blank
Di musim kemarau puncak sekarang ini, Waduk Gajahmungkur Wonogiri mengalami surut drastis. Perahu nelayan terdampar di bekas genangan di muara alur Kali Keduwang yang mengering.

WONOGIRI – Dampak dari meningkatnya suhu panas di Indonesia yang terjadi belakangan ini, berpotensi pada kerawanan yang dapat memicu terjadinya kasus Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) secara luas. Di sisi lain, cuaca panas dapat mempengaruhi kesehatan kulit, dan mengancam dehidrasi pada makhluk hidup termasuk manusia.

Demikian informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG), sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Wonogiri, Bambang Haryanto. Fenomena suhu panas di Indonesia belakangan ini, disebabkan oleh posisi semu matahari yang pada Bulan Oktober-Nopember, berada di atas wilayah selatan ekuator. Hal ini telah mendorong terjadinya peningkatan suhu panas yang signifikan.

Di sisi lain, cuaca panas yang terjadi belakangan ini, ikut disebabkan karena kurangnya tutupan mendung (awan) di langit. Telah terjadi fenomena atmosfir di belahan Indonesia bagian selatan, terkait dengan kondisi langit yang tidak berawan selama musim kemarau belakangan ini. Itu telah menyebabkan pertumbuhan mendung di langit relatif sedikit, dan tidak ada yang menghalangi sengatan terik matahari yang memancar ke bumi.

Dampak dari fenomena alam tersebut, telah menyebabkan meningkatnya suhu panas di Tanah Air, dan pernah mencapai 39,6 derajat Celsius di Ciputat, Tangerang. Menyikapi ini, kepada masyarakat diseru untuk minum air yang cukup, guna menghindari dehidrasi. Bersama itu, dianjurkan untuk mengenakan busana yang mampu melindungi kulit dari sengatan langsung terik matahari. ”Waspadai aktivitas yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan,” tegas Bambang Haryanto.

Musim kemarau yang kering belakangan ini, telah berdampak pada mengeringnya telaga tandon air, waduk dan bendung irigasi di Kabupaten Wonogiri. Termasuk Waduk Gajahmungkur Wonogiri yang legendaris, saat ini dalam kondisi surut secara drastis dan hanya menyisakan air pada alur bekas aliran sungai induk Bengawan Solo saja. Aliran air dari anak sungai Keduwang dan Wiroko, telah kering kerontang.

suarabaru.id/Bambang Pur