SUDAH sekitar sebulan Djo Koplak merasa terpenjara, semenjak kasus corona merebak. Kalau sebelumnya Djo biasa bepergian karena tugasnya sebagai wartawan, kini harus lebih banyak di rumah. Tugas ke luar kota bahkan luar Jawa terpaksa dibatalkan, karena penyelenggara kegiatan taat pada aturan pemerintah untuk tidak mengadakan kegiatan berupa pengumpulan massa.

Work from home, itulah yang dilakukan Djo Koplak sekarang. Setiap jam hanya duduk di depan komputer. Enaknya bisa berpakaian sekadarnya, pakai celana pendek, singlet, nggak usah pakai sepatu. Cuma sedihnya, karena nggak keluar maka pemasukan pun menurun. Biasanya diundang sebagai pembicara di seminar atau juri lomba, dan kegiatan lainnya. Sekarang kosong, dan itu harus dinikmati.

Selain hal semacam itu, belakangan Djo Koplak merasa amat sedih. Memang sih dia tidak sepenuhnya di rumah, sesekali juga keluar. Toh kotanya juga tidak menetapkan PSBB, jadi masih bisa keluar-keluar. Syaratnya harus pakai masker. Nah, sejak selalu pakai masker itulah muncul gejala aneh dalam diri Djo Koplak.

Djo Koplak merasa teralienasi, merasa diasingkan oleh para tetangga, dan teman-temannya. Dia merasa para tetangga kini tidak ramah lagi, begitu juga teman-teman di beberapa komunitas yang diikutinya.

Djo Koplak memang dikenal supel, grapyak, dan suka menyapa orang, apalagi tetangganya. Kalaupun tidak berucap minimal dengan senyum, tetangganya langsung menanggapi dengan senyum, bahkan beberapa biasanya langsung berucap, “Tindak Pak Djo…… Ngatos-atos.

Tetapi kenapa tetangganya kini tak lagi ramah seperti dulu. Meskipun dia tersenyum, tetangga-tetangganya hanya diam saja. Apakah para tetangga khawatir jangan-jangan Djo kena covid-19, sehingga untuk senyum pun takut kalau ketularan.

Dan itu berlangsung sampai beberapa hari, bahkan beberapa minggu. Karena saking tidak tahan, Djo pun bertanya pada Pongkring, tetangga yang paling akrab. “Kring, kenapa to kok kamu sekarang beda. Biasanya lewat aku senyum, kamu juga senyum, bahkan kemudian langsung teriak ‘tindak Pakdhe….”

“Lho, lha Pakdhe Djo itu aneh. Kalau pas lewat kan pakai masker. Sampeyan senyum atau mrengut aku kan ndak ngerti. Kalau nggak bersuara, ya aku diam saja. Nanti malah kleru tampa,” kata Pongkring.

Djo Koplak baru sadar, ternyata yang rada owah adalah dirinya. Dia tidak sadar kalau pakai masker, jadi tetangga tidak tahu kalau dia senyum. Apalagi para tetangga juga bermasker, jadi sama-sama nggak tahu senyum atau merengut.

“Pantesan, kemarin Pak Gombloh juga nggak nyapa aku saat ketemu di kantor. Lha aku pakai masker rapet, pakai topi. Berarti dia nggak kenal aku. Aku juga sempat sakit hati sama Pak Gombloh kok jadi beda,” kata Djo pada Pongkring.

“Lha jebul sampeyan lara, Pakdhe. Gara-gara masker malah dadi asosial distancing,” kata Pongkring.

Widiyartono R.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini