JAKARTA (SUARABARU.ID) – Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Pratiwi Sudarmono mengatakan ketakutan masyarakat Indonesia terhadap kemungkinan gelombang kedua pandemi COVID-19 tidak diikuti dengan perilaku yang cukup untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
“Masyarakat takut, tetapi mereka leluasa untuk pergi ke sana kemari tanpa masker, berkerumun, minum kopi, ke restoran, dan lain-lain,” kata Pratiwi saat jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang dipantau dari akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Selasa.
Pratiwi mengatakan gelombang kedua pandemi COVID-19 bisa terjadi karena ada pergerakan manusia yang luar biasa. Apalagi, setelah Idul Fitri, tetap ada kegiatan mudik dan balik, serta tenaga kerja Indonesia yang kembali dari luar negeri.
Padahal, virus corona penyebab COVID-19 adalah jenis virus RNA yang dari waktu ke waktu melakukan perubahan atau mutasi dan berkembang menjadi semakin banyak.
“Ketika tidak ada pembatasan dan orang tidak takut untuk keluar rumah, dengan sendirinya kemungkinan untuk tertular menjadi tinggi,” tuturnya.
Pratiwi mengatakan memang terdapat beberapa variasi virus corona penyebab COVID, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna. Dari beberapa variasi tersebut, bisa diketahui dari mana virus tersebut berasal.
“Sayangnya kita tidak cukup banyak melakukan sequencing terhadap virus ini. Misalnya, saya pernah terpapar dan positif, kemudian sembuh. Lalu dua minggu kemudian positif lagi. Kalau virusnya sama berarti terjadi reaktivasi. Kalau berbeda-beda berarti terjadi reinfeksi,” katanya.
Menurut Pratiwi, seseorang yang pernah terpapar COVID-19, baik kemudian sakit atau tidak, secara otomatis di dalam tubuhnya akan terbentuk kekebalan.
Namun, meski sudah terbentuk kekebalan, di kemudian hari bisa saja terpapar kembali dan ketika dites secara cepat hasilnya positif.
Ant/Muha