blank

Oleh Widiyartono R

blankMENINGGALNYA sang Godfather Didi Kempot menjadikan jutaan penggemarnya kehilangan. Meski begitu, setidaknya ada yang tetap beruntung. Beberapa televisi swasta masih beroleh iklan dengan menayangkan konser Didi Kempot, tayangan mengenang Didi Kempot, dan lainnya. Tetapi janganlah kita berburuk pikir, bahwa ini memanfaatkan kesempatan dalam kedukaan. Itulah wujud penghormatan kepada sang Pahlawan Pata Hati Indonesia, seniman lagu Jawa yang entah kapan bakal muncul penggantinya.

Baca tulisan sebelumnya Didi Kempot Itu Penyair Luar Biasa (1)

Tulisan saya ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya “Didi Kempot Penyair Luar Biasa”, yang membahas tentang lirik-lirik lagu sang Maestro Campursari ini. Lirik-liriknya benar-benar puisi, dan dikerjakan tidak sekadar asal jadi. Kekuatan Didi Kempot, selain musiknya yang easy listening, juga lirik-liiriknya yang menyentuh, syahdu, indah, dan tentu saja sangat puitis.

Tentu tidak mungkin saya memberikan contoh dari seluruh lagu Didi Kempot yang jumlahnya mencapai 800-an. Beberapa lirik lewat lagu-lagu yang saya dengarkan, benar-benar bisa saya temukan keindahan puisi, karya penyair luar biasa. Sekali lagi, walaupun lagu-lagunya tentang cinta, patah hati, dan ada yang menganggap cengeng, tetapi itu benar-benar dikerjakan dengan hati.

Ada sebuah lagu yang membuat saya tertawa, lagu Didi Kempot judulnya Pom Bensin. Judulnya aneh, dan menurut saya sama sekali tidak puitis. Kalau saya redaktur halaman sastra, puisi ini langsung saya kesampingkan. Tetapi ternyata, judulnya silakan pom bensin, tetapi pada bait pertama kita lihat

Saking Solo tugu lilin menggok ngiwa
Neng juwiring mbiyen kowe karo sapa
Pom bensin Daleman sing dadi kenangan
Nalika wong loro ngeyup kodanan

Lelaki yang punya pacar dan pacarnya selingkuh, dan secara nyata cetha wela-wela weruh dhewe sangarepe mata, betapa hancurnya. Tetapi juga enggan meninggalkan tempat pacarnya berduaan. Dipandanginya pacarnya yang sedang bersama lelaki lain itu tak berkedip, tetapi tangannya mengepal geram, menyimpan lava di dada yang seakan hendak meledak. Saya langsung teringat pada lagu Dalan Anyar yang juga kejadiannya mirip.

Jangkrik ngerik ngelingke kowe sing lali
Ra tak nyana tegane cidra ing janji
Atiku kecelik aku mbok apusi
Seprene rasane lara neng ati

Rasane kaya oncat nyawa iki
Mripatku ngerti dhewe sing ngonangi
Rasane pingin njerit batin iki
Kaya ngene rasane wong diapusi

Persajakan, sekali lagi yang selau menarik saya pada lirik-lirik didi Kempot. Dia tetap konsisten menjaga ini. Sajak i-i-i-i lalu a-a-a-a, kemudian pada bait pertama tadi a-b-a-b seperti pantun, puisi lama.

Orang Jawa itu sering menafsir dengan cara othak-athik asal gathuk. Ketika tahun 1998 terjadi kerusuhan bakar-bakaran, orang kemudian othak-athik lagu Anoman Obong karya Mbah Ranto Edi Gudel, ayahanda didi Kempot. Lagi itu disebutnya sebagai pralambang sebelumnya.

Anoman Obong melukiskan ketika Anoman membakar Alengkadiraja untuk merebut Dewi Sinta dari Rahwana. Ini semiotika Jawa, pralambang itu akhirnya terjadi. Menjelang Pemilu 2019 lalu, Didi Kempot merilis lagu Suket Teki.

Aku tak sing ngalah, trima mundur timbang lara ati
Tak oyako wong kowe wis lali, ora bakal bali
Paribasan awak urip kari balung lila tak lakoni
Jebule janjimu, jebule sumpahmu ra bisa digugu

Bait pertama, ya kita masih menikmati keindahan lagu mendayu, dengan lirik tetap bertema patah jati. Tetapi kita lihat pada bait kedua

Wong salah ora gelem ngaku salah
Suwe-suwe sapa wonge sing betah
Mripatku uwis ngerti sak nyatane
Kowe selak golek menangmu dhewe
Tak tandur pari jebul thukule malah suket teki

Iya, ini lagu tentang patah hati. Tetapi pada waktu itu kontestasi politik pemilihan presiden memang harus ada yang kalah ada yang menang. Tetapi, ketika hitung cepat menunjukkan pasangan nomor 01 menang, pasangan nomor 02 belum bisa menerima. Kemudian muncul berita-berita yang menjadikan suasana menjadi hangat bahkan cenderung panas. Hingga akhirnya KPU menetapkan pasangan 01 menang, pasangan 02 tidak menerima. Lalu pendukung 01 sering memelesetkan lirik lagu ini menjadi

Wong kalah ora gelem ngaku kalah/ Suwe-suwe sapa wonge sing betah…..

Tetapi yang menarik lagi dari lirik ini, adalah frasa suket teki. Teki adalah sejenis rumput yang gampang tumbuh. Bagi orang desa sudah hafal betul, lahan tanaman jagung yang baru saja didhangir (tanahnya dibalik dengan cara dicangkul setelah tanaman jagung tumbuh agar besar), dua hari kemudian tumbuhlah suket teki itu.

Ungkapan yang sudah ada sebelumnya adalah nandur pari thukul alang-alang. Ini sebuah ungkapan tentang orang yang menanam kebaikan, ternyata yang tumbuh adalah hal buruk. Tetapi didi Kempot tidak menggunakan ungkapan yang sudah ada itu. Dia pilih tak tandur pari nanging thukule malah suket teki. Dari persajakan masuk, didengarkan enak. Meskipun dari sisi logika jadi aneh suket teki teki tidak tubuh di sela padi yang tanahnya berair. Mungkin pada padi gogo yang tumbuh di tanah kering.

Tetapi inilah yang kemudian membedakan. Penyair itu melahirkan ungkapan-ungkapan, kata-kata baru yang kemudian jadi trending, seperti saya sebut pada tulisan sebelumnya coba tanyakan pada rumput yang bergoyang-nya Ebiet G. Ade.

Ambyar

Lagu ini sebenarnya tidak terlalu terkenal. Tetapi sangat ngetop karena para penggemar Didi Kempot disebut dengan Sobat Ambyar, yang namanya memang diambil dari judul lagu ini.

Wis kebacut ambyar, tresnaku kesasar
Seneng karo kowe salah nggonku milih pacar
Wis ambyar, lara sing tak rasakke
Kowe lunga ninggalke aku neng kene

Tresnaku kesasar, cintaku yang tersesat. Frasa tresna kesasar ini juga khas, lalu salah milih pacar, menjadi pas secara persajakan, dan semakin menajamkan makna kesasar sehingga sampai salah (jalan) memilih pacar.

Lagu yang memopulerkan Didi Kempot disebut-sebut adalah Stasiun Balapan. Lagi-lagi cerita tentang kehilangan, pacar pergi nggak pulang-pulang.

Neng Stasiun Balapan kutha Solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku naliko ngeterke lungamu
Neng Stasiun Balapan rasane kaya wong kelangan
Kowe ninggal aku ra krasa netes eluh ning pipiku
da… dada sayang

Kata eluh anak-anak sekarang mungkin banyak yang tidak tahu maknanya. Anak-anak sekarang bila ditanya apa bahasa Jawanya “air mata”, bisa saja menjawab “banyu mata” bahkan mungkin kalau mereka disuruh menulis “banyu moto” (air memotret). Padahal bahasa Jawa air mata itu adalah luh yang kemudian terjadi gejala bahasa afaerisis yaitu penambahan fonem di depan menjadi eluh.

Kata netes eluh memang lebih menyentuh dibanding kata nangis. Lagi-lagi ini soal diksi. Pemilihan kata itu harus menjadikan kalimat serasa “berdarah”, sehingga menimbulkan denyutan jantung.

Terasa ada “kegenitan” di sini. Saya membayangkan didi Kempot melambaikan tangan sambil bilang dada… dada sayang…. Tetapi itu sah, orang jatuh cinta itu apa saja benar. Kalau diingatkan orang lain, cenderung marah dan selalu membela cintanya. Maka dada dada di stasiun juga sah.

Yang menarik adalah lagu Sewu Kutha.

