Oleh: Sri Mulyadi
PADA 9 Juni 2020, jumlah yang terkena virus corona tambah 1.043 orang. Angka penambahan tertinggi sejak covid-19 tercatat masuk Indonesia, 2 Maret 2020. Penambahan tertinggi sebelumnya dalam satu hari, terjadi pada Sabtu, 6 Juni 2020, yakni 993 kasus.
Penambahan 1.043 orang sehari itu memang mengejutkan, mengingat sehari sebelumnya, 8 Juni, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengumumkan 136 kabupatendan kota, masuk zona kuning atau berisiko rendah terhadap penularan covid-19.
Sebelumnya, 30 Mei 2020, sebanyak 102 kota dan kabupaten dinyatakan sebagai zona hijau atau bisa menerapkan tatanan hidup baru. Istilah populernya normal baru atau menuju masyarakat aman dan produktif.
Baca Juga: New Normal, Pergulatan Tak Terpapar, Tak Terkapar, Tak Lapar..?
Dari data tersebut, kita bisa mengartikan bahwa langkah-langkah masif/serentak rapid test di daerah-daerah berjalan baik, sehingga mampu menjaring orang yang tadinya tidak diketahui terpapar atau tidak, kini menjadi jelas. Mereka bisa diamankan/diisolasi, sehingga mengurangi risiko persebaran virus yang belum ditemukan vaksinnya tersebut.
Bisa juga diartikan bahwa persebaran corona belum mereda. Atau dengan kata lain belum dapat dijinakkan. Langkah pemerintah selama ini belum efektif.
Apalagi kalau melihat data per 9 Juni, ODP dan PDP masih sebanyak 38.394 dan 14.108 orang. Segala kemungkinan masih dapat terjadi. Bisa sebagai pertanda baik atau sebaliknya. Ternyata penambahan angka positif tersebut belum sampai puncaknya. Bahkan sebagai tanda munculnya dampak gelombang kedua.
Direktur Jenderal WHO (organisasi kesehatan dunia), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, juga menekankan bahwa saat ini bukan saatnya negara mana pun untuk mengendorkan penanggulangan virus corona. Ahli kegawatdaruratan terkemuka dari WHO, Dr Mike Ryan malah menekankan saat ini justru harus fokus untuk mencegah puncak gelombang kedua.
Bagaimana Menyikapinya?
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Paling aman ya kita menganggap bahwa senyatanya ancaman corona memang belum mereda atau belum sampai puncaknya. Kemudian masyarakat tetap waspada. Semuanya, baik yang berada di zona merah, kuning maupun hijau.
Bukan sebaliknya, pengumuman136 kabupaten dan kota masuk zona kuning atau berisiko rendah, serta 102 kota dan kabupaten zona hijau, dianggap ‘’kabar gembira’’, seolah-olah kondisi sudah normal dalam arti sesungguhnya. Kemudian muncul sikap euforia, atau kegembiraan yang berlebihan, dengan mengabaikan protap kesehatan sebagaimana seharusnya.
Tanda-tanda euforia itu memang ada. Misalnya, ada kepala daerah yang memprioritaskan pembenahan objek wisata di masa normal baru. Tujuannya memang baik, memberi kesempatan kepada warganya untuk menikmati objek wisata setelah 3 bulan lebih ‘’terkungkung’’ di rumah selama pandemi corona.
Namun di sisi lain, namanya tempat umum, tentu sulit menerapkan protokol kesehatan dengan baik, misalnya soal jaga jarak. Dan normal baru bukan sama dengan normal sebelum terjadi pandemi covid-19.
Sebagai gambaran sederhana, penerapan protap kesehatan di wilayah zona merah seperti Kota Semarang, masih nampak kedodoran dalam arti pemerintah daerah kesulitan. Di tempat-tempat umum masih banyak ditemui warga yang bergerombol. Seperti ketika mereka antre beli makanan, nongkrong di warung, kampung, dan tempat umum lain.
