SEMARANG – Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mendapat kehormatan menjadi salah satu pemain film layar lebar berjudul Sang Prawira besutan sutradara Ponti Gea yang rencananya akan tayang di bioskop XXI 1 Oktober 2019 mendatang.
Dalam film yang dibintangi 95 persen personel anggota Polda Sumatera Utara dan bintang ternama dari Jakarta Anggika Bolsterli itu, Ganjar berperan sebagai dosen Akpol berpangkat Kombes. Dia mengajar mata kuliah Pancasila di tingkat IV.
“Bapak saya itu dulu mengharapkan ada anaknya yang menjadi polisi. Harapan itu ditujukan kepada saya. Kalau jadi polisi angkatan 90, mungkin sekarang berpangkat Kombes atau bintang satu. Akhirnya saya menjadi polisi, tapi di film. Saya jadi ingat bapak,” kata Ganjar seusai syuting di Akpol Semarang Jl Sultan Agung, Selasa (9/7/2019) malam.
Dalam adegan film, Ganjar mengajar di ruang kelas dan mengenakan seragam dinas kepolisian berpangkat Kombes. Ia menjelaskan tentang syarat sebuah negara besar itu memiliki energi, pangan, mineral, laut dan rakyat yang banyak.
“Tidak banyak negara yang seperti itu. Coba, sebutkan negara besar itu mana saja,” kata Ganjar kepada taruna dan taruni.
Tiga taruna yang berasal dari Medan (Horas), Sunda (Johanes), dan Jawa (Joko) menjawab tiga nama negara. India, Brazil, dan Indonesia.
“Ya, Indonesia. Negeri ini akan makmur dan maju di masa depan. Dan di pundak kalian semua, negeri ini akan berkembang,” tandas Ganjar.
Usai syuting, mantan anggota DPR RI itu meminta kepada para taruna dan taruni jangan pernah melakukan pelanggaran terhadap aturan.
Sementara itu, sutradara Sang Prawira Ponti Gea mengatakan, film yang rencananya berdurasi 100 menit itu bercerita tentang perjalanan seorang anak desa dari pinggiran Danau Toba yang bercita-cita jadi polisi. Selain melibatkan Ganjar Pranowo sebagai pemain, dia juga mengajak Bripka Herman Adi Basuki, operator PLD Sub Bagian Humas Polres Purworejo atau yang dikenal dengan Pak Bhabin Herman dalam akun Polisi Motret di akun Youtube.
“Mengapa kami melibatkan Bapak Gubernur Jateng? Karena kami ingin menunjukkan kerja sama yang kuat antara kepolisian dengan pemerintah,” ujarnya.
Ponti menambahkan, film itu menyuguhkan pergulatan sebuah keluarga. Antara isteri dan suami tidak sepaham dalam merancang masa depan anak ketika anaknya duduk di bangku SMA.
Si Ibu, kata Ponti, ingin menuruti kemauan anaknya jadi polisi. Sementara si bapak lebih condong anaknya bekerja di luar negeri, agar dapat menolong keuangan keluarga yang selama ini tergolong miskin.
Ide cerita film lahir dari para pejabat utama Polda Sumut yang didukung oleh Wakapolda Sumut Brigjen Pol Mardiaz Kusin Dwihananto. Kemudian diperkaya oleh Kapoldasu Irjen Pol Agus Andrianto, terutama tentang sosok seorang polisi yang berani dan tangguh, dengan muatan pesan moral pedagogis (strategi pembelajaran) kepada masyarakat.
Film layar lebar ini selain menampilkan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas, juga memperkenalkan berbagai kultur masyarakat dan destinasi wisata serta membangun rasa nasionalisme.
Lokasi syuting mengambil 130 titik dan tersebar di beberapa daerah seperti Karo, Simalungun, Tobasa, humbahas Tanjung Balai, Sibolga, Nias, Medan, Semarang (Akpol) dan Jakarta (Mabes Polri).
Ponti merupakan pria berdarah suku Nias yang pernah mengenyam pendidikan dua tahun di Italia. Karya-karyanya antara lain Samadoni Tano (2011), Ilu Na Maraburan (2017), Ahele, Lewuo Si Sara, Anak Sasada (2011) dan Tanah Parsirangan (2012), serta film berbahasa Nias, seperti Ono Sitefuyu dan Lua-Lua Bowo Sebua dan sebagainya.
Ia mengakui, keinginan untuk memproduksi sebuah film agar bisa mengobati rasa kerinduan dan cintanya pada kampung halaman, serta memberikan pesan pesan moral, adat istiadat yang kerap dilanggar seiring berjalannya perkembangan zaman. (suarabaru.id/hp)