blank
DISKUSI FILM UNIKA: Para narasumber dan mahasiswa berdiskusi usai pemuataran film "Atas Nama Percaya". (suarabaru.id/lbc)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang  menyelenggarakan diskusi dan nonton bareng film dokumenter berjudul “Atas Nama Percaya”, di ruang teater, Gedung Thomas Aquinas, lantai 3, Jumat (17/1).

Ketua Panitia Acara sekaligus Ketua Pusat Kajian Asia Tenggara Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Unika Soegijapranata, Adrianus Bintang Hanto Nugroho SE MA, mengemukakan latar belakang kegiatan ini mengupas film dokumenter hasil kerja sama antara Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta dengan Pardee School of Global Studies Boston University ini.

“Film dokumenter yang merupakan salah satu bentuk hasil penelitian dari kedua lembaga tersebut menggambarkan tentang masyarakat Indonesia yang mempercayai suatu kepercayaan atau agama asli yang berasal dari nenek moyang di Indonesia,” ucap Bintang.

Bintang menjelaskan, yang menjadi topik bahasan dalam diskusi film dokumenter ini ada dua yaitu terkait masyarakat Sumba yang menganut  agama asli Marapu dan masyarakat Sunda di Jawa Barat yang menganut agama asli Sunda Wiwitan tapi dalam sebuah organisasi perkumpulan yang namanya “Perjalanan”.

“Masyarakat juga harus mengetahui bahwa pemerintah setelah tahun 2017, melalui Mahkamah Konstitusi menyatakan, dalam kolom agama di KTP sudah diperbolehkan ditulis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bagi masyarakat apa pun kepercayaan maupun agama asli mereka baik Marapu, Pangestu atau agama asli lainnya,” sambungnya

Dengan demikian arah politik nasional terkait pengakuan agama, lanjut Bintang, telah berubah dari yang sebelumnya. Di samping itu pada hakikatnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural sejak zaman nenek moyang.

B Retang Wohangara SS MHum, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Unika Soegijapranata yang berasal dari penduduk asli Sumba,  mengemukakan,  bahwa Marapu adalah agama asli masyarakat Sumba. Dalam konteks kepercayaan Marapu, Allah tidak bisa didekati secara langsung oleh manusia dan tidak bisa disebutkan nama-Nya.

“Maka nenek moyang menjadi mediasi antara keduanya (antara Manusia dan Allah-Red), atau disebut Marapu,” terang Retang.

Lebih lanjut Retang menjelaskan dalam agama Marapu juga banyak terdapat nilai-nilai kehidupan serta nilai-nilai sosial. Jadi kurang lebih sama seperti dengan agama yang lain di Indonesia.

“Nilai-nilai kehidupan maupun nilai-nilai sosial tersebut seperti di antaranya adalah penghargaan pada lingkungan alam agar selalu dijaga dan dipelihara” sambung Retang.

Ia pun berharap kepada masyarakat agar tidak meremehkan agama Marapu atau agama asli lainnya yang berasal dari nenek moyang mereka di Indonesia.

Tonggak Peraturan

Sementara narasumber dari Ketua Perempuan Penghayat Indonesia (Puan Hayati) Jawa Tengah, Dwi Setiyani Utami, menyatakan rasa syukurnya bahwa sampai sejauh ini ada tonggak-tonggak peraturan yang sudah diakui oleh pemerintah dan selanjutnya adalah upaya-upaya dalam rangka eksistensi penghayat kepercayaan.

“Apa yang sudah diakui ini dikerjakan secara internal dan juga tentunya perlu adanya penguatan-penguatan untuk langkah selanjutnya terutama dalam mencapai keadilan dan kesetaraan hak penghayat sebagai warganegara Indonesia,” tegas Dwi

Selain itu, Dwi menyatakan, bahwa tonggak-tonggak peraturan yang sudah diakui dan upaya-upaya menjaga ekesistensi penghayat kepercayaan diperlukan, karena sampai saat ini masih banyak sekali peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan, terutama dalam hal perlindungan hukum dan juga untuk pendidikan, meskipun sudah diakui namun masih sebatas Peraturan Menteri (Permen).

“Sehingga harapannya akan ada penguatan secara hukum dan legalitas serta layanan yang setara terhadap penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa” sambung Dwi

Lebih lanjut Dwi Setyani mengklaim, sampai saat ini terdapat kurang lebih 12.000 penghayat kepercayaan. Namun data tersebut secara database masih belum valid, akan tetapi hingga sekarang ini masih terus diperbaiki secara internal, dan saat ini memang banyak sekali organisasi penghayat, ada sekitar 190 yang tercatat di Direktorat Kepercayaan dan Tradisi di bawah naungan Kemdikbud.

“Harapan kami pemerintah sebagai pengayom masyarakat, bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang adil untuk para penghayat kepercayaan ini,”tandas Dwi.

Cornelius Holy/Lbc