Oleh Amir Machmud NS
//…ke mana suara-suara itu// yang menyorak menyokong// yang meneror menghujat// yang menyiul menghukum// hilang gempita garang// ruang-ruang kosong melompong// lengang membiarkan// para gladiator beradu// di oktagon bisu// senyap tanpa haru-biru…// (Sajak “Stadion Tanpa Roh”, 2020)
SIGNAL Iduna Park, 16 Mei, saat Bundesliga memulai lagi kompetisi di tengah “tetirah tak pasti” akibat pandemi Covid-19, “Tembok Kuning” di sisi selatan stadion benar-benar senyap kehilangan roh kegairahan.
“Yellow Wall” — begitu komunitas Borussia Dortmund menyebut populer tribune selatan yang khas bagi suporter fanatik mereka –, menjadi saksi perayaan kemenangan 4-0 Die Borussen atas Schalke 04 dalam laga lanjutan Bundesliga musim 2019-2020. Erling Braut Haaland dan kawan-kawan tetap memberikan penghormatan ke arah tribune, tradisi yang selama ini mereka lakukan setiap menyelesaikan laga kandang.
Dan, gambaran itulah yang sedikit mencairkan api kerinduan kepada sepak bola. Aktivitas “makhluk misterius” itu total dihentikan sekitar dua bulan terakhir ini sebagai refleksi “football lockdown” di liga-liga dunia.
Tentu banyak paradoks dari pecah telur pertandingan di Signal Iduna Park itu. Para pemain bertarung, yang dapat dibayangkan diliputi keraguan untuk bersentuhan tetapi mau tidak mau harus melakukan body charge. Bukankah dalam naluri tensi laga, suasana kerumunan dan sikut-sikutan tak mungkin dihindari?
Sementara itu, di bangku cadangan, para pemain mengenakan masker dan duduk menjaga jarak. Ofisial tim juga menggunakan alat pendindung mulut itu. Bahkan ketika merayakan kemenangan, sejumlah pemain cadangan pun memakainya. Bola juga disterilkan dengan sering dibasuh disinfektan.
Inikah kondisi “normal baru” yang mau tidak mau harus diadaptasi dalam semua segi kehidupan?
Pelatih Dortmund Lucien Favre merasakan suasana yang aneh ketika tidak ada keriuhan di stadion. “Anda menembak ke gawang, atau membuat umpan bagus, tidak ada keriuhan sama sekali,” katanya.
Laga lainnya di PreZero Arena memunculkan kecaman di media sosial, ketika bek Hertha Berlin Dedryck Boyata mengabaikan aturan jaga jarak. Dia mencium pipi rekannya, Marco Grujic saat melawan Hoffenheim. Emosi dalam atmosfer pertandingan, rupanya berpotensi meluapkan sikap abai. Boyota mungkin lupa, physical distancing merupakan bagian dari proses berperilaku menuju “normal baru”, termasuk di dunia sepak bola
* * *
UNTUK sementara kehilangan “roh” dalam proses adaptasi masa pandemi, itu adalah kenyataan liga-liga mana pun yang memilih menuntaskan kompetisi. Nyatanya, seperti diungkapkan oleh legenda Italia, Gianfranco Zola, sepak bola dapat membantu menenemukan diri kita lagi, karena itu adalah olahraga yang memberikan kesenangan. “Ketika ada ketidakpastian, hal itu mengarah pada ketakutan dan risiko kehancuran ekonomi, bukan hanya dalam olahraga,” katanya.
Sepak bola, tambah pemain yang pernah dijuluki Marazola itu, bisa menjadi terapi karena meningkatkan mood kita. Bukan hanya sebagai simbol kembali ke normalitas. Semua merindukan sepak bola, tetapi juga memiliki hal-hal lain untuk dipikirkan.
Dari laga-laga awal lanjutan Bundesliga pekan lalu, kita mencatat gambaran realitas adaptasi sekaligus proses yang boleh jadi secara sistematis akan memformulasi sebagai kondisi “normal baru” dalam sepak bola.
Siapa yang bisa menjamin Covid-19 sudah betul-betul aman dari ancaman gelombang demi gelombang berikutnya? Apakah cara hidup manusia, juga interaksi dalam olahraga sepak bola bisa bertahan dengan keriuhan dan kebiasaan ingar-bingar kerumunan seperti selama ini? Apakah kondisi alam dan kehidupan manusia akan dimulai dari segi-segi yang total berubah dengan adaptasi-adaptasi tertentu, termasuk sepak bola yang harus menyiapkan aturan-aturan protokol pertandingannya?
Kehidupan sepak bola identik dengan riuh-rendah suporter, stadion penuh sesak tanpa jarak. Juga kumpulan massa manusia pendukung yang bergerak riuh di luar stadion. Permainan ini bersifat full body contact, sarat momen body charge.
Ekspresi sportmanship-nya mewujud sebagai respek antarpemain dengan berpelukan, cipika-cipiki, dan bertukar kostum. Rasa persahabatan dan saling hormat menjadi ungkapan nilai-nilai kemanusiaan olahraga keras ini. Perayaan gol dengan segala ungkapan gaya adalah juga bagian dari gairah sepak bola.
Kita simak respons pelatih Hertha Berlin, Bruno Labbadia ketika menanggapi ciuman Boyota kepada Grujic, “Merayakan gol merupakan bagian dari sepak bola. Emosi adalah bagian dari permainan. Jika dilarang maka lebih baik tidak usah bermain”.
“Normal baru” tentu punya “perilaku”, “kebiasaan”, “aturan”, dan protokol sendiri atas nama jaminan keamanan kesehatan manusia. Haruskah kita kehilangan sebagian dari keindahan silaturahim sepak bola, ketika kekerabatan rasa antarpelaku dipaksa menepi untuk selamanya?
Pandemi corona secara radikal mengajarkan betapa penyesuaian perilaku individu dan kelompok tak bisa dihindarkan. Lalu bisakah kita berdialektika, pada saatnya pula transformasi nilai baru bakal menjadi proses yang menyusul, dari “normal baru” kembali ke “normal semula”?
Dan, seperti jeda ekstrem dalam perjalanan melelahkan ini, kita tak pernah tahu sampai batas seperti apa dan kapan…
Amit Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng