JAKARTA (SUARABARU.ID) – Mantan rekan setim atlet triathlon Korea Selatan yang ditemukan meninggal bulan lalu, setelah menduga ia mengalami kekerasan oleh staf pelatihnya, mengatakan pada Senin bahwa para atlet menjalani kehidupan “neraka” sering dipukuli dan mengalami kekerasan verbal.
Dikutip dari Reuters, Senin, Choi Suk-hyeon, seorang anggota tim nasional triathlon, meninggal di asrama timnya setelah meninggalkan pesan kepada ibunya yang memintanya untuk “mengungkap dosa-dosa” penyiksanya. Ia berusia 22 tahun.
Choi tidak menyebut nama dalam pesannya, yang dirilis oleh seorang anggota parlemen pekan lalu, namun keluarganya dan rekan setimya mengatakan ia menderita bertahun-tahun akibat kekerasan fisik dan verbal dari pelatihnya, fisioterapis dan kapten tim Gyeongju City-nya.
Pelatih dan kaptennya membantah telah melakukan kesalahan dalam sidang parlemen pada Senin.
Seorang pejabat kementerian olahraga mengatakan dalam sidang tersebut bahwa fisioterapis itu adalah teman pelatih dan bekerja sama dengan tim tersebut meskipun tidak mempunyai lisensi.
Ia tidak lagi bersama tim dan Reuters tidak bisa mengontaknya.
Salah satu dari rekan setim Choi, yang tidak memberitahu namanya dan mengenakan masker untuk menutupi identitasnya, mengatakan dalam konferensi pers sebelum sidang bahwa tim tersebut adalah “kerajaan yang dibangun hanya untuk pelatih dan anggota tertentu”.
“Pelatih dan kapten biasa memukul dan melecehkan secara verbal Suk-hyeon dan kami,” tambahnya.
Dalam satu contoh, pelatih memaksa mereka memakan roti seharga 200.000 won (Rp2,4 juta) dan kemudian memuntahkannya kembali sebagai hukuman telah meminum secangkir coca dan menambah berat badan, katanya.
Rekan setim lainnya menjabarkan kehidupan di asrama atlet sebagai “jurang neraka” tapi mengatakan ia percaya ini adalah kehidupan atlet dunia yang harus dijalani.
Anggota parlemen yang mengatur konferensi pers mengatakan perlu keberanian dari atlet untuk maju ke depan karena mereka takut akan pembalasan.
Kematian Choi memicu kegemparan nasional, khususnya setelah ia ditemukan mengajukan keluhan kepada polisi, badan olahraga nasional dan pengawas hak asasi manusia.
Kepala asosiasi triathlon nasional meminta maaf pada sidang parlemen tersebut karena “hanya percaya pelatih”.
Komunitas olahraga elit Korea Selatan terkenal dengan budaya “menang dengan segala cara”, dengan regim pelatihan yang brutal dan hubungan hierarki yang kuat antara pelatih dengan atlet yang lebih tua dan lebih muda.
Tahun lalu, beberapa atlet putri menuduh pelatih mereka yang laki-laki melakukan pelecehan seksual dan verbal di tengah gerakan #MeToo, termasuk skater dua kali juara Olimpiade jarak pendek Shim Suk-hee, yang mengatakan ia berulang kali diperkosa oleh pelatihnya.
Menteri olahraga dan Komite Olahraga dan Olimpiade Korea menjanjikan penyelidikan menyeluruh pada Senin.
Ant/Muha