blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

DALAM disiplin ilmu Community Development yang saya geluti, mahasiswa biasanya sangat antusias ketika pokok bahasan Pelabelan Sosial dibahas. Mengapa?

Salahsatu alasannya ialah, pada saat kuliah itu berlangsung, ruang kuliah tiba-tiba berubah menjadi “bon-bin baru,” berhubung mahasiswa pating ceblung  menyebut nama-nama binatang yang biasanya dipakai untuk labeling (bahasa Inggris) kepada orang/kelompok.

Maksud labeling ialahnya,  seseorang atau suatu kelompok memanggil, memberikan, atau semacam menempelkan, bahkan menyematkan nama binatang untuk orang atau kelompok lain: Semakin orang/kelompok lain itu  dianggap sebagai pesaing/lawan berat, nama binatang yang disematkan juga semakin serem.

Nah…saat itulah mahasiswa sahut-menyahut menyebut nama binatang khas yang kira-kira sesuai dengan disiplin ilmu S1 dulu untuk disematkan kepada teman kuliahnya saat ini.

“Wiwik pitik, Pak,” celetuk seorang mahasiswa untuk Wiwik yang S1-nya Peternakan. “Kamto burung hantu, Pak, kehutanan.” Tiba-tiba ada yang nyletuk: “Diana thermometer, Pak; kesehatan masyarakat.” Dasar hanya mau nyletuk melucu.

Mengapa nama binatang untuk labeling?  Merunut ajaran dan ajakan yang tertuang dalam  peribahasa (Jawa, paribasan), nama binatang memang sangat sering disebut-sebut dalam peribahasa; seperti misalnya ayam, disebut ke dalam lima peribahasa ini: Ayam putih terbang siang, ayam hitam terbang malam, ayam ditambat disambar elang, ayam bertelur di padi, dan ayam itik raja pada tempatnya.

Bahkan tentang nyamuk pun ada peribahasanya, yaitu (1) Nyamuk mati gatal tak lepas, yang artinya orang masih terus menaruh dendam kepada orang yang pernah menjahatinya, padahal orang jahat itu sudah dihukum; dan (2) Menepak nyamuk menjadi daki, artinya melawan atau menang atas orang lemah, tak akan dapat nama baik.

Labeling

Dibandingkan dengan peribahasa, paribasan (Jawa) jauh lebih banyak menggunakan binatang untuk mengajarkan atau mengajakkan sesuatu.

Contohnya, paribasan menyebut kebo (kerbau) saja sebanyak 12 kali; Mulai dari “Kebo bule mati setra,” yang menyiratkan ajaran betapa banyak orang pandai yang tidak terpakai kepandaiannya, lalu frustrasi; sampai “Tepung kebo,”  yang  menyindir betapa  banyak orang yang sudah sering saling mengobrol atau bertemu, tetapi tidak saling mengenal namanya.

Kalau dalam peribahasa atau paribasan nama-nama binatang itu “dimuliakan,” lain halnya ketika nama binatang itu dipakai untuk labeling,  karena cenderung sarkasme.

Kelompok A memberi label “Badak” kepada kelompok B, bukan dalam rangka memuji betapa kuatnya kelompok B itu sekuat binatang badak itu, melainkan dalam rangka sarkastis melukiskan betapa kelompok B itu dianggap  bermuka tebal,  setebal kulit badak.

Contoh lain amat banyak, dan seringkali tidak bergantung pada besar atau kecilnya binatang itu sebagai label. Sebetulnya aneh namun ternyata membuat orang/pihak yang dilabeli sudah tersinggung ketika lawannya memberi label “precil.” Anak katak yang tumbuh dari kecebong dan diberi nama precil itu kan kecil sekali (apalagi kecebong, lebih kecil lagi), namun orang/kelompok yang dilabeli precil sering sudah mbingungi merasa tersinggung, ingin membalas, dan sebagainya.

Mengapa pelabelan sosial cenderung sarkastis, yakni penuh olok-olok, sindiran pedas dan menyakitkan?  Atau pertanyaannya lebih luas lagi, yakni: Mengapa, lebih-lebih  akhir-akhir ini,  sebagian dari warga masyarakat kita sangat suka saling mengolok, saling menyindir, bahkan sejumlah orang kemudian  merasa tersinggung penuh sakit hati, lalu membawa ketersinggungan atau sakit hatinya itu ke ranah tuntut-menuntut secara hukum?

Luka Politik

Saya mempunyai tiga jawaban bersifat dugaan atas fenomena tersebut; pertama, terbawanya terus luka-luka politik (political hurts) sejak awal timbulnya sampai sekarang.

Ternyata, kompetisi politik membawa serta luka-luka, yang kalah merasa luka atau bahkan dilukai, namun yang menang pun juga bisa jadi merasa terluka(i) terus.

Tegasnya tidak ada pihak yang tidak terluka, dan itu terbawa terus, seperti peribahasa “nyamuk mati, gatal tak lepas” tadi. Tokoh-tokoh kedua belah pihak yang berkompetisi sudah lama akur dan baik-baik saja, tetapi rupanya justru para pendukungnya yang masih terus mengalami luka.

Pelampiasan mereka melakukan pelabelan sosial kepada “lawannya;” dan sekali melempar sindiran, berikutnya tidak terbendung lagi karena saling sindir, saling olok semakin menjadi-jadi. Apa yang mereka cari?

Kepuasan semu, buktinya tidak berhenti pada satu dua topik atau bahan saling olok, melainkan semakin melebar dan melebar tidak ada hentinya. Orang puas sejati, ya merasa cukuplah kalau sudah kenyang bagi pencari kepuasan makan.

Kedua, pelabelan sosial yang cenderung sarkastis ini dipermudah oleh   dukungan sarana dan prasarana teknologi informasi maju. Sebutlah, dunia ini hanya segenggam tangan saja besarnya, karena dengan peralatan HP yang digenggamnya, orang bisa melakukan apa saja, termasuk melakukan saling olok, saling sindir.

Semuanya hanya dalam hitungan detik atau paling lama menitlah, beres. Dan ketiga, pelabelan sosial sarkastis yang menggunakan binatang sebagai “korban” tadi ampuh dalam arti mujarab karena sifat-sifat binatang label tadi bisa dikembangkan semaunya,  asal yang penting nyindir atau mengolok terlaksana.

Mau dikatakan dan ditambah-tambah “dasar badak gak pernah sikat gigi,” atau  “precil belum pernah sekolah,” bisa juga “Tokek laut,”  semuanya berlangsung semau gue.

Imbauannya, memang pelabelan sosial cenderung sarkastis dan  bisa menjadi pelampiasan bagi pihak-pihak yang berseteru, tetapi janganlah “meledak” fatal.

Pada sisi yang lain, sebaiknya semua pihak yang masih saja berseteru menyadari betapa warga masyarakat  lainnya sudah merasa bosan karena kalian yang “berseteru” itu ternyata cenderung mengulang-ulang isu saja, stagnant, dan tidak kreatif.

Dalam kebosanan seperti itu, wajar ada yang bertanya-tanya: Mau sampai kapan kalian begitu-begitu terus? Move on-lah dengan ide-ide cerdas. Bukankah kalian ini sering mengaku paling cerdas, sigap, aktual, dan gerak cepat? Mosok seumur-umur akan menjadi tukang goreng saja, jadi majikanlah!

 (JC Tukiman Tarunasayoga, Pengampu Matakuliah Community Development)