MAKASSAR, (SUARABARU.ID) – Psikolog yang juga Dosen Psikologi Universitas Hasanuddin, Andi Juwita Amal, S.Psi, M.Psi mengatakan, pembatasan sosial mengubah perilaku sosial dengan tuntutan adaptasi cepat.
Hal itu dikemukakan Juwita di Makassar, Minggu, dalam mencermati fenomena upaya mencegah penyebaran COVID-19.
“Sebenarnya, persoalan terberat dalam fase pembatasan sosial adalah setiap orang akan mengubah perilaku sosialnya dan itu membutuhkan adaptasi cepat,” katanya.
Diakui, aktivitas yang rutin yang telah dilakukan bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, harus berubah mendadak, bahkan tanpa persiapan sebelumnya.
Kondisi ini, lanjut dia, berbeda dengan liburan. Biasanya, seseorang sudah merencanakan jauh-jauh hari sebelumnya jika ia akan meninggalkan rutinitas karena akan berlibur. Sementara pembatasan sosial ini terjadi tanpa persiapan secara psikologis.
Dia mengatakan, pada fase awal seseorang dituntut melakukan adaptasi cepat terhadap perubahan rutinitas. Pembatasan sosial ini mengubah rutinitas, dan untuk itu seseorang perlu adaptasi.
“Seseorang butuh penyesuaian untuk berada di rumah selama 24 jam, melakukan pekerjaan dari rumah, dan juga terlibat dalam urusan-urusan rumah tangga yang selama ini kurang ia perhatikan,” katanya.
Tantangan pembatasan sosial akan lebih berat dirasakan oleh seseorang yang tinggal sendiri. Pasalnya, berinteraksi dengan orang lain adalah kebutuhan dasar manusia.
“Kalau seseorang tinggal bersama keluarga, setidaknya ia masih ada teman bicara atau mitra berinteraksi. Kalau tinggal sendiri, bagaimana? Tentu ia menghadapi tantangan lebih besar. Untuk itu dibutuhkan pendekatan khusus dalam mengisi masa-masa pembatasan sosial ini,” ucapnya.
Menurut Andi Juwita yang juga merupakan Sekretaris Pengurus Himpunan Psikologi Seluruh Indonesia (HIMPSI) Wilayah Sulawesi Selatan ini, lamanya fase penyesuaian bisa berbeda-beda bagi setiap orang.
Untuk menghadapi masa pembatasan sosial, Juwita membagikan beberapa tips dan langkah yang bisa dilakukan setiap orang.
1. _Social distancing_ bukan berarti _emotional distancing_. Gunakan teknologi untuk bergaul. Sebaiknya, kurangi membahas situasi saat ini.
2. Buat rutinititas baru, mulai menyusun jadwal harian untuk seminggu, atau selama waktu pembatasan sosial. Harap diingat bahwa ini bukan liburan, sehingga sedapat mungkin produktivitas dan pekerjaan dapat tetap berjalan.
3. Lakukan aktivitas fisik yang menyegarkan tubuh, pikiran dan perasaan, sesuai dengan minat dan kesenangan (olah raga, memasak, mengurus taman, menata rumah, dan lain-lain).
4. Perluas wawasan, tigkatkan kemampuan kognitif, bilsa dilakukan dengan baca buku, namun batasi penggunaan internet. Hal ini juga bermanfaatkan untuk mengalihkan fokus pada situasi krisis.
5. Family time adalah pilihan bagi yang tinggal bersama berkeluarga. Saat ini, semua anggota keluarga berada di rumah, ini momen yang jarang terjadi. Manfaatkan untuk lebih banyak saling terhubung secara emosional.
6. Lakukan _me time_, merupakan pilihan untuk yang tinggal sendiri. Manfaatkan waktu untuk mengurus diri, memanjakan diri, dan menyenangkan diri sendiri. Namun tetap diingat bahwa _me time_ ini bukan isolasi diri.
7. Beribadah dan mendekatkan diri pada sang pencipta.
8. Lakukaan relaksasi. Bisa dengan melakukan yoga, atau mendengarkan musik, sesuai preferensi masing-masing.
9. Lakukan hal menyenangkan yang masih dapat dilakukan, misalnya hobby.
10. Batasi berita, baik dari televisi maupun internet. Hal ini penting untuk mencegah kekhawatiran berlebihan.
11. Rajin mandi, hal ini dapat meningkatkan perasaan bersih, membuat diri lebih segar.
“Tentu saja setiap orang bisa menemukan langkah kreatif untuk membantu dirinya dalam melewati situasi pembatasan sosial, atau menjalani situasi ini dengan lebih ringan dan menyenangkan,” kata Juwita.
Ant-Wahyu