blank
Jalan di seputar lampu meraah Mlonggo yang ditanamai pohon oleh warga.

Oleh : Hadi Priyanto

Selalu saja ada cara warga masyarakat untuk menyampaikan perasaannya dan  dan bahkan kritik terhadap kinerja pelayanan publik, utamanya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Apalagi jika warga menilai penanganannya sangat lambat, sehingga merugikan masyarakat umum.

Kritik bisa  disampaikan melalui berbagai media. Ekspresinya bisa saja berbeda. Bisa saran, usulan atau umpatan dengan kata kata keras, pedas, cemoohan atau ejekan kasar yang dalam bahasa sering disebut sebagai sarkasme. Sarkasme biasa erat hubungannya dengan ironi. Majas ini menyatakan makna yang bertentangan dengan makna sesungguhnya karena ditujukan untuk menyindir dengan cara mengemukakan makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya.

Itu pula yang dilakukan oleh beberapa warga masyarakat di wilayah Mlonggo tepatnya di sebelah lampu merah Jumat (10/1-2025). Bukan dalam bentuk kata-kata sindiran yang pedas, tetapi dengan  menanami jalan yang penuh lubang dengan pohon pisang, ketela, dan bunga. Ini ekspresi sindiran, umpatan dan bahkan cemoohan warga atas kinerja pelayanan publik di bidang infrastruktur, tanpa mau memahami kewenangan atas jalan tersebut.

Mereka kesal karena jalan yang menjadi kewenangan provinsi itu rusak parah dan tak kunjung diperbaiki. Kerusakan jalan di sekitaran lampu merah Mlonggo itu hanya sebagian kecil dari jalan yang rusak di ruang jalan Jepara-Keling.

Bukan hanya kali ini jalan tersebut rusak tetapi telah puluhan tahun jalan tersebut tak pernah ditangani tuntas. Kalaupun ada penanganan itu hanya penembelan, itupun kualitasnya layak dipertanyakan.  Karena itu baru beberapa hari kemudian jalan tersebut telah mengelupas dan kembali berlubang.

Ada 3 persoalan pokok menurut penulis mengapa sebagian besar ruas jalan Jepara-Keling tak pernah tuntas terselesaikan. Pertama, jeleknya saluran drainase sehingga mengakibatkan di sebagian titik jalan saat hujan tiba berubah menjadi sungai.  Sehingga mempercepat proses kerusakan jalan.

Kedua, kualitas perbaikan jalan yang memunculkan pertayaan warga. Sebab sulit di ukur kualitas dan efesiensinya  dalam hal pembiayaan.

Ketiga, tonase  atau beban muatan yang berlebihan. Pembangunan jalan selalu harus dipertimbangkan kelas jalan. Salah satunya untuk mengukur beban maksimal yang diperbolehkan untuk melewati jalan tersebut.  Jika beban jauh melampaui kekuatan jalan,  dapat dipastikan akan mempercepat proses kerusakan jalan.  Apalagi dengan kualitas jalan yang tidak baik.

Tentu harapan warga, dengan kritik, sindiran dan bahkan umpatan itu para pemangku kepentingan bergegas untuk menyelesiakannya. Bukan sekedar  melakukan penambalan yang usianya hanya dapat dihitung dengan hari.

Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID di Jepara