Ilustrasi. Reka: SB.ID

Oleh Farin Anjani

 RIBUAN guru honorer di Kabupaten Sukabumi turun ke jalan pada 30 Januari 2025 lalu, untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan. Dengan seragam putih-hitam dan ikat kepala bertuliskan “Tolak Paruh Waktu,” mereka berbondong-bondong menuju Gedung DPRD Kabupaten Sukabumi. Teriakan mereka menggema di udara, menyuarakan satu tuntutan yang jelas: kejelasan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) penuh waktu.

Bagi mereka, menjadi guru honorer bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk pengabdian kepada pendidikan. Namun, realitasnya, pengabdian tersebut sering kali diabaikan oleh sistem. Gaji minim, tidak ada jaminan sosial, dan ketidakpastian status kepegawaian menjadi masalah klasik yang terus menghantui. Kini, ketika kesempatan untuk menjadi PPPK terbuka, justru skema paruh waktu yang ditawarkan.

Rasa kecewa dan frustrasi ini akhirnya memuncak. Dalam aksi tersebut, tidak hanya tuntutan yang disampaikan, tetapi juga kemarahan yang diluapkan. Bahkan, seorang anggota DPRD merasa tersinggung ketika massa meneriakkan “Dewan Pengkhianat Rakyat.” Insiden ini memperlihatkan bagaimana ketegangan antara pemerintah dan guru honorer semakin memanas, menandakan bahwa persoalan ini jauh dari kata selesai.

Namun, pertanyaannya, apakah aksi ini akan membawa perubahan nyata? Ataukah hanya menjadi catatan sejarah lain dari perjuangan panjang guru honorer yang terus berulang tanpa kepastian?

Ketimpangan Status

Masalah guru honorer di Indonesia bukanlah hal baru. Selama bertahun-tahun, mereka menghadapi ketidakpastian status, gaji yang jauh dari layak, serta minimnya perlindungan kesejahteraan. Seharusnya, kebijakan PPPK menjadi solusi untuk memperbaiki nasib mereka. Namun, kenyataan di lapangan justru menambah permasalahan baru, terutama dengan diterapkannya skema paruh waktu.

Guru honorer yang termasuk dalam kategori R3, yakni mereka yang telah lama mengabdi tetapi belum diangkat menjadi ASN, merasa bahwa kebijakan ini sangat tidak adil. Di beberapa daerah, guru honorer bisa langsung diangkat menjadi PPPK penuh waktu, sementara di Kabupaten Sukabumi, mereka hanya diberikan opsi paruh waktu dengan hak yang lebih terbatas.

Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa status guru honorer bisa berbeda antar daerah, padahal tugas dan tanggung jawab mereka sama?

Selain itu, sistem perekrutan PPPK juga masih menyisakan banyak persoalan. Proses administrasi yang berbelit, kurangnya transparansi dalam seleksi, serta minimnya kuota pengangkatan menjadi kendala utama.

Guru-guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi justru harus bersaing dengan tenaga pendidik yang baru masuk dalam sistem. Padahal, pengalaman dan dedikasi seharusnya menjadi salah satu faktor utama dalam menentukan kelayakan seseorang untuk diangkat menjadi PPPK.

Lebih jauh, persoalan pendanaan juga menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah daerah kesulitan mengakomodasi tuntutan guru honorer. Selama ini, gaji guru honorer banyak bergantung pada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang jumlahnya terbatas dan sering kali tidak cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan secara menyeluruh.

Sementara itu, pemerintah pusat juga belum memberikan solusi konkret untuk memastikan bahwa seluruh guru honorer mendapatkan hak yang sama dalam proses pengangkatan PPPK.

Ketidakjelasan ini yang akhirnya memicu aksi protes besar-besaran. Guru honorer tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga menolak kebijakan yang dinilai diskriminatif dan tidak berpihak kepada mereka.

Jika masalah ini tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin gelombang aksi yang lebih besar akan terjadi, dan ketidakstabilan dalam dunia pendidikan pun semakin tak terhindarkan.

Perjuangan dan Fakta di Lapangan

Guru honorer merasakan adanya ketidakadilan dalam kebijakan PPPK. Guru honorer menuntut agar mereka diangkat sebagai ASN PPPK penuh waktu, bukan sekadar tenaga paruh waktu dengan hak yang lebih sedikit. Mereka merasa bahwa kebijakan ini justru merugikan mereka yang telah lama mengabdi, sementara di daerah lain ada yang mendapatkan skema penuh waktu tanpa kendala.

“Bagaimana mungkin kami yang sudah mengajar bertahun-tahun, membangun generasi, malah dianggap seolah hanya pekerja sementara? Pendidikan itu bukan pekerjaan paruh waktu, lalu kenapa kami diperlakukan seperti tenaga kontrak yang bisa habis masa berlakunya?” ujar Deril Sukma, Koordinator Aksi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan terbatas dalam menentukan status PPPK. Namun, perbedaan kebijakan antara daerah satu dan lainnya memunculkan pertanyaan besar: mengapa tidak ada standar yang jelas dan adil bagi guru honorer di seluruh Indonesia?

Lebih dari sekadar perbedaan kebijakan, masalah ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menata sistem kepegawaian tenaga pendidik. Jika ada daerah yang mampu mengangkat guru honorer menjadi ASN PPPK penuh waktu, mengapa daerah lain tidak bisa? Apakah ini hanya soal anggaran, atau ada faktor lain yang menyebabkan guru honorer terus-menerus berada dalam ketidakpastian?

Ketidakjelasan inilah yang membuat para guru honorer merasa hak mereka diabaikan. Bagi mereka, perjuangan ini bukan hanya tentang kesejahteraan pribadi, tetapi juga tentang keadilan bagi seluruh tenaga pendidik yang telah berkontribusi dalam membangun masa depan bangsa.

Bagaimana tanggapan DPRD dan Pemerintah Daerah? Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi, Budi Azhar Mutawali, menyatakan akan memperjuangkan aspirasi guru honorer ke pemerintah pusat. Namun, realitasnya, kebijakan terkait PPPK berada di tangan Kementerian PAN-RB dan Kementerian Dalam Negeri. Artinya, ada batasan dalam kewenangan DPRD dan pemerintah daerah untuk mengambil keputusan konkret terkait status guru honorer.

“Kami akan membawa aspirasi ini ke pusat. Namun, perlu dipahami bahwa keputusan akhir tetap ada di pemerintah pusat. Kami hanya bisa mengawal dan memperjuangkan agar suara para guru honorer ini didengar,” kata Budi dalam audiensi dengan perwakilan massa aksi.

Namun, pernyataan tersebut masih menyisakan keraguan. Guru honorer sudah sering kali mendengar janji serupa dari berbagai pejabat daerah, tetapi solusi konkret tetap belum terlihat. Mereka menginginkan kebijakan nyata, bukan sekadar wacana yang berulang dari tahun ke tahun.

Janji yang Berulang

Faisal Akbar Awaludin, anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Sukabumi, mengaku memahami perjuangan para guru honorer karena pernah merasakan menjadi guru honorer sendiri. Namun, apakah pemahaman ini cukup untuk menghasilkan perubahan nyata?

“Saya dulu juga guru honorer. Saya tahu rasanya bekerja dengan gaji minim, menunggu janji yang entah kapan ditepati. Saya ingin semua guru honorer diangkat menjadi PPPK penuh waktu, karena saya tahu perjuangan mereka,” ujar Faisal.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa empati saja tidak cukup. Sudah bertahun-tahun guru honorer dijanjikan kepastian status, tetapi hingga kini mereka masih harus turun ke jalan untuk memperjuangkan hak mereka. Jika empati tidak diikuti dengan langkah konkret dan kebijakan yang berpihak, maka pernyataan semacam ini hanya akan menjadi bagian dari siklus janji tanpa realisasi.

Kenyataannya, banyak guru honorer yang telah mengabdi lebih dari 10 tahun tetapi masih belum mendapatkan kepastian status. Padahal, mereka adalah tulang punggung pendidikan di daerah, terutama di wilayah terpencil yang kekurangan tenaga pendidik tetap. Jika pemerintah benar-benar menghargai pendidikan sebagai prioritas, seharusnya nasib para guru honorer tidak terus dibiarkan dalam ketidakpastian seperti ini.

Akankah Berhasil?

Perjuangan guru honorer bukan sekadar persoalan gaji atau status kepegawaian, tetapi lebih dari itu—ini adalah perjuangan atas keadilan dan penghargaan terhadap profesi yang menjadi fondasi utama pendidikan di negeri ini.

Sudah terlalu banyak janji yang diberikan, terlalu sering aspirasi mereka didengar tetapi tidak diindahkan. Aksi turun ke jalan hanyalah bentuk lain dari keputusasaan mereka terhadap sistem yang terus mengabaikan pengabdian mereka selama bertahun-tahun. Jika pemerintah benar-benar menghargai pendidikan, maka mereka harus membuktikannya dengan kebijakan nyata, bukan sekadar pernyataan simpati tanpa solusi konkret.

Kini, nasib ribuan guru honorer kembali berada di persimpangan jalan. Apakah pemerintah akan menjadikan perjuangan mereka sebagai titik awal perubahan, ataukah ini hanya akan menjadi babak baru dalam siklus ketidakpastian yang terus berulang?  Waktu akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti mereka tidak akan berhenti berjuang.

Perjuangan guru honorer di Kabupaten Sukabumi adalah gambaran nyata dari ketidakadilan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mereka yang telah bertahun-tahun mengabdi justru dihadapkan pada kebijakan yang tidak berpihak, seperti skema PPPK paruh waktu yang dinilai merugikan. Ketimpangan dalam kebijakan ini semakin menegaskan bahwa sistem belum mampu memberikan kepastian dan kesejahteraan yang layak bagi para tenaga pendidik.

DPRD dan pemerintah daerah memang menyatakan dukungan terhadap aspirasi para guru honorer, tetapi kenyataannya, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah pusat. Janji-janji yang terus diulang tanpa solusi nyata hanya akan memperpanjang ketidakpastian dan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Jika benar ada niat untuk memperbaiki nasib guru honorer, maka kebijakan yang berpihak harus segera diwujudkan, bukan sekadar menjadi wacana tanpa kepastian.

Refleksi dari peristiwa ini adalah bahwa perjuangan guru honorer bukan hanya tentang status pekerjaan, tetapi juga tentang penghargaan terhadap pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negara berharap memiliki generasi yang cerdas dan berdaya saing, jika tenaga pendidik yang menjadi ujung tombaknya tidak diberikan kesejahteraan dan kepastian hukum yang layak?

Saatnya pemerintah, baik daerah maupun pusat, berhenti mengulur waktu dan benar-benar mendengar suara mereka. Jika pendidikan adalah investasi masa depan, maka sudah seharusnya mereka yang mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan mendapatkan tempat yang lebih layak, bukan hanya dipandang sebagai pekerja sementara yang dapat diganti kapan saja.

Farin Anjani, mahasiswa Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB.