TEMAN saya, saat bertugas di luar Jawa, sempat berguru kepada seorang pendekar. Selain belajar silat, dia juga belajar ilmu kebal dari senjata tajam. Untuk menguasai ilmu itu, metodenya sederhana. Cukup memberi “mas kawin” kopiah hitam dan tembakau, dan setelah itu diberi mantra yang harus dibaca.
Yang unik dari ilmu itu, ada perjanjian persahabatan antara pemegang ilmu itu dengan senjata tajam. Caranya, selama dia masih menghendaki ilmu itu melekat, dia harus memperlakukan senjata tajam layaknya “kekasih”. Salah satu dari syaratnya, dia tidak boleh membiarkan jika ada senjata tajam terbengkelai, tidak terawat, terjemur pada panas matahari, atau kehujanan.
Jika dia sudah tidak mampu mempertahankan sifat bersahabatnya dengan senjata tajam, maka kadar ilmu kebalnya pun menipis atau bahkan luntur hingga dia yang semula tahan bacok, tusuk dan gores itu, bisa terluka jika berhadapan dengan lawan yang pakai senjata tajam yang sebelumnya dijemur pada sinar matahari atau dibiarkan kehujanan.
Bentuk dari persahabatan antara makhluk hidup dan benda mati itu, jika suatu saat pemegang ilmu itu akan demo kekebalannya, terlebih dulu dia mengajak bicara dengan senjata tajamnya : “Hai saudaraku, kamu mahluk Allah, kulitku juga makhluk Allah, sesama makhluk Allah tidak boleh saling merusak”.
Jadi, ada semacam kesepakatan imbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Yaitu, ketika manusia bersahabat dengan alam, maka alam pun bersahabat dengan manusia.
Familiar
Dalam konsep olah batin, sang pelaku dituntut bersahabat dengan apa yang diyakini sebagai pembangkit powernya melalui banyak hal. Selain bersahabat dengan alam, ada juga konsep bersahabat dengan tatanan moral berpantang Ma-Lima : Main (judi), Maling (mencuri), Minum (mabuk-mabukan), Madat (Penyalahgunaan narkotika) dan Madon (zina), dsb.
Maka, ketika rambu-rambu itu sudah dilanggar, berarti hati si pelaku sudah tidak lagi familiar dengan sumber power keilmunya, maka ilmunya pun menjadi berkurang atau bahkan hilang. Suatu perintah atau pantangan itu bertujuan untuk “mengikat sugesti” sang pelaku olah batin itu.
Dalam konsep keilmuan tradisional, ada juga dikenal pantangan yang tidak logis bahkan juga tidak terkandung ajaran tentang nilai-nilai, misalnya, tidak boleh makan jenis buah atau daun tertentu, melewati bawah tali jemuran baju, menerobos pagar, duduk di atas batu, Dsb. Intinya, semua jenis pantangan itu muaranya pada teknik mengikat sugesti.
Benda Magis
Selain dengan laku mandiri, membangkitkan kekuatan bisa juga melalui perantaraan benda. Misalnya, jimat, pusaka, dan jenis benda lain yang oleh sebagian kalangan diyakini mempunyai kekuatan magis. Namun cara ini masih diperdebatkan boleh – tidaknya memanfaatkan benda yang diyakini bertuah, jimat, keris, dsb.
Pendapat pertama mengharamkan, bahkan dianggap sebagai menduakan Tuhan. Ada juga yang berpendapat mendekati terlarang (makruh?). Namun ada yang berpendapat memanfaatkan pusaka itu tidak menyebabkan syirik, karena para Wali tanah Jawa pun memanfaatkannya.
Misalnya, Sunan Kudus dengan Janas Kudusnya, Sunan Muria dengan Guling Murianya, Sunan Kalijaga dengan Carubuk, Balibang, Kidang Saka dan Sunan Bonang dengan Kiai Sengkelatnya. Itu menandakan, melakukan hal itu tidak menjadikan syirik oleh sebab memakai pusaka, karena pusaka itu hanya alat dan tidak untuk dikultuskan.
Nilai lebih dari pusaka itu bukan pada bentuk fisik besi dan ketajamannya, melainkan pada “radiasi” yang dipancarkan oleh komposisinya. Menandakan bahwa para empu tanah Jawa memiliki keahlian memilih besi-besi tertentu secara kodrati dari Tuhan.
Setiap jenis besi diyakini memiliki “radiasi” dan getaran yang bermanfaat seperti tersurat pada ayat Alquran surat Al-Hadid : 25. ” Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia.”
Mereka meyakini, besi itu bukan sebagai alat potong atau alat pangkas saja. Inti kekuatannya pada radiasi itu yang olah para ahli diketahui banyak yang memiliki radiasi positif. Dan dari yang ketiga belas itu terciptalah karya teknologi batin.
Untuk mengetahui fenomena keris itu, para ahli bisa mengetahui dari warna, bunyi, urat, grayang (raba). Umpamanya, besi warna putih seperti garam disebut besi kamboja memiliki pancaran radiasi sinuyudan ing akatah yang artinya segala kehendaknya dituruti banyak orang.
Jadi, kesimpulan dari memanfaatkan atau meyakini keris tergantung bagaimana menata hati. Jika dikultuskan sebagai satu-satunya pemberi berkah, bisa mendekati syirik atau menyekutukan Tuhan. Namun jika sekedar meyakini pusaka itu sebagai benda yang diberi kekuatan oleh Tuhan, boleh-boleh saja.
Analoginya begini. Tongkat Nabi Musa hanya kayu. Namun karena benda mati itu diberi kekuatan oleh Tuhan, maka jadilah tongkat mukjizat. Jadi, yang mempunyai kekuatan itu bukan bendanya, tetapi Dia yang memberi kekuatan pada benda itu : Tuhan yang Mahaesa.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati