MAGELANG (SUARABARU.ID)– Di bulan Ramadhan seperti saat ini, saat satu yang dinanti-nanti yakni saat berbuka puasa. Di masa-masa lalu, berbagai cara untuk menandai saat berbuka puasa dilakukan, seperti suara bedug, kentongan, suara “dhung” dari mercon dan suara sirene.
Dari penanda saat berbuka puasa tersebut, salah satu yang menjadi kenangan dari warga Kota Magelang yakni suara sirene yang dipancarkan melalui tiga Menara Bengung (sirene) yang ada di Kota Magelang.
Ketiga Menara Bengung tersebut yakni ada di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, di Kampung Poncol, Kelurahan Panjang dan di Kampung Kemirikerep di Kelurahan Kemirirejo.
Ketiganya ditempatkan di sepanjang bantaran fly river (Tanggul Kali Kota) yang merupakan bangunan irigasi peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Sementara, sentral sirene tersebut ditambatkan di puncak Water Toren yang ada di Alun-alun Kota Magelang.
Namun, dari tiga menara bengung tersebut, hanya tertinggal dua buah yang masih dilihat. Sedangkan, satu di antaranya sudah hilang keberadaannya.
“Yang hilang, menara bengung yang ada di Poncol atau tepatnya di belakang SMK Negeri 3 dan tinggal pondasinya. Sedangkan besi menaranya dicuri orang,” kata Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, Bagus Prijana.
Bagus menambahkan, dari dua Menara Bengung tersebut, yang ada di Kampung Kemirikerep lebih tinggi daripada yang ada di Kampung Potrosaran. Menara di Kampung Kemirikerep punya ketinggian sekitar 10 meter, sedangkan yang ada di Kampung Potrosaran sekitar enam meter.
Menurutnya, perbedaan tingginya kedua menara tersebut, karena kontur tanah di dua lokasi tersebut berbeda. Yakni, kontur tanah di Kampung Kemirikerep lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di Kampung Potrosaran.
Tinggal Kenangan
Keberadaan sirene di Menara Bengung yang dulu dijadikan penanda berbuka puas, secara lambat laun suara bengung tersebut tidak lagi didengar masyarakat sekitar.
Mudi (65), salah satu warga Kampung Kemirikerep mengaku sirene yang ada di ujung jalan Kampung Kemirikerep tersebut sudah tidak difungsikan lagi sekitar 35 tahun silam.
Padahal, sirene tersebut masih dapat difungsikan. Ia pun tidak mengetahui secara pasti tidak difungsikannya sirene tersebut sebagai penanda berbuka puasa. Dan, sekarang alat sirene tersebut menjadi sarang burung gereja.
“Sebetulnya eman-eman (sayang, red) kalau tidak difungsikan dan saat ini hanya menjadi susuh (sarang) burung gereja,” ujarnya.
Ia mengatakan, sebelum tidak digunakan di salah satu tembok pagar rumah yang ada di pinggir irigasi Kali Kota tersebut ada saklar yang ada di suatu kotak khusus, untuk menyalakannya.
“Suaranya sangat nyaring yakni ‘nguiiiing’ dengan durasi sekitar
dua hingga tiga menit,” ujarnya.
Menurutnya, suara bengung tersebut diperkirakan bisa menjangkau sekitar satu hingga dua kilometer. Dan, Menara Bengung yang ada di Kampung Kemirikerep tersebut, merupakan menara paling pojok di sisi selatan Kota Magelang.
Ia berharap, keberadaan Menara Bengung yang ada di Kampung Kemirikerep tersebut dapat difungsikan kembali, sebagai penanda saat berbuka puasa.
Mudi menuturkan, saat dirinya masih remaja dan bersama dengan teman sebayanya, saat berpuasa di bulan Ramadhan selalu menantikan suara bengung tersebut. Sambil menunggu sirene tersebut berbunyi, ia bersama dengan teman-temanya bermain air di saluran irigasi Tanggul Kali Kota.
“Sebelum bermain air di Tanggul Kali Kota yang saat itu airnya masih jernih, kami dulu sering memanjat menara itu. Tetapi, kini tinggal kenangan saja.Karena anak-anak sekarang senang bermain gawai atau lainnya. Selain itu, air saluran ini sudah tidak jernih lagi,” kenangnya.
Penanda Bahaya
Sementara itu, salah satu warga Kampung Potrosaran, Kelurahan
Potrobangsan, ES Wibowo (64) mengungkapkan, selain sebagai penanda berbuka puasa, keberadaan Menara Bengung yang ada di atas Tanggul Kali Kota di kampungnya tersebut juga berfungsi lain. Yakni, sebagai penanda bahaya saat Gunung Merapi Meletus.
“Dulu saat Gunung Merapi meletus, bengung ini berbunyi sebagai tanda bahaya, sehingga masyarakat bisa waspada,” katanya.
Selain itu, kegunaan Menara Bengung pada masa lampau sebagai sistem tanda bahaya dan upaya pemerintah penjajahan Belanda untuk mengamankan situasi kota.
“Dari cerita para sesepuh di Kampung Potrosaran ini, di zaman
penjajahan Belanda, sirene tersebut menjadi penanda jam malam bagi masyarakat. Yakni, mulai pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB,” ujar ES Wibowo yang juga dikenal sebagai salah satu sastrawan di Kota Magelang.
Yon