blank
Patung bola dunia ini menjadi saksi perkembangan seni ukir Jepara. Foto: Hadepe

Oleh : Hadi Priyanto

Banyak yang  tidak tahu, jika di Jepara terdapat museum ukir Sasana Adhi Praceko. Museum berukuran 7 X 7 meter ini terletak di halaman SMPN 6 Jepara yang semula  bernama Openbare Ambachsshool atau Sekolah Pertukangan  dengan jurusan Mebel Ukir.  Sekolah ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda  1 Juli tahun 1929. Salah satunya untuk mengenang jasa R.A Kartini yang telah berhasil mengembangkan seni ukir Jepara. Disamping itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas seni ukir Jepara, baik bentuk, konstruksi maupun motif dan ragam hias seni ukir Indonesia.

Karya siswa sekolah pertukangan  dari tahun 1929 – 1956 inilah yang kemudian disimpan di museum ukir Sasana Adhi Praceko SMPN 6 Jepara. Selama itu, sekolah pertukangan yang kemudian menjadi Sekolah Teknik ini telah meluluskan siswa sebanyak 1859. Diantara karya yang masih tersimpan adalah tempat bendera pusaka yang  konon dipesan  oleh Presiden Soekarno saat berkunjung ke  sekolah tersebut tahun 1955.

blank
Karya siswa tahun 1929 – 1956 yang tersimpan di museum Sasana Adhi Praceko SMPN 6 Jepara. Foto: Hadepe

Tempat bendera ini bentuknya seperti mangkuk besar dengan diameter 70 cm. Pada tutup mangkok terdapat ukiran simbul sila-sila  dalam  Pancasila mulai bintang, rantai, kepala banteng, beringin  dan padi kapas. Sedangjan pada bagian bawah ada lima ekor burung garuda.

Disamping itu juga ada patung  bola dunia  yang di panggul oleh seorang laki-laki yang kakinya menginjak ular raksasa. Juga ada  burung garuda yang menjadi lambang Pancasila

blank
Mangkuk tempat penyimpanan bendera pusaka ini konon pesanan Presiden Soekarno saat mengunjungi sekolah Teknik Pertukangan tahun 1955. Foto: Hadepe

Di museum ini ada ratusan karya siswa dalam rentang waktu tahun 1929 – 1956.Ini bisa menjadi materi pembelajaran perkembangan seni ukir Jepara. Sayang museum ini semakin terlupakan dan tak banayak di ketahui orang.

Perjalanan Openbare Ambachsshool

Semula masyarakat Jepara belum menaruh perhatian terhadap sekolah ini. Karena itu, ketika pertama kali dibuka tahun 1929, sekolah ini hanya mendapatkan 25 orang siswa. Mereka beranggapan bahwa bentuk dan konstruksi yang diajarkan terlalu bertele-tele dan membutuhkan waktu yang lama. Mereka juga sudah merasa cukup dengan mengembangkan motif khas ragam hias Jepara. Bahkan banyak yang mencela sekolah ini sebagai usaha yang sia-sia, sebab banyak warga Jepara yang merasa telah mahır mengukir.

blank
Karya siswa yang disimpan di museum Sasana Adhi Praceko SMPN 6 Jepara. Foto: Foto: Hadepe

Namun celaan itu tidak membuat R. Ngabehi Prodjo Sockemi yang memimpin sekolah tersebut patah semangat. la justru menjadikan anggapan masyarakat itu sebagai tantangan yang harus dijawab. Dengan ketekunannya Prodjo Sockemi dan para guru sekolah ini mengajarkan keterampilan menggambar ornamen, membuat hiasan berukir dan pertukangan.

Di samping pelajaran umum, siswa di sekolah ini setiap hari mendapatkan pelajaran praktek. Awalnya dimulai dengan menggambar motif-motif dasar berbagai ornamen ukir yang berkembang di Nusantara. Setelah itu praktek mengukir ornamen. Sekolah menyediakan kayu berukuran 20 x 30 cm untuk praktek. Untuk pengembangan ornamen Nusantara di Jepara, secara khusus R. Ngabehi Prodjo Soekemi mengajarkan motif Majapahit dan Mataram.

Di samping itu juga diajarkan ornamen-ornamen dasar ukir, antara lain ornamen yang berasal dari Madura, Cirebon, Pekalongan, Yogyakarta dan Surakarta. Dengan demikian, semakin banyak motif yang dikuasai oleh masyarakat Jepara, khususnya generasi muda terdidik waktu itu. Cara pengerjaan pertukangan juga semakin baik sehingga seni ukir Jepara semakin laku dijual. Karena ketekunan para guru, pada tahun kedua, sekolah ini menerima 53 siswa yang dibagi dalam 3 kelas. Hingga tahun 1942, setiap tahun rata-rata sekolah ini menampung 53 siswa.

Peningkatan yang cukup berati terjadi mulai tahun 1951, sekolah ini menerima 75 siswa yang terbagi dalam 6 kelas dan tahun berikutnya meningkat menjadi 100 siswa. Sedangkan tahun 1953 menerima 125 siswa dan naik menjadi 150 siswa pada tahun 1954 serta menerima 175 siswa pada tahun 1955. Pada periode inilah awal berkembangnya ragam hias klasik tradisional Jepara

Pada tahun 1931 sekolah ini berganti nama menjadi Ambachtsschaal Voor Inlanders. Namun tidak berlangsung lama. Pada tahun 1932 berganti nama lagi menjadi Ambachtsslerrgang. Setelah itu pada tahun 1934, M. Ngabehi Wignyopangukir yang berasal dari Kasunanan Surakarta menggantikan R. Ngabehi Prodjo Soekemi memimpin sekolah tersebut. Ia secara khusus mengajarkan ornamen Pajajaran dan Balı.

Di samping itu mulai dikembangkan relief kayu dengan aliran dekoratif, yaitu bentuk-bentuk wayang dan latar belakang pepohonan yang berdaun lebar Karya siswa dan para guru mulai Openbare Ambachtschool ini dapat dilihat di bangsal Sasone Hadipruceke yang sekarang menjad SMPN 6 Jepara Ketika zaman Jepang, sekolah ini berganti nama Kesya Gakko dan setelah Proklaması, menjadi Sekolab Pertukangan.

Jumlah siswanya terus bertambah, dan pada tahun 1950 berganti nama kembali menjadi Sekolah Teknik Pertama hingga tahun 1955. Pada tahun 1959 berubah menjadi Sekolab Kerajinan Negeri.

Mulai berdiri tahun 1929 hingga tahun 1956, Openbare Ambachtsschool yang kemudian menjadi Sekolah Teknik Pertama ini telah berhasil meluluskan 1.859 siswa. Mereka ini dapat dikatakan sebagai generasi pertama pengusaha atau perajin Jepara terdidik dengan orientasi ke arah industri kerajinan. Pada periode inilah yang sebenarnya secara struktural mengubah orientasi seni ukır menjadi industri kerajinan ukur, yang lebih dapat memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan perajın.

Penulis adalah Ketua Umum Yayasan  Ukir Jepara