Kalau kita lewat di jalan raya, apalagi perkampungan, banyak kita temui warga yang tidak mengenakan masker. Termasuk penjual makanan di pinggir jalan, juga banyak yang tak mengenakan masker. Padahal, persebaran covid-19, potensial lewat droplet.
Itu gambaran yang terjadi di wilayah zona merah seperti Semarang. Di daerah yang sudah dinyatakan sebagai zona hijau atau kuning (risiko rendah), dikhawatirkan bisa jadi sikap ‘’merasa sehat’’ dan ‘’merasa sudah aman’’ seperti itu tambah sulit dikendalikan.
Memang tidak dapat dihindari bahwa risiko pandemi yang dirasakan masyarakat, tidak hanya dari sisi kesehatan, dalam arti terpapar oleh virus. Warga yang sehat pun juga terdampak secara sosial dan ekonomi.
‘’Terkungkung’’ selama tiga bulan lebih memang terasa lama sekali. Bagi warga lansia (lanjut usia) saja terasa menjemukan, apalagi bagi mereka yang dalam usia produktif dan anak-anak, tentu lebih menyiksa. Belum lagi kalau itu terkait masalah ekonomi, tentu persoalan makin kompleks.
Lebih ‘’mnggemaskan’’ kita belum tahu kapan kondisi seperti saat ini berakhir. Sampai vaksin ditemukan? Kalau patokannya itu, kapan vaksin ditemukan? Siapa dan pihak mana pun, hingga kini belum ada yang berani memberi kepastian.
Makin repot lagi manakala masih banyak orang dan ada pengambil keputusan yang tidak peduli. Padahal piilihan untuk menekan laju penyebaran virus sudah ada. Antara lain lewat protap kesehatan seperti selalu pakai masker di tempat umum, menjaga jarak atau psysical distancing, cuci tangan pakai sabun di air mengalir.
Kalau bepergian ke luar daerah atau luar negeri juga sudah ada protapnya. Hanya saja, untuk mematuhi protap itu saja belum bisa tercapai. Masih banyak yang abai, termasuk di daerah zona merah sekali pun.
Merasa Sudah Aman
Apakah sosialisasi kurang masif? Kurang merata? Jawabnya bisa iya dapat pula tidak. Meskipun sosialisasi sudah merata, tak ada artinya kalau sikap abai dan merasa sehat dan merasa sudah aman karena zona hijau atau kuning, masih tercermin dari dari sikap masyarakat. Bisa juga sosialisasi belum sampai kampung-kampung, buktinya masih banyak kerumunan, bepergian tak pakai masker, penjual makanan pun, juga tak sedikit yang tidak pakai masker.
Hanya saja, kalau berkutat ke persoalan itu, tentu ibaratnya: duluan ayam atau telur? Yang justru perlu pemikiran lebih jernih, sampai saat ini ancaman belum mereda. Masing-masing individu perlu menyadari bahwa dirinya bisa tertular atau dapat menulari.
Kita perlu meyakini pandemi covid-19 bukan berarti tidak bisa dikurangi atau dihindari/diperangi. Semua belum terlambat, selama ada usaha, di situ ada jalan. Darimana dimulai? Bisa dari pemerintah sebagai penanggung jawab penanggulangan bencana. Dapat pula dari masyarakat, dimulai dari keluarga.
Bisa juga melibatkan organisasi sosial, keagamaan, dan sebagainya. Tak kalah penting, sebenarnya justru melibatkan pengurus RT, kecuali di kawasan bisnis, industri, atau lokasi lain di luar ‘’jangkauan’’ mereka. Ini mengingat pelanggaran protap kesehatan, kebanyakan malah di lingkungan RT atau perkampungan.
Misalnya, RT diberi tanggung jawab mengiplementasikan dan mengamankan protap kesehatan di wilayah masing-masing. Jadi tidak harus gubernur, bupati/wali kota, yang setiap hari keliling ke daerahnya. Peran pengurus RT ini dimaksimalkan, kalau perlu ada penunjukan sebagai gugus terdepan percepatan penanganan/penanggulangan covid-19.
