Oleh Amir Machmud NS
//… kupahami kegelisahanmu// tak lagi kau yakinikah// sepak bola tetap sepak bola// dengan segala ekspresi// walau ketika euforia dibatasi// saat perayaan dikontrol aturan// ada magi ada misteri// dan berlalulah segera pandemi// menanti hadir normal sejati…// (Sajak “Ziarah Sepak Bola-2”, 2020)
DUNIA sepak bola mulai digerakkan oleh penanda magis memasuki periode aneh “new normal”. Cristiano Ronaldo gagal dalam eksekusi penalti ke gawang AC Milan, dan Lionel Messi yang secara gemilang memenangkan Barcelona atas Real Mallorca. Juventus tetap lolos ke final Coppa Italia, sedangkan Barca mengokohkan kepemimpinan dalam klasemen La Liga. Ada beda kisah, tetapi sama langkah.
Liga Primer yang juga me-“restart” kompetisi sejak pekan kemarin juga diwarnai dengan magi-magi penanda. Pertarungan Manchester City versus Arsenal menghasilkan momen-momen gol dan kontroversi kartu. Kejadian yang sebetulnya biasa dalam sepak bola, namun terasa ada “kecanggungan” yang menyergap.
Pada periode “normal baru” ini, eksistensi otonom sepak bola tak akan lagi sama, dan itulah periode yang tidak bisa dihindarkan, harus dilalui dengan adaptasi-adaptasi ekstrem. Garis waktunya pun siapa yang mampu memprediksi?
Kosmologi liga-liga Eropa, pada pekan lalu mengetengahkan aneka drama. Ronaldo, seperti biasa, tetap menjadi fokus harapan bagi timnya, sedangkan Messi secara alamiah adalah “nyawa” bagi Barca. Laga pembuka “normal baru” La Liga menegaskan peran besar itu, yang dia buktikan dengan dua assist dan sebiji gol dari kemenangan 4-0. Berikutnya, keunggulan 2-0 atas Leganes memperkuat argumen itu.
Di Stadion Allianz, Turin, gagal penalti menjadi awal kurang nyaman yang menghampiri CR7. Kapten Juventus Leonardo Bonucci membelanya, “Bahkan pemain terbesar pun bisa gagal…” Dia juga menyebut kiper Milan Donnarumma menjalankan tugas dengan baik.
Kisah Messi lain lagi. Konsistensi performanya banyak dibincangkan, walaupun baru pulih dari cedera. Namun lebih banyak komentar tentang wajahnya yang kini kembali bersih. Rupanya, La Pulga menyambut “normal baru” dengan penampilan baru, membebaskan keimutan dari kepungan berewok tebal yang sejak 2016 membuatnya tampak lebih sangar.
Bukankah anak Argentina itu, hampir dalam setiap langkahnya adalah keajaiban sepak bola, dengan atau tanpa cambang yang boleh jadi sengaja dia kasting dalam evolusi penampilannya?
* * *
DRAMA “restart” La Liga antara lain ditandai dengan suara hiruk pikuk suporter di tribune Stadion Son Moix yang sebenarnya kosong melompong. Diciptakan keriuhan suara penonton dan tampilan gambar seolah-olah penonton memadati stadion. Laga dikondisikan agar tidak berlangsung tanpa jiwa.
Jalan keluar teknologi suporter semu ini tampaknya bisa mengisi “kevakuman suasana” ketika penonton belum diizinkan menyaksikan langsung pertandingan di stadion, walaupun tidak semua laga diatmosferkan seperti itu.
Physical distancing yang disyaratkan mulai sejak kedua tim memasuki stadion dengan bus yang jarak tempat duduknya ditata sedemikian rupa, juga bangku pemain cadangan yang bermasker dan diberi jarak longgar, menjadi elemen-elemen drama sepak bola new normal. Dalam tiga pekan ini, penyesuaian “aneh” itu sudah mulai menjadi pemandangan biasa. Yang belum tergambar, bagaimana suasana kegairahan di Liga Primer sebagai industri kompetisi yang disebut-sebut terbaik di dunia.
Bagaimanapun, terdapat sisi lain pertandingan yang tidak sepenuhnya bisa ditahan-tahan, yakni euforia perayaan gol. Tetap saja spontanitas kerumunan tak terhindarkan ketika para pemain Barca menyambut gol demi golnya, walaupun tidak seekstrem yang terjadi di Bundesliga, 16 Mei lalu. Di PreZero Arena, bek Hertha Berlin Dedryck Boyata secara impulsif mengabaikan aturan jaga jarak dengan mencium pipi rekannya, Marco Grujic saat melawan Hoffenheim. Ekspresi Boyata dianggap “tidak normal” di tengah perilaku “normal baru”.
Perasaan yang mengalir dari naluri-naluri dasar sepak bola terkadang sulit dibendung. Luapan kegembiraan Messi dkk adalah potret tentang pelepasan gumpalan rindu. Bukan sekadar rindu kemenangan dan keinginan membahagiakan suporter, tetapi juga bagaimana ritual menyambut gol harus menyesuaikan.
“Normal baru” tidak akan menoleransi atmosfer seperti itu. Orang (terpaksa) beradaptasi dengan kondisi-kondisi yang tidak lagi genuine, harus mampu membendung rasa untuk tidak terekspresikan menjadi pengundang risiko keterpaparan virus di sebuah ruang interaksi yang acap tidak dinyana. Detail naluri sepak bola boleh jadi hanya terekspresikan sekian persen dari totalitas hati dan rasa.
Akan tetapi, yang sekian persen itu bagaimanapun serasa cukup mengobati kerinduan tentang aneka drama di tonil teater manusia. Sebagai refleksi “jagat kecil” di hadapan “jagat besar” kehidupan, sepak bola adalah panggung lengkap manusia dan rasa kemanusiaannya. Kesenangan dan kesedihan berbatas tipis antara kemenangan dan kekalahan. Kebanggaan dan rasa kehilangan teraduk dalam pernik keniscayaan. Ada orang-orang besar terkalahkan, ada kelompok marginal yang terlambungkan. Bukankah dalam realitas naluri olahraga, termasuk sepak bola, banyak terekspresikan psikologi pemihakan kaum terpinggirkan?
“Panggung kemungkinan“ itu perlahan-lahan kembali berderak, dengan momen-momen magis penanda drama. Dalam keterbatasan suasana, para artis bola mulai unjuk gaya. Agenda-agenda bisnis pun berdenyut. Kapitalisasi kepindahan pemain, siapa yang dibarterkan, ke mana seorang wonderkid memilih berlabuh, klub mana yang memenangi perang manuver, serta otak-atik pelatih memformulasi skema penguatan tim; merupakan fragmen-fragmen yang beririsan dengan pilihan hidup manusia.
Sepak bola, dengan “pengikut” yang seluas jagat terbentang, mulai menatap lagi kehidupan dengan penyangga yang selalu ber-magnitude: perjalanan hidup manusia yang berkelok ala telenovela, menyusun serpihan nasib, dan perjuangan survivalitas menjadi si nomor satu.
Kini semua diliputi agenda kegelisahan yang aktual, yakni menanti kapan new normal akan berdialektika menjadi “normal yang benar-benar normal”…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng