MAGELANG- Wali Kota Sigit Widyonindito meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Magelang untuk mengambil solusi terbaik mengenai sekolah inklusi.
‘’Saya minta jajaran Disdikbud untuk mencari solusi bagaimana baiknya. Meskipun mereka berkebutuhan khusus, namun mereka juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dasar,’’ terang Sigit.
Dia mengemukakan itu usai menjadi pembina upacara hari Senin di SD Negeri Tidar 7 yang menjadi sekolah inklusi di Kota Magelang. Selain sekolah ini, SMP Negeri 13 dan SDN Gelangan 7 juga ditunjuk menjadi sekolah inklusi oleh Pemprov Jateng.
Kepala SDN Tidar 7 Rusni SPd menerangkan, tercatat ada 9 anak berkebutuhan khusus (ABK) dari total 156 siswa di sekolahnya. Mereka tersebar merata di kelas I hingga kelas VI. Ada yang hiperaktif, autis hingga lamban belajar.
Dia mengaku, keberadaan ABK sedikit banyak mempengaruhi pendampingan belajar yang diberikan para guru terhadap siswa lain. Dia tidak memungkiri ABK memerlukan perhatian khusus, sehingga menyita waktu guru.
‘’Keberadaan mereka memang tidak sampai mengganggu siswa lain. Namun, terus terang dalam hal belajar ataupun ketika menempuh ujian mereka tidak bisa maju bersama siswa lain, meskipun selama ini ABK mendapatkan pelajaran tambahan dan bimbingan khusus,’’ ungkapnya.
Rusni berharap, Pemkot Magelang bisa memfasilitasi ABK tersebut agar tetap mendapatkan hak belajar seperti seharusnya. Mengingat, di SDN Tidar 7 tidak ada guru khusus yang tugasnya mengajar ABK.
‘’Bisa tidak jika kami meminta guru yang memang khusus menangani ABK, agar mereka bisa berkembang maksimal. Atau mereka diberikan sekolah khusus jika memang tidak bisa dimasukkan ke Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB),’’ pintanya.
Kepala Disdikbud Kota Magelang, Taufik Nurbakin menuturkan, sekolah inklusi merupakan program dari Pemprov Jawa Tengah dan sudah dimulai sejak tahun 2012. Kota Magelang mendapat jatah alokasi sekolah inklusi di antaranya di SMPN 13 Magelang, SDN Gelangan 7 dan SDN Tidar 7.
‘’Jadi dari program ini, sekolah diberikan SK dari Pemprov Jateng sebagai penyelenggara sekolah inklusi. Kemudian sempat turun bantuan anggaran satu kali, setelah itu tidak ada pendampingan maupun pelatihan sama sekali,’’ ungkap Taufik.
Kondisi tersebut, lanjutnya, kemudian menjadi beban tersendiri bagi sekolah. Banyak masyarakat yang enggan menyekolahkan anak mereka di sekolah inklusi, karena khawatir tidak bisa berkembang bersama ABK.
‘’Untuk mengatasi hal itu, kami dari Disdikbud saat ini sedang berjuang di provinsi supaya kalau bisa SK sekolah inklusi itu dicabut. Karena dari dinas juga tidak mungkin memberikan bantuan guru khusus ABK,’’ jelas Taufik. (Suarabaru.id/dh)