Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
BACALAH glethek seperti Anda mengucapkan “rambutnya lepek,” atau “aduh, kena bau ketek.” Glethek, kata Jawa, bermakna meletakkan atau menaruh barang secara sembarangan saja, seperti menaruh gunting kadang di meja makan, kadang di kursi kamar tamu.
Sedangkan pethel, alat pertukangan menyerupai cangkul kecil, ucapkanlah seperti Anda mengatakan “calon pengantin laki-laki menyiapkan beberapa setel jas untuk pestanya.”
Ketika kedua kata Jawa itu dipadukan menjadi glethek pethel, maknanya bukan lagi orang secara sembarangan meletakkan alat pertukangan itu di sembarang tempat. Bukan!
Glethek pethel diucapkan oleh seseorang ketika menghadapi temannya atau orang lain yang omongannya berkepanjangan tanpa jelas maksudnya, lalu ia akan merespons: “Wis, glethek pethel-e apa/kepriye?” Katakanlah secara singkat saja, apa inti dari yang mau kau katakan, atau ringkasnya apa?
Bukan mustahil kita sering menghadapi orang yang berkepanjangan omongannya; ehh… setelah ngalor-ngidul dan didesak untuk singkat saja, ia menjawab: “Terus terang, mau pinjam uang.”
Ada juga yang kalau kirim WA mengawali dengan ucapan: “Selamat pagi, Bapak.” Kalau beberapa saat ucapan sopan itu tidak dijawab/dibalas, ia menulis lagi: “Kados pundi kabaripun, Pak?” Begitu pertanyaan itu dijawab, ia akan menulis lagi, misalnya: “Saya Puji, Pak, masih ingat kan?” Bertele-tele kalau direspons, tetapi jika tidak direspons, ia akan mengirim WA terus.
Berbasa-basi
Mengapa ada saja orang, bisa juga kelompok, sulit menyampaikan suatu maksud atau tujuan secara pendek-singkat-padat-bernas? Seperti orang berpidato itu, berkata-kata ini-itu, berputar sana berputar sini; eh …… padahal intinya hanya mau mengatakan terima kasih, minta maaf, dan selamat datang, namun waktunya lebih dari 30 menit.
Mengapa? Jawaban utamanya adalah kita terlalu banyak berbasa-basi yang kadang-kadang betul-betul sudah basi. Disiplin berpikir tidak dibangun dan kalah oleh basa-basi, malahan ada yang berpendapat, malu dong berpidato kok hanya lima menit.
Karena disiplin berpikir tidak tumbuh subur dalam kehidupan kita sehari-hari, maka bertutur secara to the point justru dianggap tidak sopan; dan sebaliknya, bertutur secara berputar-putar penuh ungkapan-ungkapan “dewa” dipandang sangat baik, sopan, malahan sering dianggap identik dengan kepintaran sang pembicara.
Dampaknya ialah, glethek pethel yang seharusnya bernuansa positf karena mendorong orang berpikir dan bertutur secara disiplin segaimana inti bernas hal yang mau disampaikan, lalu sertamerta berubah cenderung bernuansa negatif. Saat-saat sekarang ini, glethel pethel bermakna sangat dangkal saja untuk mengungkapkan: “Ohhhh, jebule mung ngono to?”
Dengan kata lain, glethek pethel menjadi tujuan akhir sangat sederhana, menjadi ujung akhir dari hiruk pikuk yang diciptakan, dan ternyata hanya mau minjam uang, misalnya. Konflik antar-saudara kandung berkepanjangan dan berdarah-darah, ehh……glethek pethel jebule persoalan warisan yang dirasa tidak adil oleh salah satu pihak.
Merefleksikan kekayaan budaya yang semakin terdegradasi seperti ini, pantaslah kita bertanya dua hal utama. Pertama, saat ini, siapa saja menyadari betul betapa telah terjadi degradasi atas nilai-nilai budaya dan kemasyarakatan kita?
Apakah universitas misalnya, melihat degradasi semacam ini lalu mengambil langkah-langkah penangannya? Berapa banyak orang atau instansi peduli terhadap permasalahan sosial kehidupan?
Kedua, dengan cara apa saja degradasi semacam itu dapat “dipulihkan?” Dua pertanyaan utama itu saya anggap sangat penting karena apa pun dapat disebut bernilai budaya ketika nilai-nilai positif yang dikembangkan/terjadi; sebaliknya kalau mengarah kepada hal-hal yang negatif sudah barang tentu kita tidak menyebutnya budaya.
Memulihkan Nilai Budaya
Contoh sangat jelas ialah korupsi. Banyak orang sering mengatakan betapa korupsi sudah membudaya, maka sulit diberantas. Ungkapan korupsi sudah membudaya itu sendiri sudah kurang pas, karena jelas korupsi bukanlah budaya hidup kita.
Ungkapan yang tepat ialah, katakan saja korupsi menyebar kemana-mana, dan harus kita berantas lewat budaya gotong royong dan kekeluargaan kita misalnya; yaitu secara kekeluargaan orang itu kita dekati, kita nasehati, dan didorong untuk tidak melakukan korupsi.
Secara gotong royong kita mengawasi agar orang (tertentu) sulit melakukan korupsi; namun jangan dibalik “mari melakukan korupsi secara gotong royong.”
Glethek pethel-e yang mau saya tegaskan ialah, mari bangun dari tidur; karena ada banyak hal harus kita kerjakan secara bergotong royong, yakni memulihkan nilai-nilai budaya bangsa yang mulai terkikis oleh hal/pikiran desktruktif.
(JC Tukiman Tarunasyoga, Pengamat Kemasyarakatan)