Tuntutan Penolakan RUU PKS dari Kammi akan Disampaikan ke DPR
Wakil Ketua Sementara DPRD Jateng Quatly Abdulkadir Alkatiri menerima audiensi dengan KAMMI. (ist./hms)

SEMARANG – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jateng telah menerima dan selanjutnya akan meneruskan aspirasi dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Semarang ke DPR terkait penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Penegasan disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Quatly Abdulkadir Alkatiri saat menerima perwakilan mahasiswa di ruang Rapat Pimpiman (Rapim) lantai 1 Gedung Berlian, Senin (23/9/2019).

“Saya akan memperjuangkan aspirasi ini. Semoga apa yang menjadi harapan adik-adik semua bisa didengar mengingat undang-undang ini baru rancangan dan belum disahkan. Aspirasi ini kami tangkap semoga nanti bisa dikabulkan,” ungkapnya.

Pada Senin, sekitar pukul 10.00, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI mendatangi Kantor DPRD Jateng di Jalan Pahlawan, Kota Semarang. Sambil berorasi, mereka menolak rancangan undang-undang tersebut.

“Kedatangan kami ke sini untuk menolak RUU PKS. Kami memperhatikan banyak pasal RUU KUHP dan PKS yang tidak selaras. Kami mengusulkan (pasal 418 ) telah dihapuskan sebab bertentangan dengan tujuan yang ada pada RUU PKS yakni untuk mencegah seseorang dari penipuan seksual,” katanya.

Ada enam tuntutan KAMMI. Pertama, RKUHP tidak boleh disahkan begitu saja, sehingga perlu adanya kajian yang mendalam lagi para panjan agar tidak terjadi pertentangan antara tujuan pasal RKUHP dengan RUU.

Selanjutnya menolak RUU PKS dengan merekomendasikan kepada DPR untuk menuntaskan dan menyusun pasal-pasal yang memiliki arti luas dan tidak ambigu (membingungkan). Menolak pasal-pasal yang berpotensi menggangu ketahanan keluarga.

Selanjutnya menolak pasal-pasal adanya praktik asusila yang tidak sesuai dengan falsafah negara, mendukung pemerintah untuk melindungi korban-korban kekerasan seksual dengan adanya pasal yang dapat memayungi korban pemaksaan (kekerasan) dan eksplotasi seksual.

Menolak segala bentuk celah terhadap korporasi asusila baik itu dengan paksaan (kekerasan) maupun tanpa paksaan (consensual sex) yang dapat mengganggu ketahanan keluarga dan tidak sesuai dengan norma kesusilaan yang berlaku di Indonesia. (suarabaru.id)