blank
Dwikorita saat menyampaikan peringatan dini terkait kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi memicu bencana hidrometeorologi, bersama jajaran Pemprov Jateng. Foto: dok/bmkg

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyampaikan peringatan dini, terkait kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di Provinsi Jawa Tengah.

Dalam Rapat Koordinasi Antisipasi Bencana Hidrometeorologi, yang digelar bersama Penjabat Gubernur Jateng, Nana Sudjana, Dwikorita menegaskan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah, menghadapi puncak musim hujan yang diperkirakan berlangsung hingga Februari 2025.

Sebagian besar wilayah di Jateng akan mengalami puncak musim hujan hingga Februari. Namun puncak musim hujan ini tidak serempak, terjadi secara bertahap, mulai November, Desember, Januari, hingga Februari.

BACA JUGA: Pengelola Objek Wisata Diminta Kedepankan Aspek Keselamatan

”Hal ini membuat potensi bencana, seperti yang terjadi di Pekalongan, masih bisa terjadi. Oleh karena itu, langkah antisipasi terus kami tingkatkan,” ujar Dwikorita, seperti dikutip dari laman resmi BMKG.

Dijelaskan juga, intensitas curah hujan di Jateng dipengaruhi oleh kombinasi aktif beberapa fenomena atmosfer global. Seperti La Nina Lemah, Monsun Asia, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang ekuatorial Kelvin dan Rossby.

Kondisi ini diperkuat oleh fenomena astronomis, seperti fase bulan baru, yang menciptakan potensi peningkatan curah hujan, angin kencang, hingga gelombang tinggi di wilayah pesisir.

BACA JUGA: Kerja Sama PSSI dan KNVB untuk Majukan Sepak Bola Indonesia

Selain itu, kelembapan udara yang sangat basah, serta aktivitas konvektif lokal turut memicu pembentukan awan hujan yang menjulang tinggi. Semua faktor ini menjadi pemicu utama peningkatan risiko bencana, seperti banjir, tanah longsor, banjir rob, dan angin kencang di sejumlah wilayah Jateng.

”Menurut data BMKG, seluruh wilayah Jateng telah memasuki musim hujan sejak Desember 2024, dengan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2025,” jelas dia.

Dwikorita menekankan, curah hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat, akan terjadi di berbagai wilayah, terutama di kawasan rawan bencana seperti Pekalongan, Batang, dan Boyolali.

BACA JUGA: Jalur Wonogiri-Pacitan Macet, Terhalang Pohon Tumbang

Di wilayah ini, ancaman tanah longsor dan banjir bandang menjadi perhatian utama. Kabupaten Boyolali, misalnya, berada dalam kondisi kritis, karena keberadaan jalur sungai di lereng Gunung Merbabu, yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi.

Sebelumnya, Dwikorita bersama tim BMKG telah mengunjungi wilayah itu, untuk meninjau langsung kondisi di lapangan. Pihak BMKG juga memberikan arahan mengenai langkah mitigasi bencana.

Selain ancaman hujan ekstrem, BMKG juga mengidentifikasi potensi banjir rob, yang dapat melanda kawasan pesisir utara dan selatan Jateng.

BACA JUGA:  Destinasi Wisata Budaya Candi Joglo Semar Diterjang Hujan Angin, Dinding Ambruk

”Kita semua harus bekerja sama untuk memastikan keselamatan masyarakat. Informasi yang kami sampaikan bukan hanya untuk meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga untuk membantu masyarakat mengambil langkah konkret dalam mengantisipasi bencana,” terang Dwikorita.

Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto menambahkan, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), kemungkinan akan kembali diterapkan. Hal itu untuk mengurangi dampak curah hujan ekstrem, di wilayah-wilayah tertentu. Sebelumnya, TMC telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah, untuk mengendalikan intensitas hujan dan meminimalkan risiko banjir.

Selain itu, BMKG telah menyampaikan informasi detail mengenai wilayah yang berpotensi terdampak bencana, termasuk daftar kabupaten, kecamatan, dan desa yang berisiko. Informasi ini dapat diakses masyarakat dan pemerintah daerah, untuk mempermudah langkah antisipasi.

Riyan