Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Adab Pergaulan
Oleh:
Arosy Nur Sahla & Ira Alia Maerani
Keterbukaan informasi dan kecepatan tingkat teknologi (high tech) membawa beragam konsekuensi. Baik konsekuensi positif maupun negatif. Kemudahan akses informasi dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor positif yang bisa diperoleh. Sementara faktor negatif yang muncul nampak dalam pola pergaulan. Dimana kurangnya adab dan kemampuan anak muda zaman mileneal dalam tata pergaulan (bersosialisasi) dan bermasyarakat.
Adab anak kepada orang tua mulai terkikis. Terlebih ketika game on line tersaji dengan mudahnya. Seorang anak masih membutuhkan bimbingan dan arahan orang tua dalam memanfaatkan teknologi agar tidak gagap dalam penerapannya. Dimana anak perlu dibimbing kemudahan akses teknologi dan informasi sejatinya dimanfaatkan untuk hal-hal positif. Dalam rangka meningkatkan kompetensi keilmuan dan pengetahuan.
Namun disayangkan, transfer budaya yang terjadi justru pada beberapa kasus terjadi hal yang kurang menyenangkan. Unggah ungguh atau budi pekerti anak mileneal dinilai mulai terkikis. Sopan santun dalam berbicara, gaya berpakaian, penampilan yang justru kurang mencerminkan budaya lokal dan nilai-nilai bangsa Indonesia yang sarat dengan nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Musyawarah dan Keadilan Sosial.
Gadget dengan berbagai aplikasi menyenangkan dan menghipnotis anak muda membuat mereka abai dengan kewajiban-kewajibannya. Seperti patuh pada orang tua, taat pada perintah Allah seperti sholat, mengaji dan beribadah lainya. Belajar yang merupakan kewajiban seorang pelajar pun ditinggalkan.
Berprestasi tinggi merupakan dambaan. Namun apalah arti jika orang tua tidak dihormati, guru diabaikan, teman dicemooh. Adab yang baik menunjukkan kemualiaan seseorang. Untuk itu perlu pemahaman nilai-nilai yang baik yang didapat dari pergaulan di tempat pendidikan.
Era globalisasi dengan dicirikan tingginya teknologi membuat manusia diberikan kemudahan untuk mengakses ilmu dan pengetahuan dengan mudah. Akan tetapi tata (adab) pergaulan yang baik di lokasi pendidikan menjadi sebuah pembiasaan yang baik. Anak didik dilatih untuk menghormati orang tua, peduli pada sebaya dan sayang pada yang lebih muda darinya. Hal ini tentu saja tidak diperoleh dengan model pendidikan e-learning. Untuk itu model pendidikan klasik ini tidak akan tergerus oleh zaman ketika sarat dengan nilai-nilai dalam penerapannya.
Ambil contoh, seorang peserta didik mudah memperoleh informasi di media internet tentang sholat. Ia bisa membaca syarat dan rukun sholat melalui situs Islam di internet. Akan tetapi peserta didik membutuhkan model (peraga) bagaimana menjalankan sholat. Untuk hal inipun ia bisa dapat dari youtube. Akan tetapi youtube tidak bisa melihat dan menilai apakah sholat yang sedang dipelajarinya ini sudah benar atau belum? Oleh karena itu peran penting guru masih dibutuhkan dalam proses belajar mengajar.
Adab Anak pada Orang Tua
Anak adalah anugrah yang dititipkan Sang Khalik terhadap kedua orang tuanya sehingga orang tua mempunyai peran untuk mendidik anaknya agar mempunyai adab. Seorang anak masih membutuhkan banyak perhatian dan dukungan dari orang tua agar bisa menjadi baik. Anak juga harus diajarkan agar pandai memilih yang terbaik untuk hidupnya dunia akherat. Tidak melulu pada kesenangan belaka.
Gadget disinyalir menjadi “penghalang” utama komunikasi yang konstruktif antara orang tua dengan anak. Anak sibuk dengan kesenangannya di dunia maya. Bertegur sapa dengan temannya melalui chatting, game on line, ber-medsos hingga ketika orang tua menegur, menyapa, mengajak berkomunikasi dianggap sebagai gangguan. Tak ayal, seloroh merekapun menyakiti perasaan orang itu. “Akh ibu, gangguin aja nich!,”serunya.
Kedua orang tua menjadi perantara sebab adanya generasi penerus dengan izin Allah SWT. Keduanya telah merasakan kelelahan karena mengurus anak dan menyenangkan mereka. Istilah birrul walidain adalah etika dalam Islam yang menunjukan rasa hormat terrhadap orang tua dan berbuat baik kepada orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua itu hukumnya fardhu ain (wajib). Seorang anak wajib mematuhi perintah orang tuanya namun selama bukan perintah yang bertentangan dengan perintah Allah. Ajaran Islam tidak hanya menekankan menghormati orang tua saja, akan tetapi juga sayang dan peduli terhadap sebaya dan yang usianya lebih muda darinya.
Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila
Bangsa Indonesia memiliki pedoman hidup bermansyarakat yakni Pancasila. Sudah seharusnya bisa lebih menerapkan nilai nilai Pancasila dalam pola bermasyarakat. Terutama mengenai adab dalam pergaulan. Adab yang sebenarnya harus dimiliki semua orang namun terlebih penting adab seorang anak terhadap orang tua.
Contohnya dalam hal penerapan nilai Pancasila tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya hal ini berhubungan dengan Sang Khalik untuk tunduk dan taat pada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Selain itu seorang anak seharusnya juga patuh dengan orang tua. Selain itu kita juga harus menerapkan nilai Pancasila yakni nilai kemanusian yang adil dan beradab karena Allah mengajarkan agar setiap manusia harus memiliki solidaritas atau jiwa tolong menolong kepada sesamanya dan tidak bertindak sewenang-wenang. Mengedepankan musyawarah dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi dalam adab terhadap orang tua, guru, teman sebaya dalam tata pergaulan dan bermasyarakat mengandung internalisasi nilai-nilai Pancasila di dalamnya.
Adab Pergaulan dalam Hukum Islam
Dasar hukum disyariatkan untuk berbakti kepada orang tua di dalam Al-Qur’an dengan firman Allah surat An-Nisa Ayat 36 yang artinya berbunyi:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”
Allah SWT mewajibkan hamba-hamba-Nya berbakti kepada orang tua. Diatur dalam Al-Qur’an surat Luqman Ayat 14 yang artinya berbunyi:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Rasulullah SAW mendorong untuk berbakti kepada kedua orang tua, beliau bersabda:
“Barang siapa yang senang dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, maka berbaktilah kepada kedua orang tuanya dan sambunglah tali silaturrahim.” (Al Haitsami dalam Al Majma’ berkata, “Hadis tersebut ada dalam kitab shahih tanpa kata berbakti kepada orang tua, tetapi diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya adalah perawi Hadits shahih).
Selain itu di Diriwayatkan dari Sahabat ‘Ali bin Abi Thâlib bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang senang apabila dipanjangkan umurnya, diluaskan rizkinya dan dihindarkan dari sû`ul khatimah, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyambung silaturahmi.” Dan sesungguhnya, berbakti kepada orang tua merupakan wujud silaturahmi yang paling mulia, karena orang tua memiliki hubungan kekerabatan yang paling dekat dengan kita.”
Oleh karena itu, pemahaman akan pentingnya pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan penguatan nilai-nilai Pancasila serta implementasinya dalam adab pergaulan amatlah penting dipelajari di dunia pendidikan. Terlebih bagi anak-anak mileneal yang perlu contoh dari lingkungan di sekitarnya. (Arosy Nur Sahla, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi Unissula & Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang)
Suarabaru.id