Judul buku : Media, Narasi Kepemimpinan, dan Normal Baru
Penulis : Amir Machmud NS
Penerbit : Mimbar Media Utama Semarang
Tahun Terbit : 2020 (Pertama)
Tebal buku : xx + 76 halaman (15 x 21 sentimeter)
PANDEMI covid-19 telah menorehkan warna perubahan pada seluruh sendi kehidupan umat manusia sedunia. Indonesia dengan sebaran paparan virus corona yang melanda hampir di sekujur wilayahnya dengan variasi stadium merah, kuning, dan hijau, tentu saja tidak bebas dari perubahan tersebut.
Lebih khusus lagi, jagat media massa pun berada di radius keterpengaruhan baik mencakup strategi pemberitaan yang menelurkan konten, praktik berjurnalistik maupun eksistensinya sebagai entitas bisnis.
Media di tengah kecamuk pandemi covid-19 seharusnya memang lebih memuarakan strategi pada solusi teknis yang efektif dengan naungan keberpihakan pada kepentingan kemanusiaan semata. Dan, bukannya mementaskan pertikaian-pertikaian kebijakan yang begitu tampak mewujud sebagai latar belakang politiknya di panggung pemberitaan.
“Ada tata krama pemberitaan seputar virus corona,” ungkap Amir Machmud NS, “yang tidak menimbulkan peningkatan kepanikan, menebar sikap pesimisme, memberi pengetahuan untuk bersifat preventif, mendorong hidup yang lebih sehat, optimistis, menguatkan kemampuan teknis wartawan dan media dalam mengemas pesan-pesan, dan mengelola kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk mempercepat pemulihan keadaan” (halaman 7).
Karena itu tidak keliru harapan dosen Antropologi Media dan Ketua Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Undip Amirudin dalam prolog, kehadiran buku ini merupakan ikhtiar menjaga jurnalisme Indonesia agar tetap menjadi kingdom dan sanggup menghadirkan informasi-informasi the king, dengan karakter memimpin dan membimbing masyarakat menuju ke arah literasi New Normal yang bijaksana dan cerdas.
Dengan demikian adalah wajar, dalam situasi pandemi seperti saat ini, media mendambakan kehadiran narasumber pemimpin, yang menurut pakar komunikasi Undip Turnomo Rahardjo (via Amir Machmud NS, halaman 48) memiliki narasi komunikasi yang memberi kepastian guna melangkah di tengah lubang-lubang misinformasi, malainformasi, dan disinformasi yang berserakan di hamparan jalinan komunikasi massa sehari-hari.
Kalau perlu pemimpin itu seperti Ganjar Pranowo, contoh penulis lima belas buku jurnalistik, kolom olahraga, dan biografi tokoh itu (halaman 50-51), yang memiliki pesona retorika gaul sebagaimana tertuang dalam bahasa kaus “Nyedhak Keplak” (anjuran jaga jarak), “Lagi Wabah Becik Ning Omah”, “Maskeran Keren”, dan “No Mudik No Cry”. Gaya komunikasi yang milenial ini kiranya lebih efektif dalam membaca nalar zaman, jika berbanding dengan sosialisasi kebijakan yang normatif, formal, dan mesti teresepsi dengan dahi berkerut.
Terlebih lagi, jika pemimpin itu, dalam perspektif harapan dosen luar biasa di UKSW Salatiga, Unissula Semarang, dan USM itu, merujuk sosok kepala daerah yang memahami betul-betul hakikat kemerdekaan pers, sehingga mampu memaknai kerja sama atas suatu berita atau laporan antara institusi pemerintahannya dan perusahaan media sebagai sarana untuk secara bersama-sama mengedukasi, menginspirasi, dan mengajak masyarakat menata kedisiplinan secara ikhlas dan suka rela. Bukan sekadar untuk menaikkan citra diri semata di hadapan para konstituen (halaman 38).
Pada bagian lain dia menekankan, “Pilihan berkomunikasi (setelah mendapat ruang di media massa-FH) secara karib itu meniscayakan kemungkinan elemen-elemen masyarakat agar memberi dukungan dalam mentranformasikan ide, sikap, dan perilaku. Sikap kasual akan mempercepat keputusan melintas dalam gerak kebijakan, dan tahu titik kelemahan apa yang – misalnya – membuat pesan-pesan adaptasi menuju normal baru itu belum efektif” (halaman 59).
Nah, narasi kepemimpinan seperti inilah yang sangat dibutuhkan media dalam perang melawan virus corona. Keberadaan mereka sebagai pusat subjek pemberitaan media, berpeluang besar untuk memberikan kepastian informasi. Dengan demikian, betapapun ada kesulitan saat berupaya untuk berdamai dengan virus corona, pastilah setelah itu akan tersedia jalan kemudahan.
Entitas Bisnis
Selain itu, realitas betapa keterpurukan ekonomi akibat pandemi virus corona juga turut berimbas pada dunia usaha, tidak terkecuali perusahaan media. Sebagai entitas bisnis, perusahaan media tak luput dari imbas tersebut. Inilah kepingan realitas lain yang mengelilingi eksistensi media, di samping tuntutan khitah untuk berpihak semata pada kemanusiaan di atas.
Wakil Ketua Litbang Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat itu pun mendeskripsikan realitas tersebut melalui paparan tentang para pengelola media cetak yang menjerit manakala menyiasati cash flow menghadapi kemembubungan biaya produksi, alih-alih berinovasi tentang modifikasi persaingan aktualitas isi dengan media digital. Sementara itu, nasib yang terpuruk akibat serbuan pandemi covid-19 juga tidak luput menimpa media daring. Ia juga mengidap kegamangan untuk menegakkan performa bisnis (halaman 12-13).
Pada situasi seperti ini, pada hematnya, keterjagaan eksistensial kelangsungan hidup perusahaan media membutuhkan kehadiran riil negara. Jalan tengah jangka pendek yang bisa ditempuh, menurutnya, bisa melalui kerja sama pemberitaan berupa advertorial atau pesan-pesan edukasi menghadapi virus corona.
Dengan lantang, mantan Pemimpin Redaksi dan Direktur Pemberitaan Harian Suara Merdeka yang kini memimpin Suarabaru.id itu menandaskan, prioritas anggaran pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota memang fokus pada untuk penanganan pandemi; namun memasukkan media sebagai bagian dari elemen atau “tim” sungguh akan mendukung daya tahan media itu sendiri dalam menghadapi efek guncangan dahsyat pandemi covid-19.
Pada jangka pendek, menurutnya, terutama portal-portal berita dengan omzet tidak besar, seharusnya layak dan dapat menerima perlindungan serta kehadiran riil negara melalui kemitraan yang sedemikian. “Dalam praktik, media-media itu membutuhkan cash flow rutin bulanan untuk gaji wartawan, redaktur, dan sumber daya teknologi informasi (…) Prioritas dalam jangka pendek, penyelamatan media-media lebih terfokus ke pemenuhan beban-beban produksi bulanan” (halaman 36).
Nah, setelah bisnis media itu dapat terawetkan daya tahannya lewat kerja sama yang bermartabat dengan pemerintah, sudah tentu kiblat tugas moral jurnalisme tidak dapat terpalingkan. Menyampaikan kebenaran, mendahulukan kemanusiaan, dan memihak pada keadilan masyarakat. Bagaimanapun api idealisme jurnalistik itu masih akan terus terjaga nyalanya, pertama-tama adalah tatkala perusahaan media itu masih relatif sehat dalam melancarkan jurus-jurus bisnisnya.
Fauzan Haidar