Oleh Hadi Priyanto
Bagi Mbah Suparmo, atau sering dipanggil Mbah Parmo Kentrung, seni yang ditekuni sejak akhir tahun 1960-an bukanlah sekedar mata pencarian tempat ia menggantungkan hidupnya.
Sebab bagi kakek berusia 75 tahun yang tinggal di dukuh Jokosari, Desa Ngabul, Tahunan Jepara ini seni Kentrung yang diwarisi dari ayahnya sejak ia kecil ini adalah pusaka bangsa yang harus dijaganya. Walaupun sering kali ia harus bermain kentrung ontang-anting, atau bermain kentrung sendirian. Juga banyak tanggal kosong sebab tidak lagi banyak yang nanggap.
Ayah Mbah Parmo yang bernama Mbah Subari memang seorang seniman Kantrung yang mewarisi seni ini dari nenek moyangnya. Namun dari keturunan Mbah Subari, hanya ada satu yang mewarisi seni Kentrung yaitu Mbah Parmo.
Tidak mudah memang, menjalankan laku seperti Mbah Parmo. Sebab banyak pengabdi seni tradisi yang kemudian tumbang dan bahkan hilang ditelan jaman. Sebab ditengah-tengah kemajuan bangsa ini, banyak orang yang kemudian tidak setia.
Akibatnya seni yang semula dikembangkan untuk syiar Islam ini kemudian terasing dinegerinya sendiri. Akibatnya Mbah Parmo harus bermain kentrung ontang-anting, atau bermain kentrung sendirian.
Bagi Mbah Parmo, bermain kentrung ontang-anting tidak sulit walaupun ia harus memainkan dua terbang bersamaan. Juga membawakan tembang parikan bersahut-sahutan sendiran disela-sela ia membawakan cerita yang dimainkan.
Lewat parikan itu, banyak orang yang terhibur dan bahkan tertawa. Namun ada gurat kesedihan diwajahnya yang semakin renta. Seni Kentrung yang semakin terabaikan, termasuk oleh keturunanan Mbah Parmo sendiri. Padahal dari perkawinan Mbah Parmo dengan Mbah Kasturi mereka dikarunia 4 orang anak dan 8 cucu.
Baru pada tahun 2019, seorang cucunya tertarik untuk meneruskan warisan keluarga. Nama cucu Mbah Parmo adalah Arif Sunarwan. Ia anak pertama dari anak ke ketiga Mbah Parmo. Pemuda lulusan sebuah MTs yang bekerja serabutan ini kasihan melihat kakeknya ketika harus memainkan kentrung ontang-anting sendirian. Kadang nafasnya tersenggal kelelahan.
Karena itu ia tidak hanya ingin mengantarkan Mbah Parmo saat ada tanggapan, tetapi ia ingin menemani kakeknya saat bermain. Tidak mudah bagi Arif Sunarwan menjadi teman berbalas parikan dengan kakeknya.
Apalagi Mbah Parmo sering membuat parikan spontanitas untuk menyapa dan bahkan menyindir orang dikenalnya. Atau bahkan melontarkan kritik atas kondisi sosial yang terjadi. Namun darah seni yang diwariskan oleh nenek moyangnya membuat Aris Sunarwan berusaha untuk bisa menjadi teman permainan kakeknya, agar tidak lagi memainkan kentrung ontang-anting.
Syiar Islam
Sejak Mbah Parmo menjadi seniman kentrung tahun 1970-an, ia berpasangan pertama kali dengan Mbah Sumo Sutil. Kala itu masih ada bebarapa grup Kentrung di Jepara. Juga saat pasangannya berganti dengan Mbah Subari, dan Mbah Kamsi.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, jumlah paguyuban Kentrung semakin berkurang hingga ia berpasangan dengan Mbah Paidi, Mbah Karisan dan Mbah Sumadi.
Namun ada yang tidak berubah. Kisah atau cerita yang dimainkan dari kewaktu-kewaktu tetap sama. Hanya parikan yang kemudian dikembangkan oleh Mbah Parmo sesuai dengan situasi kekinian.
Sebagian kisah yang dimainkan dalam Kentrung adalah cerita tentang syiar Islam. Ada kisah tentang Syekh Subakir, Syekh Jondang, Jalak Emas, Angling Darmo, Juwar Manik, Murtosiah, Ahmad Muhammad. Cerita tentang Ahmad Muhammad mengisahkan tentang saudara kembar yang pergi bersama untuk berguru mengaji pada Romo Kyai Sabar Santoso dari Pondok Ngrenggoh Jati.
Walaupun ada banyak yang menghina kedua saudara kembar ini, namun keduanya tetapsabar dan selalu ibngat pada Allah dan kedua orang tuanya hingga akhirnya Ahmad Muhammad menjadi orang yang diunggulkan. Juga kisah Syekh Jondang yang berasal dari negeri Bagdad.
Pria yang bernama asli Abdul Azis dan dikenal sebagai orang yang pandai di negaranya ini ketika masuk Pulau Jawa untuk syiar Islam ia pura – pura bodoh hingga ia bertemu dan berguru dengan Sunan Muria. Ditempat ini ia berkenalan dengan gadis cantik bernama Raden Ayu Roro Kuning hingga akhirnya mereka menikah. Kisah itu dituturkan dengan tembang-tembang khas kentrung.
Di usianya yang semakin renta, Mbah Parmo yang tidak ingin menjadi penjaga terakhir seni kentrung klasisk di Jepara boleh bernafas lega. Sebab ada salah satu cucunya yang mau meneruskan seni warisan leluhur dan bangsanya. Walaupun sebenarnya ia berharap banyak pemuda yang mau melestarikan warisan budaya ini. Semoga masih ada waktu bagi Mbah Parmo mewariskan seluruh energinya untuk kelestarian seni Kentrung klasik.
Jepara, Rabu 17 Juni 2020