Para ketua/pengurus RT ini justru yang paling tahu karakter, kondisi sosial, ekonomi, dan psikologi, warganya. Dengan demikian kemasan pesan yang cocok disampaikan ke warga, mereka lebih tahu. Ketika melakukan pengawasan, juga tidak begitu berat, karena areanya tak begitu luas.
Lapang Dada
Tantangannya memang harus lapang dada, dalam arti bukan hanya menerima keadaan, tetapi juga punya semangat untuk menghadapi tantangan. Juga mau menyadari hak dan kewajibannya saat menghadapi pademi. Juga sabar, karena yang dihadapi adalah ‘’orang sakit’’. Bukan sakit dalam arti sebenarnya, tetapi mengalami kejenuhan/kesulitan selama tiga bulan lebih.
Dengan demikian harus siap juga ketika dampak atau umpan balik dari pesan yang disampaikan, ada yang tak sesuai dengan harapannya. Ini hanya salah satu risiko. Namun ketika modal lapang dada sudah terbawa, rasanya bisa terselesaikan. Apalagi kalau sikap lapang dada itu sudah tertanam di masing-masing warganya, tentu lebih memudahkan pencapaian tujuannya.
Misalnya, ketika tidak pakai masker dan ditegur tetangganya, dia tak marah, namun dengan legawa atau ikhlas menerima dan mematuhi protap kesehatan. Begitu juga sebaliknyal. Masing-masing tak mengedepankan egonya, dan menyadari bahwa virus corona hanya bisa diperangi manakala ada kebersamaan.
Tidak salah pula kiranya penerapan protap dijalankan secara ‘’ekstrem’’. Contohnya, kalau ada penjual makanan tak pakai masker, warga dipengaruhi jangan mau beli dagangannya.
Kalau ‘’virus’’ lapang dada seperti ini bisa diimplementasikan sampai tingkat RT dan warganya, paling tidak sudah merupakan satu langkah efektif pemutusan rantai penyebaran covid-19 di wilayah RT yang bersangkutan. Kalau ini diterapkan merata di seluruh daerah, pasti hasilnya lebih menggembirakan.
Tahapan Normal Baru
Lantas bagaimana nasib zona hijau dan kuning? Bagi pengambil keputusan di daerah yang sudah dinyatakan sebagai zona hijau atau kuning, juga perlu menyadari bahwa kondisi belum aman. Untuk menuju masyarakat aman dan produktif, menurut Prof Wiku Adisasmito, ada tahapan yang harus dipatuhi pemerintah daerah. Tidak serta merta dibuka secara langsung.
Pertama tahap prakondisi, dengan memberikan informasi yang holistik, jelas, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Baik menyangkut mengenai pencegahan maupun penanganan covid-19. Kedua, soal kapan aktivasi sosial ekonomi dimulai dengan memperhatikan data epidemilogi, tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan, kesiapan organisasi dan manajemen di daerah, serta memastikan kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan.
Ketiga, tahap prioritas. Ini untuk memilih daerah atau sektor yang dapat dipulihkan kegiatan sosial-ekonomi secara bertahap dengan dilakukan simulasi agar kegiatan dapat berkelanjutan. Keempat, tahap koordinasi pusat dan daerah. Perlu ada konsultasi timbal balik yang sinergis dalam mengambil keputusan. Sedang kelima, tahap monitoring dan evaluasi pelaksanaan dari pemulihan aktivitas sosial-ekonomi.
Jadi, kalau tanggal 9 Juni 2020 ada penambahan 1.043 kasus, kita memaknai atau mengartikannya: Ancaman belum mereda. Otomatis dituntut untuk lebih waspada. Bukan dalam arti takut berlebihan, termasuk untuk berkegiatan, namun lebih cermat. Minimal dalam mematuhi protap kesehatan, dengan mengingat ancaman ini tak kelihatan dan tak berbau, serta bagi yang terkena ada masa inkubasi hingga merasakan akibatnya.
(mbahmul Sri Mulyadi, Wartawan SUARABARU.ID, tinggal di Semarang)