Oleh Amir Machmud NS
EKSPRESI suara hati bermunculan di tengah penyikapan pandemi covid-19, baik melalui berbagai platform media sosial maupun di ruang-ruang publik. Misalnya bagaimana kita menyampaikan ucapan dukacita, kalimat respek, atau ungkapan terima kasih atas perjuangan para dokter, perawat, dan pemangku kepentingan medis yang berada di garda depan dalam penanganan persebaran virus Corona.
Informasi-informasi penting yang bersifat update dari seluruh penjuru dunia, kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai level, serta infografik yang mengedukasi di tengah kondisi social distancing dan physical distancing juga bertebaran di berbagai medium.
Di tengah suasana work from home (WFH), tak sedikit pula orang yang kreatif mengunggah ajakan mengisi waktu dengan tebak-tebakan lewat gambar, meneliti foto, serta permainan tes psikologis. Meme-meme bernuansa humor yang bersifat verbal dan yang berintensi mengasah kecerdasan juga bertebaran.
Kreativitas kemasan persebaran informasi, termasuk gaya penyampaiannya, muncul dari sejumlah pemimpin daerah. Aktivitas untuk membimbing dan mengedukasi untuk menyadarkan masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan dilakukan dengan cara dan gaya masing-masing. Media sosial menjadi forum yang berperan di depan, sementara “kehadiran fisik” seorang pemimpin di wilayahnya akan dirasakan ketika dia mampu mengemas “keberadaan” itu secara “berbeda”, tidak formalistik.
Gerakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berkeliling ke kantung-kantung aktivitas masyarakat, merupakan salah satunya. Aktivitas yang sebenarnya rutin bagi Ganjar itu punya bobot lain ketika dia membawa pesan-pesan simbolik yang dibungkus lewat ekspresi verbal.
Ganjar sering mengenakan kaus dengan tulisan provokatif bergaya produk Dagadu Yogyakarta atau Joger Bali. Yang paling menonjol bertitel NYEDAK KEPLAK, atau LAGI WABAH BECIK NING OMAH. Ada pula narasi MASKERAN KEREN. Juga NO MUDIK NO CRY.
NYEDAK KEPLAK berisi pesan sikap untuk selalu menjaga jarak dalam physical distancing. Sedangkan LAGI WABAH BECIK NING OMAH menegaskan tentang kebijakan work from home dan protokol kesehatan. MASKERAN KEREN, yang sepintas kadang sedikit terbaca sebagai MAS KEREN, mendorong anjuran untuk selalu mengenakan masker.
Perspektif Penilaian
Bagaimana memaknai fenomena kaus Ganjar yang kemudian banyak diminati oleh masyarakat dari berbagai penjuru Tanah Air, bahkan warga negara Indonesia di lintas negara itu?
Sah-sah saja Anda membaca dari perspektif penilaian yang berbeda-beda. Bisa saja akan ada yang berpendapat, dalam situasi tegang dan menyangkut hidup-mati warga seperti ini, komunikasi pelesetan semacam itu terasa kurang empatik.
Saya lebih memaknainya sebagai cara alternatif mencairkan komunikasi, justru di tengah ketegangan yang sudah berlangsung sejak dua bukan terakhir. Ekspresi gaul dalam bahasa kaus tersebut menjadi ajakan akrab dibandingkan dengan sosialisasi kebijakan dengan dahi berkerut. Ini jelas gaya berkomunikasi yang bernuansa milenial, khas Ganjar Pranowo.
Bermotor atau bersepeda ke kantung-kantung kegiatan masyarakat dengan membawa pesan lewat kaus yang dikenakan tentu memberi kesan lebih mendalam. Masyarakat mudah mengingat, lalu menyerap. Sesederhana itu, “kalau mendekat akan ditampar”. Bukan ditampar betulan, namun menarasikan pesan bahwa untuk sementara tidak usah berdekat-dekat, karena membawa risiko serius.
Alex Sobur yang mengutip Paul Ricoeur dalam Hermeneutics and the Human Sciences (1981) menyebut narasi sebagai permainan bahasa yang unik. Permainan bahasa ini kerap bisa kita temukan dalam pelesetan peribahasa sebagai sarana hiburan atau sekadar untuk bersenda gurau. Permainan peribahasa bisa juga sebagai wahana kritik sosial. (Komunikasi Naratif, 2014)
Permainan narasi membutuhkan kekuatan kecerdasan. Kaus Ganjar agaknya masuk dalam kategori kreativitas naratif untuk memudahkan penyampaian (dan diharapkan, penerimaan) pesan. Katakanlah, seperti Sobur yang mengutip Wijana & Rohmadi, memberi contoh kecerdasan pelesetan peribahasa, “Kalah jadi abu, menang jadi arang”, dipelesetkan “Kalah jadi babu, menang jadi majikan”. Atau “Buruk muka cermin dibelah” menjadi “Buruk muka cermin dijual”. Permainan narasi seperti inilah yang banyak dijual dalam produk-produk Dagadu dan Joger.
Ganjar mengkreasi narasi ini untuk sosialisasi alternatif. Betapa ungkapan NYEDAK KEPLAK itu sangat ringkas, ekspresif, dan “jleb”. Lalu kalimat LAGI WABAH BECIK NING OMAH menjadi semacam katarsis, mewakili perasaan masyarakat yang saat-saat ini harus mengikuti protokol sosial. Dia memosisikan penyederhanaan pesan naratif itu untuk membuat “renyah” sosialisasi.
Sementara itu, di ruang-ruang ekspresi masyarakat kita menangkap narasi-narasi yang bersifat kontrol sosial. Misalnya, ada postingan guyon parikena yang terasa getir, “Orang-orang yang keluar rumah diancam ditangkapi, sementara yang di dalam penjara malah dilepaskan”.
Atau kreativitas guyon maton lewat sebuah foto, yakni sekelompok orang yang bertubuh langsing diberi kepsen “Before WFH”, lalu kelompok orang-orang bertubuh gendut dengan keterangan “After WFH”.
Bebas-bebas saja orang mengekspresikan kata hati dengan bungkus kecerdasan humor di tengah kesuntukan kondisi pandemi Covid-19 ini. Narasi kaus Ganjar, sementara itu malah menangguk keuntungan pre-order yang seluruh hasilnya dimanfaatkan untuk pengadaan alat-alat perlindungan diri (APD). Yang elok pula, pengadaan itu menyentuh kelompok-kelompok UMKM.
Di samping sosialisasi alternatif lewat narasi kaus, dalam salah satu kegiatan keliling di Kota Semarang, Minggu (19/4), Ganjar misalnya dengan tegas mengingatkan sekelompok anak muda yang berkerumun di sebuah jalan protokol, ”Njenengan masih muda, tolong jadi contoh yang baik bagi masyarakat. Bantu pemerintah untuk sosialisasi. Ini serius lho, jangan anggap sepele…”
“Saya tidak mau warga saya banyak yang terkena virus ini. Aku pengin wargaku sehat semua. Tolong saya didengarkan, Semarang ini sudah bahaya”.
Semua usaha dalam kerja bersama, dengan leadership yang kreatif adalah keharusan di tengah suasana yang mencekam ini. Kreativitas yang mencairkan koimunikasi seperti kaus NYEDAK KEPLAK itu, bagaimanapun adalah ikhtiar dari sebuah iktikad.
Setidak-tidaknya itu kita maknai sebagai upaya mendorong kecerdasan mencerna lalu menjalankan protokol-protokol pengamanan diri, keluarga, dan lingkungan kita.
— Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah