JEPARA (SUARABARU.ID) – Bagi warga Jepara, mungkin telah sering melihat Kelenteng Hok Tek Tong. Sebab bukan saja tempat sembahyang umat Khonghucu telah ada lebih 150 tahun yag lalu, tetapi letak kelenteng itu tepat di jantung kota Jepara. Hanya berjarak kurang lebih 75 meter dari alun-alun Jepara, tidak jauh dari pendopo dan masjid Agung Jepara.
Namun mungkin tidak banyak yang tahu tentang kelenteng Hok Tek Tong. Kelenteng yang terletak di jalan Diponegoro 28 Jepara ini masuk kelurahan Kauman dan dibangun pada tahun 1826. Namun siapa membangun kelenteng ini sampai saat ini belum diketahui.
Hanya diperkirakan pembangunan kelenteng ini terkait dengan sejarah perkembangan Tionghoa di kota Jepara yang jumlahnya cukup banyak . Karena usianya, kelenteng ini termasuk haritage atau warisan budaya yang ada di Kabupaten Jepara.
Menurut penjaga kelenteng Hok Tek Tong, Edy Yuwono tuan rumah kelenteng ini adalah Hok Tek Ceng Sin atau yang dikenal juga sebagai Tua Pek Kong, Amurva Bumi atau Dewa Bumi.
“Dewa ini oleh penganutnya dipuja oleh kalangan petani dan pedagang untuk mendapatkan berkah panen dan keuntungan perdagangan yang melimpah,” ujar Edy Yuwono saat menerima kedatangan SUARABARU.ID.
Di setiap altar Hok Tek Ceng Sin, di bawahnya ada altar untuk pengawalnya yang setia, yaitu Dewa Macan Putih (Pai Fu Sen) dan Dewa Naga (Lung Sen). Ditempat itulah orang sering bersembahyang dengan memegang beberapa batang hio yang telah dibakar sebelumnya.
Sembayang dilakukan di depan hiolo atau bokor yang digunakan sabagai tempat menancapkan hio. Warnanya keemasan berbentuk trapesium terbalik.
Di belakangnya adalah altar utama Kelenteng Hok Tek Tong Jepara, dimana terdapat patung Kwan Sen The Kun, Guan Cek Cun Ong, Hien Tien Siong Te, Kuan Im Pho Sat, Thien Shang Seng Bo, selain Hok Tek Ceng Sin sendiri.
Kwan Sen The Kun atau Kwan Seng Tek Kun, lebih dikenal luas sebagai Kwan Kong (Guan Gong), semasa hidupnya adalah panglima perang di jaman Sam Kok (221 – 269 M) yang dipuja karena keteladanan kejujuran, kesetiaan pada sumpahnya, dan selalu menempati janji.
Sementara lukisan Kuan Im Pho Sat berukuran besar menempel pada dinding yang ada di belakang atas altar dimana terdapat rupang Buddha Sakyamuni. Kwan Im atau Dewi Welas Asih ini konon tak pernah menolak permohonan umat.
Dewi ini digambarkan duduk bersila di atas awan berlatar bulatan matahari, dengan bunga teratai warna merah dadu tengah mekar di depannya.
Menurut Edy Yuwono, Dewa Macan Putih atau Pai Fu Sen dan Dewa Naga atau Lung Sen adalah dewa bijaksana, yang jika ada orang susah pasti dibantu jika sungguh-sungguh meminta pertolongan.
“Kapan pertolongan itu akan diberikan adalah rahasia Hyang Maha Agung. Namun banyak yang meyakini bisa terlihat dari bentuk asap hio yang membubung ke wuwungan,” tuturnya.
Kelenteng Hok Tek Tong yang bentuknya tergolong kecil ini maknanya adalah mengasihi sesama. Saat bangunan kelenteng ini semakin rapuh dimakan usia, beruntung ada keluarga Ny. Oh Ie Djiang dan Oh Kian Lien dari Salatiga melakukan perbaikan kelenteng dan diresmikan pada 14 Desember 1997.
Bahkan pada 2016 keluarga dari Wahid Grup Salatiga ini juga kembali membangun vihara di bagian belakang kelenteng
Kelenteng ini kini dijaga oleh dua orang penjaga atau perawat kelenteng yang biasa disebut Bio-Khong yaitu Eddy Yuwono dan Yohan. Keduanya, siang malam bersama-sama menunggui dengan setia kelenteng yang tidak lagi memiliki umat di kotanya.
Oleh sebab itu belum tentu setiap hari ada tamu datang untuk bersembahyang atau berziarah. Mereka hanya sesekali melayani pendatang yang bersembahyang di Kelenteng Hok Tek Tong, salah satu heritage atau warisan budaya Jepara yang semakin dilupakan.
Hadepe – ua