KUDUS – Beragam tradisi unik yang berkaitan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat, masih cukup lestari di wilayah Kabupaten Kudus.Salah satunya adalah tradisi ‘Penganten Mubeng Gapura’ di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, yang secara turun temurun masih terus dilakukan oleh masyarakat.
Pemandangan menarik terlihat di halaman Masjid Jami’ At-Taqwa di Desa Loram Kulon. Sebuah mobil datang berisikan sepasang penganten disertai keluarganya.
Satu per satu penumpang turun dari mobil. Mereka datang bukan untuk menunaikan ibadah salat. Apalagi, waktu masih menunjukkan pukul 10.00 WIB. Ya, mereka adalah rombongan calon pengantin desa setempat yang akan melakukan tradisi Mubeng Gapura (mengelilingi gapura).
Setelah semuanya siap, pasangan pengantin yang berada di barisan paling depan mulai melakukan prosesi. Dengan bergandengan tangan, sang suami menuntun istrinya memasuki pintu gapura sebelah selatan yang kemudian berjalan dan keluar melalui pintu sisi utara. Sebelum keluar, calon pengantin tersebut mengisi buku tamu dan memasukkan uang ke kotak sumbangan yang ada di samping gapura.
Usai melakukan prosesi mubeng gapura, pengantin dan keluarganya menyempatkan diri berpose dengan latar belakang gapura masjid yang berarsitektur Jawa kuno tersebut. Tak lupa, keluarga dan pengiring juga ikut pula berfoto bersama.
Ya, sepasang penganten tersebut adalah Budi Santosa warga Desa Getaspejaten dan Linda warga Desa Sunggingan. Meski keduanya bukan warga Loram, namun kakek buyut Budi, berasal dari Desa Loram Kulon.
“Jadi, yang melakukan tradisi mubeng gapura ini tak hanya warga Desa Loram Kulon saja, tapi warga desa lain yang memiliki keturunan dari Desa Loram Kulon,”kata Afroh Aminuddin, juru pelihara Gapura.
Afroh mengatakan, tradisi penganten Mubeng Gapura sudah dilakukan warga secara turun temurun sejak zaman Sultan Hadlirin, tokoh penyebar Islam di desa setempat pada abad ke 15 Masehi. Menurutnya, guna menarik masyarakat yang mayoritas beragama Hindu, Sultan Hadlirin memusatkan kegiatan sosial keagamaan di masjid yang memiliki gapura dengan arsitektur mirip Pura, tempat peribadatan orang Hindu.
“Gapura ini memang diambil dari kata Pura, tapi kemudian dimodifikasi menjadi Gapura yang diadaptasi dari bahasa Arab ‘Ghafurun’ yang artinya ampunan,”kata Afroh.
Seiring berkembangnya waktu, masjid Attaqwa menjadi pusat kegiatan Sultan Hadlirin bersama bersama santri-santrinya. Waktu itu, setiap warga yang akan menggelar hajatan baik itu acara syukuran atau pernikahan, selalu meminta berkah dari doanya dari Sultan Hadlirin.
Karena muridnya semakin banyak, maka tidak semua warga bisa bertemu dengan Sultan Hadlirin. Akhirnya, sebagai gantinya Sultan meminta kepada warga untuk mengelilingi gapura di depan masjid.
”Akhirnya, sejak saat itu tradisi tersebut turun temurun dilakukan warga Loram hingga sekarang,” jelas Afroh.
Sebenarnya, lanjut Afroh, tidak ada ketentuan syar’i yang mengharuskan calon pengantin untuk melakukan ritual mubeng gapura. Akan tetapi, seluruh warga desa menghormati dan mentaati sampai saat ini. Sebab, ada beberapa kejadian aneh ketika ada warga Loram yang menikah tidak melakukan ritual tersebut.
Ceritanya, beberapa tahun lalu ada pria Desa Loram yang menikah dengan wanita asal Sumatera. Karena berdomisili di Jakarta dan pernikahannya dilaksanakan di sana, maka mereka tidak melakukan ritual mubeng gapura.
Akan tetapi, ada sesuatu yang lain dalam kehidupan rumah tangga keduanya. Sang suami yang merupakan warga Loram, sering sakit-sakitan. Kondisi tersebut terus menerus hingga memiliki anak.
”Pasangan itu kemudian pulang ke Loram bersama anaknya dan melakukan ritual mubeng gapura. Alhamdulillah, setelah itu dia tidak lagi sakit-sakitan dan dapat mencari nafkah untuk keluarganya,” tambahnya.
Sementara, mempelai pria Budi Santosa menjelaskan, selain mempertahankan tradisi yang sudah ada, ritual ini juga sebagai perwujudan doa kepada Allah SWT. ”Agar dalam mengarungi kehidupan rumah tangga nanti selalu dilimpahi kesehatan dan rahmat dari,” ujarnya.
Sementara, dari data beberapa literatur sejarah, masjid At Taqwa Loram Kulon ini didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun seorang Muslim dari Campa, Cina Tjie Wie Gwan yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Wie Gwan kemudian menjadi orang kepercayaan Sultan Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat) dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadlirin, Wie Gwan mendirikan masjid dengan bangunan gapura menyerupai pura. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya, Ratu Kalinyamat memberikan gelar Sungging Badar Duwung kepada Wie Gwan.
Selain mubeng gapura, di masjid ini terdapat tradisi iring-iringan ampyangan dan nasi kepel. Ampyangan merupakan pesta rakyat sebagai wujud syukur atas rezeki yang telah diterima dari Allah SWT. Sedangkan, tradisi nasi kepel berawal dari kebiasaan warga sekitar yang memberikan makanan kepada pekerja di masjid.
Namun, pada perkembangannya nasi kepel sering diganti dengan uang tunai. Untuk hal itu, pengelola masjid menyediakan kotak amal khusus bertuliskan ”kas manten dan kepel”.
Suarabaru.id/Tm