Oleh Amir Machmud NS
SAYA membayangkan para penyair di Kota Pelabuhan itu bereuforia menyambut sukses tim sepak bola kebanggaannya, Liverpool yang meraih trofi Liga Primer. Setelah 30 tahun menunggu. Setelah gonta-ganti pelatih, dan setelah drama demi drama pahit dilewati di Anfield, panggung kehidupan mereka…
//… hidup itu bekerja// katakan kepada Juergen Klopp// ia sudah bekerja keras// dengan etos tanpa batas// naluri pekerja dan pemikir// harga diri dan pembukti// seniman di tepi rumput suci// dengan gempita sejarah// merawat tradisi kami// meradanglah kau Mo Salah// ini dadaku mana dadamu // dan kau takkan pernah berjalan sendiri…//
Mereka, anak-anak pelatih Juergen Klopp itu pantas berteriak gagah merekah, ketika “hak atas trofi” itu datang juga. Nalar jarak angka tak mungkin mendekat, dan formalitas gelar pun diraih anak-anak Liverpool lewat keterhentian kemungkinan akumulasi poin yang lebih besar untuk Manchester City.
Mereka menjulang dan sempat gamang dalam rongrongan. Pandemi Covid-19 memenggal kompetisi yang belum tuntas. Sejumlah legenda dan expert di lingkungan Liga Primer menyuarakan penolakan andai Liverpool mendapat trofi cuma-cuma, walaupun jarak 25 poin dengan sisa sembilan laga cukup menegaskan de facto sulit terkejar oleh peringkat kedua klasemen sementara.
Andai otoritas sepak bola Inggris memutuskan menghentikan musim yang tanpa klub juara, betapa pilu nasib Liverpool. Namun, keadilan rupanya lebih memihak mereka yang telah menyenandungkan perjuangan hebat.
Klopp membendaharakan gelar liga di lemari prestasi Liverpool justru setelah sebelumnya meraih trofi Eropa Liga Champions, Piala Super, dan juara dunia antarklub.
Konsisten
Jelas tak pantas meremehkan capaian The Anfield Gang musim ini, dengan becermin pada posisi musim lalu. Itulah bukti konsistensi dengan jejak naik dalam empat tahun kepelatihan Juergen Klopp. Performa rancak Jordan Henderson dkk terjaga. Menduduki urutan kedua dengan hanya selisih satu angka dari The Citizens pada periode 2018-2019, ke langkah mantap di sepanjang musim 2019-2020.
Tiga dekade menunggu ke puncak raihan ini menegaskan mereka menemukan produk adonan yang tepat. Antara efektivitas manajemen klub, sosok pelatih dengan karakter yang cocok, dan pilihan pemain yang pas mendukung skematika permainan. Semua penggawa lebur mencair dalam budaya Liverpool.
Klopp terbukti mampu membangun antusiasme tim, menghasilkan mentalitas juara. Bisa dibilang, kultur Liverpool sukses terkawinkan dengan karakter pria Jerman yang pernah sukses bersama Borussia Dortmund itu.
Fans Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City boleh saja mencibir dengan justifikasi masing-masing, namun pantaskah sulses absolut The Reds dimasalahkan? Mengikuti celoteh netizens hanya seperti berada di ruang kegilaan: perang argumen yang sulit dipahami dengan logika. Sepak bola tak jarang menjadi sangat politis sepanjang mempertentangkan hati dan rasa keberpihakan supportership.
Dalam dua musim ini, Liga Primer adalah eranya Liverpool. Eropa telah tertaklukkan, walaupun periode ini trofi Liga Champions terlepas di babak yang agak kepagian. Namun simaklah torehan warisan Klopp ini: permainan gegenpressing yang membuat giris lawan. Dia meracik para jagoan dalam sebuah orkestrasi maut. Pengendalian dominasi permainan dilakukan dengan taktik konsisten menekan lawan.
Alisson Becker menjelma sebagai kiper paling tangguh di dunia, Virgil van Dijck melejit menjadi palang pintu tak ada duanya, Trent Alexander-Arnold menegaskan talentanya sebagai bek sayap terbaik, Roberto Firmino makin menjulang sebagai “shadow striker” yang mendinamo irama permainan. Dan, Klopp benar-benar terberkati lewat dua jimat bergaransi gol: Mohamed Salah dan Sadio Mane.
Era Liverpool-Gegenpressing ini bakal dikenang sejarah seperti masa-masa kemonceran trio Kevin Keegan, Kenny Dalglish, Graeme Souness. Klopp berjajar dengan para legenda Bill Shankly, Bob Paisley, Joe Fagan, dan Kenny Dalglish. Kemenyatuan manajer asal Jerman itu dengan kultur Anfield menyetarakannya dengan para peletak nilai kegagahan Liverpool yang seakan-akan mendiktekan opini publik “Kami adalah Si Merah Liverpool”.
Tesis-Antitesis-Sintesis
Rivalitas antarklub dengan terus membangun kekuatan survivalitas, ibarat dialektika tesis-antitesis-sintesis dalam taktik sepak bola, di samping campur tangan kekuatan uang di balik mobilitas pergerakan industri kompetisi.
Konsistensi menjadi syarat utama, namun berlakunya siklus juga tak bisa diremehkan. Maka yang juga menentukan dalam manajemen klub adalah upaya-upaya menahan berjalannya siklus ke putaran roda bawah. Liverpool dan Klopp kini juga masuk ke pusaran tuntutan demikian.
Yang ada dalam mindset seorang arsitek tim adalah bagaimana filosofi permainannya tidak cepat dibuat usang oleh teori-teori baru yang bersemangat sebagai penantang. Dibutuhkan penyegaran filosofi bermain berupa kebaruan yang ditopang oleh pilar-pilar sekualitas yang juga segar. Kreativitas tak boleh berhenti.
Kondisi menghadapi pusaran konstruksi dan dekonstruksi itu juga dihadapi oleh Pep Guardiola sebagai pelatih yang kental dengan kekuatan ideologi bermain. Dia bagai berjalan meniti buih, dari sejak sukses bersama Barcelona, menukangi Bayern Muenchen, lalu membangun Manchester City.
Juergen Klopp akan menghadapi “rongrongan” serupa, seperti ketika Alex Ferguson membawa Manchester United dalam periode panjang kejayaan, dengan kesadaran atmosfer ancaman yang akan selalu berbeda dari musim ke musim. Rata-rata, spirit penaklukan akan menghinggapi, menyulut tim-tim yang kelak berhadapan dengan Liverpool.
Nikmatilah kelegaan pecah telor 30 tahun ini. Ada suasana yang takkan pernah terlupakan: juara di tengah pandemi Corona pada awal “normal baru” yang entah kapan menuju garis normal yang senormal-normalnya…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng