sejumlah pejabat terkai dari Pemerintah Provinsi (pemprov) Jawa Tengah.
Pejabat pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinkes Blora, Henny Indriyanti, melaporkan kepada Bupati bahwa stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak usia balita, dan Blora merupakan salah satu kabupaten locus stunting di Jateng.
Sedangkan data dari tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan di Blora, saat ini terdapat sepuluh desa lokus (intervensi terintegrasi penurunan) stunting, dan sedfang dalam penanganan khsusus
“Desa-desa itu, adalah Desa Jetak, Klokah, Adirejo, Patalan, Temurejo, Bangowan, Sumberpitu, Cabean, Getas dan Kapuan,” ucap Henny.
Sedangkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) bebrapa waktu lalu, lanjut Henny, prevalensi balita stunting di Kabupaten Blora menurutnya sebesar 55,1 persen kemudian Riskesdas pada 2018 menurun menjadi 32,86 persen.
Untuk pemantauan status gizi (PSG) medio 2017, menunjukkan bahwa balita stunting di wilayah Kab Blora sebesar 34 persen, sedang dari hasil penimbangan serentak oleh Puskesmas se-Blora sebesar 15,5 persen turun menjadi 8,3 persen pada 2018 dan turun lagi 8.2 (2019).
“Kunci keberhasilan pencegahan stunting, terletak pada perbaikan gizi, tumbuh kembang anak dan perilaku masyarakat,” tandas Henny Indriyanti.
Wahono-Wahyu