Sewu kutha uwis tak liwati
Sewu ati tak takoni
Nanging kabeh ora mangerteni
Lungamu nyang ngendi

Lagu ini sering dijadikan bahan guyonan. Judul sebenarnya, kata mereka yag suka plesetan, adalah Lempoh atau kaki yang lumpuh karena berjalan jauh. Kenapa lempoh? Karena kaki itu sudah melintasi seribu kota, bagaimana kaki tidak kecapaian dan jadi lempoh? Sekali lagi, tengoklah persajakannya. Konsisten dan tetap ambyaaaarrrrrr.

Pitik Lanang Bukan Jago

Ketika saya mulai menulis tentang kepenyairan Didi Kempot seri kedua ini, seorang teman mengirim sebuah video, Didi Kempot sedang menyanyi mengenakan sarung sambil lesehan di lantai. Dia mengaku sedang latihan untuk lagu berjudul Sungkem.

Saben aku mlaku liwat trotoar
Trus kelingan nalika lunga neng Blitar
Hawa adhem kabute Gunung Kelud
Aku kadhemen turu ijen tanpa slimut

Swara adan subuh nangekke impiku
Pitik lanang celuk-celuk nggugah aku
Grangah-grangah tanganku ngelus dhadhaku
Alhamdulillah isih ana ambeganku

Utang kopi aku wis ra dipercaya
Apa amaneh utang sega
Niyatingsun sowan makam Bung Karno
Proklamator satriya negara

Tak etutke lakune srengenge ndhadhung
Nuruti karepe dhengkul
Sing tak suwun wis aku aja disusul
Anakmu yen durung makmur

Lagu ini menceritakan ziarah didi Kempot ke makam Bung Karno di Blitar. Tak ada kata patah hati di sini. Tetapi nelangsa nyaris tak pernah lepas dari Lord Didi. Utang kopi aku wis ra dipercaya, apa amaneh utang sega. Kesannya uangnya sudah habis tandas saat berziarah ke makam Proklamator. Tetapi itu tidak menjadi masalah, karena niat utamanya berziarah ke makam Bung Karno.

Tetapi ada yang menggetarkan dalam lirik lagu ini.

Swara adan subuh nangekke impiku
Pitik lanang celuk-celuk nggugah aku
Grangah-grangah tanganku ngelus dhadhaku
Alhamdulillah isih ana ambeganku

Saat azan subuh membangunkannya dari mimpi, ayam jantan memanggil mengajaknya terjaga, lalu dia meraba dadanya. Alhamdulillah isih ana ambeganku. Sebuah ucapan syukur yang tulus, bernafas orang tidak pernah menyadarinya secara penuh, karena itu sudah biasa. Tetapi ketika masih bisa bangun dan dalam keadaan bernafas adalah karunia Tuhan yang teramat besar.

Ada lagi pilihan kata unik di sini pitik lanang. Bila dalam bahasa Indonesia ayam jantan, itu sudah biasa. Ini mungkin lagu terakhir yang belum sempat direkam, karean didi mengaku itu baru latihan. Soal pitik lanang dalam bahasa Jawa jadi aneh, karena ada kata jago dan untuk betinanya babon. Diksi pitik lanang ini juga ada dalam lagu lainnya, yaitu Kreteg Bacem.

Yen liwat Kreteg Bacem nratab atiku
Kelingan karo kowe mantan pacarku
Rasane kaya mendem tape sing wayu
Kesuwen ngempet kangen pingin ketemu

Kamar cilik sewulan rong atus ewu
Mulih pabrik neng kene sing tak nggo turu
Kowe ndelik seprene ra wani metu
Kaya pitik lanang ora duwe jalu

Ini kisah tentang pekerja pabrik yang jatuh cinta, tetapi lagi-lagi ditinggal pergi kekasihnya. Seperti banyak lagu Didi Kempot lainnya, tentang nama tempat, dan yang ini jembatan Bacem di daerah Sukoharjo.

Frasa mendem tape sing wayu juga bukan ungkapan yang biasa kita dengar. Mendem gadhung (mabuk umbi gadung) memang ada ungkapan itu. Tetapi mendem tape basi  memang saya rasa baru. Kemudian ungkapan pitik lanang, lagi-lagi kenapa tidak pakai kata jago. Ya, diksi yang tidak biasa itu juga salah satu keunikan lirik-lirik Didi Kempot.

Rasanya, sekali lagi, saya tidak mungkin mengutak-atik irik seluruh lagunya. Ini pun sudah cukup banyak. Dan tulisan ini saya akhiri. Selamat tidur panjang Mas Didi Kempot….. (Selesai)

Widiyartono R, wartawan SUARABARU.ID, pandhemen budaya dan bahasa Jawa.