blank
Kaos tim kandang MU. Foto: dok/manud

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// bacalah betapa tak mudah/ mengarungi jalan survivalitas/ dari tiada ke berjaya/ yang lalu diputar oleh nasib/ ke pusaran tak menentu//
(Sajak “Jalan Berliku MU”, 2025)

SEPERTI apa kesan Anda tentang hasil pertarungan Liverpool versus Manchester United di Stadion Anfield, pekan lalu?

Kita patut menyimpulkan, “itulah seharusnya MU”. Skor 2-2 dari laga sengit itu, seperti diungkapkan pelatih Liverpool Arne Slot sebelumnya, tidak menggambarkan posisi klasemen. MU yang sempat berada di klasemen 14 (kini naik ke 13) bermain dengan determinasi yang berbeda dari laga-laga sebelumnya.

Ya, tentulah kita tak membayangkan, ada titik ketika MU harus berjuang menghindari degradasi.

Bukankah ini adalah musim, ketika klub dengan reputasi sebesar itu berada dalam kondisi krisis: bukan bersaing meraih titel Liga Primer, melainkan bagaimana tergopoh-gopoh mengamankan posisi agar menjauh dari zona keterperosokan ke Championship.

Momen ini jelas mengerikan, dan berkemungkinan menjadi sejarah kelam bagi klub bertabur prestasi itu!

Nyatanya, berada di tubir kemuraman itu kini dihadapi oleh Bruno Fernandes dkk. Musim 2024-2025 bukan periode yang ramah bagi mereka. MU mewujud seperti tim medioker, yang seharusnya tak terjadi apabila bisa bermain seperti ketika menghadapi Liverpool.

“Bedah Jantung”
Pelatih Erik Ten Hag bisa tersenyum masam. Pemecatannya untuk diganti dengan Ruben Amorim terbukti tidak serta merta membuat Setan Merah masuk ke stabilitas permainan. Manchester Merah terpuruk ke level yang complicated: tak hanya performa teknis, tetapi juga bermasalah dalam banyak hal.

Saya masih ingat pernyataan Ralf Rangnick, taktikus sebelum Erik Ten Hag, bahwa MU membutuhkan “bedah jantung”. Inikah saat yang membenarkan ucapan itu?

Legenda MU Cristiano Ronaldo tak ragu mengatakan, masalah MU bukan tentang pelatih, tetapi terkait banyak hal. Narasi ini juga menyiratkan ada masalah yang lebih besar dari urusan teknis, yang harus dituntaskan.

Old Trafford, kandang yang biasa dilabeli sebagai Theater of Dream, kini menjadi stadion yang kehilangan tuah dan aura. Di kandang yang biasanya sangat berwibawa itu, MU sering kalah, bahkan dari tim “yang enggak-enggak”.

Ilustrasi performa MU itu dapat disimak dari komentar Gary Neville, legenda klub yang menjadi pundit di Sky Sports, ketika menyaksikan kekalahan 0-2 dari Newcastle United, dua pekan lalu, “Anda sedang menyaksikan klub sepak bola terburuk di negara ini. Mereka seburuk itu… Mungkin Ruben Amorim berpikir, ‘tim macam mana yang saya tonton ini?’ ”
Newcastle, kata Neville, seharusnya bisa mencetak lebih banyak gol. “MU mengalami kemunduran, tetapi mudah-mudahan itu adalah kemunduran untuk maju…

Tujuh Pelatih
MU sudah tujuh kali berganti pelatih, juga tiga manajer interim, sejak Sir Alex Ferguson pensiun pada 2013 dengan 13 trofi juara Liga Primer; namun tak satu pun yang bisa memberi stabilisasi performa bagi The Red Devils.

Mulai dari David Moyes, Ryan Giggs (interim), Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, Michael Carrick (interim), Ralf Rangnick, Erik Ten Hag, Ruud van Nistelrooy (karteker), dan kini Ruben Amorim.

Ada pencapaian-pencapaian tersendiri. Misalnya Mourinho memberi gelar Liga Europa, Van Gaal membendaharakan trofi Piala FA dan Piala Liga, atau Ten Hag mempersembahkan Piala FA dan Piala Liga. Namun semua belum mengembalikan MU ke habitat pesaing trofi liga. Wibawa di kancah Eropa juga meluntur.

Dari kiprah serentet pelatih itu, Ruben Amorim berada dalam posisi paling rawan. Kini dia dihadapkan pada problem penyelamatan tim dari ancaman degradasi.

Satu-satunya jawaban, pelatih asal Portugal itu harus mampu memperbaiki standar performa MU untuk bersaing dengan bukan hanya penghuni papan atas, tetapi juga tim-tim semenjana yang selama ini ada di bawah kualitas MU.

Para pemain rekrutan baru, terbukti tidak memberi nilai tambah. MU tidak punya “faktor pembeda” seperti yang pada era Alex Ferguson menjadi “senjata” tersendiri. Amunisi pamungkas yang muncul pada saat dibutuhkan.

Kini Manchester Merah dihadapkan pada problem mediokritas pemain. Misalnya kiper Andre Onana yang direkrut dari Internazionale Milan, banyak membuat blunder. Antony, Leny Yoro, Joshua Zirkzee, Matthijs de Ligt, Noussair Mazraoui, dan Manuel Ugarte belum sesuai ekspektasi.

Casemiro, Johny Evans, Christian Eriksen tak lagi sepadan dengan tuntutan kesegaran bersaing di Liga Primer. Marcus Rashford, yang dalam penurunan performa, juga santer dispekulasikan untuk dijual. Tiga nama ini juga terbuka untuk dilego: Rasmus Hojlund, Kobbie Mainoo, dan Alejandro Garnacho.

MU tampaknya sedang “sakit”, dan belum tuntas terdiagnosis apa yang harus ditangani. Benar kata Ronaldo, pelatih bukan faktor utama untuk keluar dari kemelut ini.

Menerjemahkan “operasi jantung” tentu membutuhkan komprehensivitas evaluasi dengan detail pemecahan masalah manajemen, pelatih, dan pemain.

Apa yang kurang menopang dari salah satu faktor kinerja itu? Apakah MU tidak mampu bersaing dalam materi pemain? Apakah filosofi pelatih dan skema taktikalnya belum terpenuhi dari stok pemain yang ada? Praktisnya, materi seperti apa yang dikehendaki oleh Ruben Amorim?

Pasti ada “sesuatu” yang dibutuhkan untuk bangkit, dan sejauh ini belum ditemukan oleh pelatih sebagai peracik taktik. Itulah yang mesti dibedah oleh MU sebagai “sistem”. Hal seperti itulah yang dulu dilakukan di era Alex Ferguson. Dia butuh waktu lima tahun, dari 1986, untuk membangun tim dengan kualitas bersaing di Inggris dan Eropa, sampai 2013.

Apa yang harus dilakukan sekarang?

Proses adaptasi filosofi dan taktik rupanya belum berjalan rancak, dan itulah yang butuh waktu. Transformasi ini membutuhkan latihan mendalam, yang sejak kedatangannya ke Old Trafford diyakini Amorim belum punya kesempatan intensif.

Amir Machmud NS; wartawan Suarabaru.Id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah