JAKARTA (SUARABARU.ID) – Sudah waktunya Indonesia mengembangkan potensi perikanannya secara serius, fokus dan maksimal, untuk menjadikan solusi pangan nasional di Tanah Air. Demikian dikemukakan Anggota DPR-RI Komisi IV, Drs Hamid Noor Yasin MM.
Legislator asal Daerah Pemilihan (Dapil) Jateng IV ini, mengatakan, potensi bentangan air yang menutup bumi Indonesia jauh lebih luas dari daratan. Seharusnya, ini menjadi sinyal bahwa yang hidup di air itu menjadi sesuatu yang potensial dalam menyuplai kebutuhan pokok pangan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Diingatkan oleh Hamid, kandungan protein ikan sangat tinggi. Selain bermanfaat menjadikan rakyat Indonesia semakin cerdas, juga akan menjadi perlawanan kuat terhadap ancaman stunting. ”Belum lagi, negara kita kelak akan menjadi lumbung pangan dunia, itu benar-benar bukan pencitraan,” kata Hamid.
Kebijakan Pemerintah
Pendapat Hamid ini, dikemukakan untuk menanggapi kebijakan pemerintah yang menunjuk Menteri Pertahanan sebagai leading sector memperkuat food estate. Yakni dengan target 700 ribu Hektare (Ha). ”Menjadi pertanyaan besar, apakah selama ini kita sudah tepat menjadikan beras sebagai pangan primer untuk mencukupi kebutuhan nasional ?,” ujar Hamid Noor Yasin.
Menurut Hamid, sebaiknya kita perlu memperhatikan ide sejumlah ilmuwan, yang menyarankan agar Indonesia memperkuat pengembangan potensi perikanan baik tangkap maupun budidaya. ”Itu mesti menjadi pertimbangan kuat, dalam penyusunan kebijakan pangan nasional,” tegasnya.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) DPR-RI ini, menyatakan, menjadikan potensi ikan sebagai kebutuhan primer dan beras sebagai sekunder, merupakan ide out of the box. ”Tapi ini merupakan solusi menarik, untuk merubah pola kehidupan masyarakat Indonesia,” tandasnya.
Dua Tahun
Selama ini, tambah Hamid, kita hanya punya sedikit waktu menikmati surplus hingga ekspor beras. Hanya sekitar dua tahun saja, yakni antara Tahun 1984 sampai dengan Tahun 1986, secara kenyataan memang surplus beras. Baru Tahun 1985, Indonesia memulai untuk ekspor beras. Ekspor pertama kali ke Vietnam, dengan jumlah 100 ribu ton beras. Meski itu hanya mampu bertahan sampai Tahun 1986.
Menurut Hamid, berbagai versi tentang Indonesia surplus beras, ekspor beras dengan berbagai argumennya, itu tidaklah sesuai kenyataannya. Terbukti, setiap tahun masih terus impor beras tanpa henti. Hanya dua tahun saja murni tanpa impor. ”Kita harus mempertanyakan, apakah beras ini tetap menjadi solusi inti untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan di Tanah Air ?” ujar mempertanyakannya.
Legislator asal Jawa Tengah IV ini, melihat tidak dilibatkannya Kementan dalam beberapa kebijakan besar terkait pangan, itu merupakan kesalahan besar pemerintah yang pertama. Tapi kesalahan utamanya, adalah tidak membangun integrasi membangun kedaulatan pangan yang melibatkan seluruh lembaga besar, untuk mewujudkannya karena saling kait-mengait.
Hulu Hilir
Kata Hamid, institusi KKP, Kementan, Kemenhut LH, Kemenprin, PU, LIPI, merupakan lembaga-lembaga besar yang bila bersinergi akan mewujudkan seluruh infrastruktur kedaulatan pangan dari hulu hingga hilir.
Hamid mengatakan, tidak terlalu mempersoalkan pemerintah menunjuk siapa koordinator food estate. Yang menjadi persoalan adalah, jangan sampai uang negara nantinya berhamburan tanpa bekas, karena kegagalan memilih orang dan mengeksekusi kebijakan.
”Amanat rakyat ini, sangat berat pertanggungjawabannya di masa depan,” tegas Hamid Noor Yasin.
Bambang Pur