blank
Ilustrasi

blank

SAYA pernah mendatangi tabib di Surabaya untuk diskusi tentang loloh, yaitu teknik penyembuhan dan kekuatan metafisis  dengan cara menelan beberapa cuilan baja.  Sebelum prosesi dilakukan, kami berdiskusi. Saya mengatakan cara yang ditawarkan itu menyimpang.

Pertimbangannya, untuk membuktikan penyembuhan atau menambah kekuatan, metodenya memberikan 21 butiran dari cuilan wajan bekas kepada pasien-pasiennya. Yang bikin ngeri, pada bagian ujungnya berbentuk runcing.

Secara logika, benda itu jika ditelan, berisiko pada tenggorokan atau usus.  Selain bisa tergores, karat yang terdapat pada lempengan wajan bekas itu juga membuat jantung berdegup.

Tabib itu minta saya mencoba metodenya. Ketika saya mempermasalahkan cuilan wajan yang runcing dan berkarat itu, dia meyakinkan, jika setelah menelan serpihan itu ada masalah, tabib itu siap bertanggung jawab. “Mas.. jika nanti ada hal-hal buruk terjadi akibat menelah cuilan wajan ini, mobil saya bawa pulang ke Pati.”

Akhirnya, saya lalu menelan 21 cuilan wajan dengan bantuan pisang dan setelah itu melanjutkan perjalanan pulang. Ajaibnya, dalam perjalanan sekitar tujuh jam itu saya merasakan rasa hangat pada punggung dan itu terasa nyaman. Padahal, biasanya jika dalam perjalanan jauh, saya sering pegal-pegal.

Sampai rumah, saat mau ke WC, terbayang bagaimana jika nanti cuilan wajan itu keluar masih dalam keadaan utuh, apakah nanti tidak berbahaya? Dan untuk penelitian ini selama tiga hari, saya BAB bukan pada lobang WC, melainkan pada ember yang sudah saya beri lobang-lobang kecil pada bagian bawahnya.

Anehnya, saya tidak menemukan ada cuilan baja utuh di situ. Penelitian ini saya lakukan hingga hari ketiga. Hasilnya sama? Tidak saya temukan cuilan baja. Hanya tinja tampak hitam pekat. Dan saat BAB, saya tidak merasakan adanya benda padat keluar.

Uji Gotri

Usai meneliti efek “sarapan” cuilan wajan, itu saya melakukan uji coba kedua, yaitu menemui Sesepuh tetangga desa yang biasa mengisi  “kesaktian” dengan cara menelan beberapa butir gotri. Sebelum menelan, saya bertanya apakah nanti gotrinya keluar saat BAB?

Dijawab, gotrinya akan lebur, kemudian menyatu dengan darah, daging dan tulang. Saya lalu menelan tiga gotri, dan setelah itu hari berikutnya saya ke Rumah Sakit untuk ronsen. Saya mencari kebenaran dari mitos bahwa loloh atau menelan gotri itu bendanya lebur lalu menyatu dalam darah daging hingga menyebabkan seseorang menjadi sembuh atau sakti.

Ternyata, hasil rontgen menunjukkan gotri itu bukan lebur, melainkan masih berada pada usus besar. Dan pada hari keempat, saya BAB pada kaleng lalu menyemprotnya dengan air. Hasilnya? Pada saya  menemukan tiga gotri  dalam kaleng.

Saya lalu banyak diskusi dengan para ahli. Disebutkan, penelitian soal baja itu bisa dilakukan dengan menggunakan asam klorida atau Hel lalu masukkan cuilan baja. Dengan cara itu bisa diketahui reaksinya, apakah baja itu hancur atau tidak. Soal tinja yang kemudian berwarna hitam, itu disebabkan faktor makan zat besi penambah hemoglobin.

Artinya, orang zaman dulu makan zat besi langsung dari baja, lucu juga ternyata. Untungnya, dalam uji coba itu, lambung dan usus saya tidak robek. Mungkin saja, hal itu disebabkan cuilan baja itu kecil sehingga larut di asam klorida lambung. Jika butiran bajanya agak besar, ada kemungkinan tidak mampu lumer.

Menurut kalangan medis, di laboratorium, Hel cairan yang pekat memang bisa menghancurkan besi. Di lambung, ada juga Hel, tetapi dalam konsentrasi yang rendah. Nah, apakah Hel di lambung itu bisa menghancurkan besi?

Di lingkungan medis, belum ada orang yang mau menjadi kelinci percobaan dan secara etika, riset yang membahayakan itu memang dilarang, kata praktisi medis yang saat remaja, dia pernah mengamalkan doa dari ayat-ayat tertentu agar kulit tahan cuka karet (hel pekat).

Dan menurut pengalaman dia, setelah menyelesaikan “ritual”, dia  mencobanya dengan menyiramkan cuka pada telapak tangan, lalu diusapkan ke bagian wajah. Hasilnya, cuka karet itu tidak menyebabkan luka bakar. Dan ketika cuka karet itu disiramkan ke seng, seng itu pun berlubang dan hancur.

Hel pekat bisa menghancurkan seng, dan tentunya, secara logika, zat itu juga mampu menghancurkan kulit dan daging manusia. Nah, lantas bagaimana dengan metode lolohan yang sama, namun beda hasilnya. Saat menelan cuilan wajan mampu lebur hancur, sedangkan saat gotri masih utuh?

Ini berkaitan dengan kualitas bajanya. Gotri diproduksi untuk perangkat mesin dan tentunya, molekulnya lebih padat, sedangkan cuilan wajan dari baja biasa.

Masruri praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Siarahan, Cluwak, Pati.